“Cogito ergo sum” merupakan ungkapan masyhur hasil refleksi mendalam seorang filsuf Prancis, Rene Descartes, lebih dari 350 tahun lalu. Bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mungkin mengelak dari pikirannya. Semua boleh saja disangsikan oleh manusia, kecuali pikirannya.
Renungan Descartes tersebut boleh jadi menjadi salah satu dasar pada area mana psikologi bekerja dalam sepak bola. Apakah yang dipikirkan oleh pemain-pemain tersukses sepanjang sejarah ketika mereka dalam lapangan? Bagaimana mereka mengatur pikirannya saat setiap pergerakannya disaksikan langsung oleh puluhan ribu penonton di stadiun dan bahkan jutaan pasang mata lainnya di layar kaca? Bagaimana mereka fokus dalam pertandingan dan sejenak melupakan masalah pribadi mereka?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana namun mendasar tersebut sedikit banyak dapat kita gunakan untuk memperoleh gambaran umum bagaimana psikologi memiliki ruang dalam setiap olahraga, termasuk sepak bola.
Ingatkah Anda dengan kejadian terpelesetnya seorang kapten legendaris Chelsea di final Liga Champions melawan Manchester United? Ingatkah Anda dengan gigitan-gigitan maut seorang penyerang hebat nan kontroversial Uruguay? Apakah yang terjadi dengan tim yang dibela oleh kedua pemain tersebut? Tidak, tidak!
Saya tidak hendak membahas kekalahannya, namun lebih pengaruh perilaku kedua pemain tersebut bagi rekan setim mereka. Ada sesuatu mendasar yang tidak tampak di lapangan namun seringkali mempengaruhi hasil, ialah keseluruhan cara berpikir, mengambil keputusan, bersikap dan berperilaku pemain. Banyak dari kita menyebutnya mental.
Sama seperti fisik, mental juga harus dilatih
Kita semua mesti ingat betapa sederhananya skill yang dimiliki oleh seorang Gennaro Gattuso, Filippo Inzaghi atau bahkan Marouane Fellaini. Namun demikian, mengapa mereka mampu mencapai level top? Jawabannya adalah tentang mental mereka, bagaimana mereka dapat membulatkan keyakinan dan kepercayaan diri saat berada dalam pertandingan (besar sekalipun).
Untuk beberapa pemain, rasa percaya diri dan ketenangan sepenuhnya merupakan hadiah kehidupan mereka, hal tersebut alami. Namun bagi banyak pemain lainnya, hal tersebut harus diperoleh dan terus dipoles sama seperti mereka melatih kekuatan napas dan otot-ototnya, melatih skill olah bolanya.
Itulah mengapa kesebelasan terbaik di dunia mempekerjakan psikolog olahraga untuk mengajarkan berbagai kecakapan mental kepada pemain, mulai dari self talk yang positif, mekanisme dan manajemen emosi marah, sampai keterampilan untuk fokus dengan cepat dalam pertandingan. Inilah senjata psikologis pemain yang tidak secara langsung dapat terlihat dalam kamera atau bahkan saat kita melotot langsung di tribun terdepan. Hal invisible inilah yang terkadang sangat berpengaruh dan menentukan dalam sebuah pertandingan.
Berdasarkan hasil wawancaranya dengan psikolog sepak bola senior Bradley Busch, Mark Bailey, seorang jurnalis The Telegraph, menulis bahwa terdapat minimal tiga keterampilan kunci yang harus dikuasai pemain sepak bola profesional di Liga Inggris. Membangun dan mempertahankan kepercayaan diri, mengelola kemarahan, dan juga tetap fokus adalah ketiga keterampilan tersebut. Ketigaya terlihat sederhana, namun nyatanya tidak demikian.
Bagaimana melatihkannya?
Sebagai sebuah ilmu, psikologi banyak mendasarkan pengembangan metodenya dari hasil sains mutakhir dan interkoneksinya dengan keilmuan lainnya, seperti neurologi dan juga teknologi. Hasilnya, kinerja mental seorang atlet sukses salah satunya sangat dipengaruhi oleh kinerja otak bagian depan (lobus frontal). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lobus frontal sangat penting untuk pengambilan keputusan, antisipasi, dan kesadaran. Area inilah yang bekerja dominan untuk menenangkan pikiran dan menjaga rasa percaya diri atlet.
Latihan sederhana untuk mengendalikan kerja area ini adalah dengan berbicara secara positif kepada diri sendiri, atau self talk. Penelitian menunjukkan bahwa self talk dapat memengaruhi kinerja unsur kimia dalam otak dan hormon manusia. Hal-hal positif yang kita bicarakan pada diri sendiri memunculkan hormon dopamin, sedangkan hal negatif akan memunculkan hormon kortisol.
Jika dopamin membantu kinerja otak bagian lobus frontal dengan memunculkan keyakinan dan antusiasme, sebaliknya, kortisol memunculkan stres dan menghambat kinerja area tersebut. Jika ahli gizi biasanya menyarankan atlet untuk tidak mengonsumsi junk food sebelum pertandingan, serupa hal tersebut, psikolog menyarankan pemain untuk tidak mengonsumsi (memproduksi) informasi-informasi negatif sebelum pertandingan.
Bradley Busch yang telah berpengalaman di berbagai klub Liga Inggris biasa menggunakan teknik Automatic Negative Thoughts (ANTs’). Metode ANTs’ merupakan metode yang digunakan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif.
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa self talk membuat perbedaan dan meningkatkan kinerja atlet di lapangan. Antonis Hatzigeorgiadis dan kolega pada 2011 lalu telah meninjau 32 penelitian tentang self talk dan menemukan hasil yang sama, yaitu berbicara kepada diri sendiri secara positif akan meningkatkan kinerja atlet saat di lapangan.
