Zinedine Zidane sedang mengalami masalah di Real Madrid. Raksasa Spanyol ini memang lolos ke babak sistem gugur Liga Champions, tapi saat ini mereka berada di urutan keempat di La Liga dan tertinggal jauh dari pimpinan klasemen, Barcelona.
Zidane adalah pemenang trofi Liga Champions Eropa back-to-back pertama di abad ke-21. Namun pada saat ini, posisi sang pelatih tampaknya sangat bergantung pada niat baik sang presiden klub. Di masa bermainnya dulu, Zidane adalah pemain hebat, salah satu yang terbaik dalam sejarah klub tersebut. Nostalgia itulah yang memberinya lebih banyak kesempatan daripada durasi kegagalan orang lain yang berada di posisinya.
Presiden Florentino Perez tentu sngat menginginkan kejayaan dalam waktu dekat. Jika terpeleset lagi, Zidane akan diantar melalui pintu keluar dan Perez akan memulai sebuah era baru penuh prospek.
Namun, bagaimana dengan Zidane? Apakah seluruh dunia sebenarnya mengetahui kemampuan manajerial pria ini?
Hanya dalam dua tahun sejak menggantikan Rafael Benitez, dia menambah dua kali lipat koleksi di kabinet piala Stadion Santiago Bernabeu. Eropa telah ditaklukkannya dua musim berturut-turut, gelar domestik akhirnya diraihnya dan Piala Dunia Antarklub telah dibawanya kembali ke Spanyol juga.
Zidane mungkin berhak bertanya-tanya, apakah jika ia benar-benar harus pergi pada musim panas 2018, akankah ada klub besar yang menginginkan jasanya? Memang tak ada yang tahu persis kapan sebenarnya periode buruk skuat Real Madrid berakhir dan efek kepelatihan Zidane dimulai. Memang tidak baik mengabaikan peran seorang manajer atau pelatih dari kesuksesan sebuah tim, tapi kemudian menagih tanggung jawab atas kegagalan mereka. Namun, dalam situasi Real Madrid saat ini, Zidane menjadi pusat perhatian.
Dari sudut pandang reputasi, pekerjaan sebagai pelatih kepala Real Madrid pasti akan menggiurkan bagi siapa pun yang didekati Perez selama musim panas. Singkatnya, ini adalah pekerjaan impian. Besaran gaji yang fantastis, kesempatan untuk bekerja dengan para pemain terbaik, dan mungkin yang paling penting, kesempatan realistis untuk memenangkan trofi di Liga Champions Eropa.
Namun dari sudut pandang lain, para pelatih genius seperti Johan Cruyff, Alex Ferguson, dan Pep Guardiola, tawaran ini bisa menipu. Real Madrid selalu dikelilingi oleh budaya yang kaku dan berada di bawah pengawasan para pemangku kepentingan yang tidak sabaran. Dari perspektif tertentu, kursi kepelatihan El Real adalah salah satu pekerjaan terburuk di dunia.
Di balik semua daya tarik itu, ada beberapa kenyataan yang mengganggu. Real Madrid adalah klub berbasis pemain. Berbeda dengan para saingan mereka di Inggris, Jerman dan Italia, atau bahkan rival abadi mereka di Catalonia, publik Madrid jarang memberi rasa hormat terhadap kemampuan manajerial yang tajam. Berbagai periode yang mereka lewati dalam beberapa dasawarsa terakhir tidak menghasilkan revolusi taktis atau kebijakan pembinaan signifikan semua berfokus pada datang-perginya para marquee player dan beragam kebijakan transfer.
Ingat, Real Madrid adalah klub yang telah mempekerjakan empat belas pelatih yang berbeda dalam 18 tahun terakhir. Para pelatih tidak menciptakan ciri khas diri mereka sendiri di Madrid. Bahkan hanya sedikit bukti bahwa mereka pernah dipekerjakan di tempat itu. Paling tidak, jabatan sebagai pelatih Real Madrid adalah pekerjaan terburuk yang dapat diperoleh seorang manajer muda.
Saat ini, Mauricio Pochettino adalah salah satu figur favorit untuk menggantikan Zidane. Jika terpilih, rasanya ‘Poch’ akan mengonfirmasi hal itu. Jika dilihat sepintas, menangani Madrid akan sangat menantang bagi seseorang seperti Pochettino. Ia akan memperoleh kesempatan untuk menuangkan bakatnya ke panggung Eropa.
Namun, terlalu naïf jika memikirkan hal tersebut di klub ini. Keberhasilan apa pun akan terbagi menjadi rebutan antara ruang ganti pemain dan ruangan dewan direksi. Meski tawaran ini cukup menguntungkan, jika gagal, Pochettino pasti akan dicap sebagai seseorang yang tidak mampu mengatasi politik di klub besar dan kemungkinan akan terus dihantui hal seperti itu selama sisa kariernya.
Di Tottenham Hotspur, keberhasilannya tentu saja bergantung pada kemampuan mendikte suasana internal. Para pemain dan staf setia padanya dan otoritasnya sebagai pelatih tidak menghadapi tantangan apa pun. Jika kondisi tersebut memungkinkan dia untuk sukses di London Utara, kemungkinan besar dia akan cocok bekerja di Madrid, di mana pelatih kepala hanyalah karyawan.
Beberapa pelatih yang dianggap gagal di klub-klub dengan kebijakan transfer jor-joran seperti Real Madrid, Chelsea atau Paris Saint-Germain, masih dapat berkembang terlepas dari cap hitam pada curriculum vitae mereka. Bila ada bukti keberhasilan di tempat lain, maka kegagalan dapat dianggap sebagai akibat disfungsi yang tak terelakkan. Namun, pengecualian terdapat pada beberapa figur seperti Andre Villas-Boas di Chelsea. Tampil buruk di bawah kondisi yang tertekan bisa membuat rusaknya reputasi secara permanen.
Ini juga terjadi kepada Laurent Blanc. Terlepas dari kesuksesannya di Bordeaux, ketidakmampuan Blanc untuk menangani tekanan besar di Paris Saint-Germain tak membawanya ke mana-mana. Hal yang sama terjadi pada mantan penanggung jawab Manchester United, David Moyes.
Menangani Real Madrid juga bisa dibilang cuti panjang yang menguntungkan. Begitu datang seorang pelatih yang lebih baru dan menarik perhatian sang presiden klub, pelatih sekarang tidak akan lagi dipekerjakan dan berhak memperoleh biaya kompensasi.
Memang persepsi terhadap pekerjaan sebagai pelatih kepala Real Madrid tergantung pada apakah individu masing-masing. Namun, bagi mereka yang datang untuk benar-benar membawa perubahan, kesempatan untuk dikenang sangatlah kecil. Mereka harus menghadapi tekanan bertubi-tubi dari berbagai pemangku kepentingan.
Author: Seb Stafford-Bloor
Penerjemah: Mahir Pradana (@maheeeR)