Baru-baru ini, firma keuangan terkenal dunia, Deloitte, merilis laporan yang selalu ditunggu-tunggu pencinta sepak bola dunia, yaitu Deloitte Football Money League (DFML) edisi tahun 2018. Laporan ini memuat klub-klub dengan pendapatan terbesar dunia, termasuk sumber-sumber pendapatan mereka dan bagaimana kondisi finansial mereka secara umum.
Selain menghadirkan cerita tentang beberapa kesebelasan seperti Leicester City, Southampton, Everton, dan Napoli yang berhasil menembus posisi 20 besar sebagai klub dengan pendapatan tertinggi, terdapat pula kisah beberapa klub seperti AS Roma dan AC Milan yang terdepak dari grup elite ini.
Ya, Milan yang dari awal Deloitte menyusun laporan ini sejak tahun 2006 hingga musim 2012/2013 selalu menempati posisi 10 besar, kini bahkan tidak mampu bertahan di posisi 20 besar. Total pendapatan sebesar 191,7 juta euro yang mereka himpun sepanjang musim 2016/2017 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan musim sebelumnya di mana mereka mengumpulkan 214,6 juta euro. Dengan torehan ini, mereka harus puas menduduki peringkat ke-22.
Sebetulnya, penurunan pendapatan sekaligus peringkat dalam DFML ini tidaklah mengejutkan bagi Milan. Absennya mereka selama tiga tahun beruntun dari kejuaraan antarklub Eropa jelas mengurangi pendapatan mereka dari segi hak siar, penjualan tiket, penjualan merchandise, dan tentu saja reputasi Rossoneri secara keseluruhan yang mengurangi kepercayaan dunia usaha kepada mereka.
Tanpa bermaksud menghakimi, kemunduran ini adalah buntut dari kesulitan finansial yang mereka hadapi pada akhir-akhir era kepemilikan Silvio Berlusconi. Selain kondisi finansial yang tidak lagi mumpuni untuk bersaing dengan para raksasa, kebijakan transfer dan penggajian pemain yang tidak efektif juga menempatkan prestasi Milan berada pada titik terendah, sekaligus mengasingkan mereka dari keriuhan kompetisi antarklub Eropa.
Kehadiran Yonghong Li, pemilik baru yang menggantikan Berlusconi tahun lalu, masih belum meredakan kekhawatiran. Selain proses pengambilalihan yang berlangsung kurang mulus sekaligus meninggalkan utang yang besar, masalah lain timbul ketika rekan-rekan bisnis yang memberikan sponsor tidak lagi bekerja sama.
Pabrikan otomotif raksasa Audi telah mengakhiri kerja sama dengan Rossoneri tahun lalu, sementara produsen apparel dunia, adidas, juga mengakhiri kontrak yang telah berlangsung selama 20 tahun setelah musim ini berakhir.
Memang, para sponsor baru sudah menandatangani perjanjian. Untuk menggantikan adidas, Milan dilaporkan telah mengikat kontrak dengan PUMA, juga perusahaan apparel dunia yang memiliki kedekatan secara historis dengan adidas. Nilai kontrak Milan dengan PUMA senilai 12 juta euro mengalami penurunan senilai 8 juta euro dibandingkan dengan adidas, namun bisa menyamai atau melebihi yang didapat dari adidas tergantung pada prestasi yang diraih. Produsen air minum dari Cina, Alpenwater, pada Oktober silam juga menandatangani kerja sama dengan Milan dengan nilai yang tidak disebutkan jumlahnya.
Baca juga: AC Milan Berkongsi dengan PUMA?
Yang terbaru, Milan telah menjalin kerja sama dengan Vwin, platform judi daring dari Asia. Meski nilai kerja sama juga tidak disebutkan, namun kerjasama sponsorship ini memperlihatkan kepercayaan dunia usaha pada Milan, terutama dari benua Asia. Ini tentu saja menjadi hal positif di antara berita-berita negatif yang beredar seputar manajemen baru dan kondisi finansial Milan.
Di lapangan, performa Milan memang perlahan membaik, meski dikatakan sudah kembali ke jalur pun belum. Kini, mereka menduduki peringkat ke-7 kompetisi Serie A Italia dengan selisih poin yang tipis dari Sampdoria yang tepat berada di atas. Jika kembali menemukan stabilitas di bawah arahan Gennaro Gattuso, Milan dapat berharap untuk terus menempel para penghuni papan atas untuk kemudian memenuhi target mereka lolos ke Liga Champions musim depan.
Harapan untuk memperbaiki peringkat DFML tentu ada, meski syaratnya berat. Di samping lolos ke Liga Champions musim depan, Rossoneri juga perlu melaju sejauh mungkin di Liga Europa. Hal ini tentu tidak mudah karena kompetisi ini telah memasuki sistem gugur, dan Milan juga berkesempatan besar bertemu lawan-lawan yang lebih tangguh lagi pada babak 16 besar.
Jika setidaknya mampu mencapai babak semifinal, apalagi final, maka pendapatan Milan tentu saja akan meningkat drastis pada musim ini. Ditambah lagi, rataan penonton yang datang ke stadion sebetulnya sudah mengalami peningkatan seiring datangnya nama-nama baru yang menghiasi skuat Rossoneri.
Ada harapan, pasti juga ada tantangan. Memasuki peringkat 20 besar DFML tentu menjadi semakin berat karena performa finansial klub-klub dari Inggris yang semakin meningkat saja. Klub seperti Southampton yang begitu lihai dalam menjual pemain dengan harga tinggi amat berpotensi mengungguli pendapatan Milan, begitu pula West Ham atau Everton yang memiliki ambisi besar, atau Watford yang memiliki jaringan pemandu bakat canggih hasil kerja sama mereka dengan Udinese. Jangan lupakan pula kiprah klub-klub Bundesliga Jerman yang memang sudah dikelola dengan baik secara finansial dan memiliki rataan penonton yang tinggi.
Pengaruh global sepak bola juga memunculkan pemain-pemain baru dalam kumpulan elite klub sepak bola. Kini, klub-klub tradisional yang hanya membanggakan sejarah prestasi masa lalu tidak bisa lagi mengandalkan romantisme itu semata. Laporan Deloitte menyebutkan klub-klub semacam Guangzhou Evergrande atau Atlanta United FC, dua klub dari luar benua Eropa yang dalam waktu 10 tahun memiliki proyeksi untuk bisa menembus 20 besar klub dengan pendapatan tertinggi dunia. Hal ini tentu patut diwaspadai Milan, yang tidak bisa terus menerus menggunakan image sebagai salah satu klub tersukses dunia tanpa berprestasi di masa kini.
Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)