Djadjang Nurdjaman bukanlah sosok yang asing dalam dunia sepak bola nasional. Ia merupakan mantan pemain sepak bola legendaris Indonesia. Sebagai pemain, namanya mengudara pada dekade 1980-1990.
Pria yang akrab disapa Djanur ini adalah sosok yang begitu dekat dengan Persib Bandung. Tak salah rasanya apabila mengatakan bahwa ia merupakan legenda bagi tim berjuluk Maung Bandung itu. Dikutip dari buku “Persib Juara” karya Endan Suhendra, nama Djajang Nurdjaman hampir dipastikan selalu tercatat dalam sejarah panjang perjalanan Persib.
Ketika Persib terdegradasi ke Divisi I pada tahun 1978, Djanur adalah salah seorang pemain yang tampil di babak play-off melawan Persiraja Banda Aceh. Delapan tahun kemudian, ketika Persib mengakhiri masa paceklik juara selama 25 tahun, ia menjadi pahlawan kemenangan atas Persema di grand final Kompetisi Perserikatan Divisi Utama PSSI 1986 lewat gol tunggal yang diciptakannya.
Masih sebagai pemain, Djanur turut mengantaran Persib menjadi juara Kompetisi Perserikatan Divisi Utama PSSI 1989/1990. Selanjutnya, sebagai asisten pelatih Indra M. Tohir, Djanur kembali punya andil mengantarkan Persib menjuarai Kompetisi Divisi Utama PSSI 1993/1994 dan Liga Indonesia (LI) 1994/1995.
Belum berhenti di situ, Djanur kembali mengantarkan Persib juara ketika posisinya sudah naik menjadi pelatih kepala. Djanur sukses mengantarkan Persib menjadi juara Liga Super Indonesia (LSI) 2014 usai tim kebanggaan Kota Kembang ini puasa gelar hampir dua dekade. Tak heran, nama Djanur begitu harum di mata pendukung Persib. Ia adalah legenda yang selalu dicintai dan dihormati Bobotoh Persib.
Djanur: Bersinar dan meredup bersama Persib
Roda kehidupan terus berputar. Djanur memang menjadi sosok yang berulang kali ambil peran dalam keberhasilan Persib menjadi juara. Djanur adalah bintang bagi Persib. Namun, perlu kita ingat bahwa bintang di langit pun tak selalu bersinar terang. Begitu pun Djanur. Ada masanya sinar terang yang ia miliki sebagai bintang di Persib meredup.
Setelah sukses membawa Maung Bandung menjuarai LSI 2014, Piala Presiden 2015, dan Piala Walikota Padang 2015, Djanur meredup di tahun 2017. Momen itu jatuh ketika Persib mengikuti kompetisi kasta tertinggi Liga 1. Menangani pemain bertabur bintang saat itu, tidak latas membuat Djanur sukses meracik strategi dan memenangi setiap pertandingan. Djanur tidak bisa menjawab ekspetasi publik, khususnya Bobotoh, yang begitu tinggi atas Persib.
Hingga pada 15 Juli 2017 lalu, ia memutuskan untuk turun dari kursi panas pelatih Persib. Djanur mundur ketika Persib gagal menaklukkan Mitra Kukar. Alasannya mundur tentu saja karena ia sudah tidak sanggup membawa prestasi Persib ke level yang diinginkan. Saat itu Persib memang kalah 1-2 dari Mitra Kukar di Stadion Aji Imbut, Tenggarong, pada Sabtu (15/7) malam. Kekalahan itu pun menambah catatan buruk Persib sepanjang Liga 1 2017. Persib yang notabene juara bertahan kompetisi kasta tertinggi di Indonesia, hanya mampu menjadi tim papan bawah.
Merapat ke Medan, mewujudkan harapan
Mundur dari Persib tidak lantas membuat karier Djanur berhenti bergitu saja. Djanur pun akhirnya berlabuh ke Sumatera Utara. Pelatih dengan karakter yang tenang ini merapat ke PSMS Medan yang saat itu masih berkompetisi di kasta kedua, yaitu Liga 2.
Di Medan, Djanur seperti menemukan kembali secercah sinarnya yang sempat meredup ketika ia masih di Bandung. Bersama Ayam Kinantan, julukan PSMS, ia menghidupkan begitu banyak harapan. Katakanlah harapan PSMS untuk kembali ke kompetisi kasta tertinggi. Pun dengan harapan pribadinya untuk kembali memberi bukti bahwa ia masih mampu berprestasi.
Benar saja, harapan itu perlahan-lahan terealisasikan. Bersama Djanur, PSMS akhirnya kembali ke kasta tertinggi kompetisi sepak bola nasional. Meskipun, PSMS hanya finis sebagai runner-up setelah ditekuk Persebaya Surabaya. Di laga yang digelar pada Selasa (28/11) di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) itu, PSMS kalah tipis dengan skor 2-3.
Tentunya, keberhasilan PSMS promosi ke Liga 1 tidak bukan semata-mata karena peran Djanur. Apalagi Djanur tidak menangani PSMS sejak dimulanya kompetisi. Namun, perlu kita ingat bahwa Djanur-lah yang menjadi peracik strategi ketika Ayam Kinantan berada pada fase krusial dalam kompetisi. Menukangi tim saat berada dalam fase persaingan sengit menuju perebutan gelar juara tentu tak mudah.
Apalagi di babak semifinal final Liga 2, PSMS harus bersaing dengan tim-tim besar lain. Persebaya, PSIS, dan Martapura FC tentu bukan lawan yang mudah ditaklukkan. PSMS bisa saja tersingkir dari peringkat tiga besar. Namun, Djanur bukanlah pelatih abal-abal. Dan di fase krusial itulah ia membuktikan bahwa ia mampu menyumbangkan prestasi bagi timnya kendati ia sempat gagal menjawab tantangan saat bersama Persib.
Belum berhenti di situ, tren positif Djanur berlanjut di Piala Presiden 2018. Bersaing dengan tiga tim besar Liga 1, yaitu PSM, Sriwijaya FC, dan Persib di Grup A, Djanur berhasil membuat PSMS menjadi tim yang pantang diremehkan. Nyatanya, PSMS mampu lolos dari persaingan panas grup itu. Bahkan, PSMS mampu menggulung Persib di hadapan suporternya dengan hantaman dua gol tanpa balas pada Mingggu (21/1) lalu.
Meski kalah di laga pamungkas ketika menghadapi Sriwijaya FC pada Jumat (26/1), PSMS tetap mampu melanjutkan langkahnya menuju babak perempat-final. Ayam Kinantan pun meninggalkan PSM dan Persib yang terpaksa harus lebih dulu mengakhiri perjuangan di turnamen pra-musim ini.
Jika Djanur mampu membawa pulang trofi Piala Presiden 2018 ke Medan, tentu sinar terangnya akan semakin terang. Ia akan mencatatkan sejarah baru bagi tim kebanggan orang Medan ini. Tidak hanya itu, ia juga akan mencatatkan prestasi pribadi di Piala Presiden untuk kedua kalinya. Mengingat pada Piala Presiden 2015 lalu ia mengangkat trofi bersama Persib. Dengan begitu, sinar terang Djanur yang sempat meredup akan kembali benderang.
Semoga saja harapan itu terealisasikan. Selamat berjuang, coach Djanur!
Author: Riri Rahayuningsih (@ririrahayu_)
Mahasiswi komunikasi. Pencinta sepak bola dalam negeri.