Secara lebih detial, tulisan yang dipublikasikan di jurnal Perspectives on Psychological Science tersebut menyebutkan bahwa jenis self talk yang bersifat instruktif lebih efektif daripada yang bersifat motivasional. Sebagai contoh, perkataan “dapatkan bola dan lakukan umpan terobosan” lebih efektif daripada “kamu pasti bisa melakukan umpan dengan baik”.
Salah satu yang mendukung hasil penelitian di atas adalah studi Thelwell dan kawan-kawan pada tahun 2006) yang menemukan bahwa kinerja gelandang dalam mengumpan, sentuhan pertama, dan tekel meningkat di babak kedua setelah diberikan self talk.
Selain berupa instruksi, self talk juga dapat diberikan dalam bentuk kata kunci yang bersifat asosiatif. Sebagai contoh kata “es” digunakan oleh seorang pemain yang sering terpancing amarah ketika bertanding. Kata “es” memberikan asosiasi sejuk, dingin, dan anti-panas. Asosiasi semacam hal tersebut sangat membantu pemain untuk menenangkan diri dan kembali fokus dalam waktu sepersekian detik. Karena dalam sebuah pertandingan yang penuh tekanan, kecepatan mengambil keputusan sangatlah penting.
Selain self talk terdapat berbagai latihan mental lainnya yang dapat mengontrol dan membantu pemain meningkatkan performa, salah satunya adalah bahasa tubuh. Banyak manajer menggunakan bahasa tubuh untuk memproyeksikan keadaan mental pemainnya untuk mempertahankan atau menggantinya. Busch menyatakan bahwa kondisi fisiologis (fisik) seseorang memiliki kaitan dengan kondisi psikologisnya.
Salah satu penelitian dari Harvard Business School menunjukkan bahwa pose yang dominan (seperti bahu tegap, pandangan mata ke depan) dapat menurunkan kadar hormon stres kortisol hingga 25 persen dan meningkatkan kepercayaan melalui testosteron sebesar 19 persen. Fakta yang tentunya menunjukkan pentingnya psikologi dalam dunia olahraga.
Anda tentu sering melihat gestur menyeka keringat dengan kaos, meludah, memukul rumput, membuang dan membanting rumput, dalam berbagai laga liga top Eropa. Bisa jadi hal tersebut dilakukan pemain melalui panduan pelatih mental mereka untuk melepaskan amarah dan mengakomodir kesalahan mereka.
Latihan sederhana ketiga yang biasa dilakukan untuk melatih mental bertanding pemain adalah kembali fokus dengan cepat setelah melakukan kesalahan. Jika gesture dilatihkan untuk membuang dan menghapus kesalahan, latihan selanjutnya adalah mengembalikan pemain kepada fokus bertanding. Seorang penyerang yang gagal mengonversi peluang menjadi gol, pemain belakang atau kiper yang melakukan blunder, dan pemain tengah melakukan kesalahan passing adalah hal biasa. Terlalu lama meratapi kesalahan-kesalahan tersebut menjadi hal yang tidak lumrah.
Apa yang harus dilatihkan? Busch mengajarkan pemain untuk memusatkan perhatiannya pada tiga hal utama. Analoginya, jika penyerang tidak dapat mencetak gol, dia seharusnya dapat memfokuskan perhatiannya untuk mengontrol pergerakan, energy, dan kualitas (taktik) serangan. Seorang pemain belakang tidak mungkin mengetahui arah serangan lawan, tapi dia dapat mengontrol area, pergerakan lawan, dan kualitas (taktik) bertahannya. Hal-hal tersebut terlihat sederhana, namun ini tentang menggunakan mesin otak dengan cara yang benar.
Fokus pada pertandingan dalam waktu 90 menit tidak sesederhana yang terlihat. Terdapat banyak informasi di luar diri pemain, tugas pelatih mental adalah menyingkirkan semua informasi tidak penting (bagi taktik dan pertandingan) dan mengarahkan pemain pada taktik dan tugas mereka.
Bagian otak kita yang disebut reticular activating system (RAS) bertugas menarik perhatian kita terhadap hal-hal penting. Dalam sepak bola, caranya dapat saja simpel, seperti jika seorang penyerang secara teratur berpikir tentang sudut bawah gawang, secara naluriah dia akan melihat gawang bagian tersebut dan mengarahkan tendangannya ke arah tersebut.
Sama seperti jika kita sedang menginginkan gawai baru, kita akan terobsesi untuk terus melihat-lihat gambar dan iklan tentang gawai tersebut. Hal tersebut sangat berkait dengan RAS.
Nyatanya memang, ilmu psikologi telah menyatu dengan budaya olahraga maju dan obrolan atau diskusi intelektual tentang lobus frontal, adrenalin, dan hal lainnya di sepak bola adalah sesuatu yang jamak. Coba saja bermain game manajerial sepak bola seperti Football Manager (FM), tanpa jajaran manajerial mumpuni (termasuk psikolog), pasti susah bagi tim kita untuk merengkuh kesuksesan. Karena keterampilan fisik mengolah bola seperti ketepatan umpan silang dianggap sama pentingnya dengan mentalitas menahan amarah saat di lapangan.
Tentu masih banyak kecakapan psikologis yang dapat dilatihkan untuk membentuk mental bertanding pesepak bola selain tiga teknik sederhana di atas. Seperti pemulihan kepercayaan diri pemain pasca-cedera, kecakapan berbicara di depan publik, dan masih banyak lagi.
Saya jadi membayangkan kapan klub dan liga kita mengadopsi hal-hal semacam ini secara serius, sehingga tidak ada lagi berita tentang pengeroyokan wasit, perkelahian pemain, dan hal-hal konyol lainnya.
Author: Akhmad Mukhlis