Turun Minum Serba-Serbi

10 Daftar Free Transfer Terbaik Eropa dalam Dua Dekade Terakhir

Sejak diberlakukannya Bosman Ruling pada 1995, perpindahan pemain ke klub lain dengan status bebas transfer (free transfer) semakin banyak terjadi. Meski begitu, seringkali perpindahan dengan status bebas transfer ini terjadi karena para pemain yang dilepas dianggap sudah melewati masa jayanya atau tidak memiliki masa depan yang cerah di klub tersebut.

Namun pandangan tersebut tak selamanya berlaku di dunia sepak bola. Saat ini, mulai banyak perpindahan pemain dengan status free transfer yang terjadi karena sang pemain menolak perpanjangan kontrak meskipun ia sedang menjadi andalan utama di klub lamanya. Faktor mencari tantangan baru, gaji selangit, hingga capaian gelar kerap menjadi alasan utama.

Selain itu, ada juga beberapa pemain yang justru berhasil membuktikan bahwa diri mereka belum habis dan masih bisa memberikan kontribusi maksimal bagi klub barunya, yang mungkin membuat klub lamanya menyesal telah membuangnya.

Berikut ini kami tampilkan 10 daftar free transfer terbaik di Eropa yang pernah terjadi selama 2 dekade terakhir versi Football Tribe Indonesia:

Roberto Baggio (1997, AC Milan menuju Bologna)

Hijrah ke Milan pada musim 1995/1996, performa gemilang yang ditunjukkan Baggio selama 5 musim berseragam Juventus tak terulang di sini. Meski sempat menyumbang gelar Serie A di musim perdananya bersama Rossoneri, di musim kedua Baggio tak begitu diandalkan oleh pelatih Arrigo Sacchi. Kembalinya Fabio Capello ke Milan di tahun 1997 untuk menggantikan Sacchi malah membuat situasinya memburuk. Capello menyatakan bahwa Baggio bukanlah bagian dari rencananya.

Baggio memutuskan hengkang demi meraih tempat di skuad Italia untuk Piala Dunia 1998. Sempat dilirik oleh Parma, namun pelatih mereka saat itu, Carlo Ancelotti, merasa tak ada tempat untuk Baggio dalam skemanya. Akhirnya ia berlabuh ke Bologna.

Awalnya ia hanya bertekad membawa Rossoblu lolos dari degradasi, namun nyatanya ia meraih lebih dari itu. Ia membawa Bologna finish di atas Milan dengan mengunci posisi ke-8 Serie A musim 1997/1998 dan menyegel satu tiket ke Piala Intertoto. Ia juga dibawa Cesare Maldini ke Piala Dunia 1998.

Selain itu, 22 gol di Serie A yang ia cetak di musim itu jauh lebih banyak dari penyerang Parma musim itu, yang belakangan diakui Ancelotti bahwa kegagalan merekrut Baggio merupakan salah satu kesalahan besar dalam karier manajerialnya.

Michael Ballack (2006, Bayern München menuju Chelsea)

Ballack datang ke Bayern di musim panas 2002 setelah berhasil membawa klub lamanya, Bayer Leverkusen, ke final Liga Champions dan berhasil menembus final Piala Dunia 2002 bersama timnas Jerman. Selama 4 musim bersama Bayern, satu tempat di lini tengah Bayern sudah pasti menjadi miliknya. Ballack juga meraih 3 gelar Bundesliga dan 3 DFB-Pokal di sana.

Namun saat kontraknya tersisa satu musim lagi, Ballack memutuskan untuk tak memperpanjang kontraknya yang berakhir pada musim panas 2006. Friksi yang terjadi antara dirinya dengan manajemen Bayern disinyalir menjadi sumbernya. Apalagi, ia dituduh seringkali tak tampil baik kala bermain partai-partai penting seperti di Liga Champions. Pada periode tersebut Bayern memang sulit bersaing dengan tim-tim besar Eropa lainnya seperti Milan, Madrid, Barcelona, bahkan Deportivo La Coruna.

Sekitar sebulan sebelum Piala Dunia 2006 digelar, Ballack memutuskan bergabung dengan Chelsea yang sedang naik daun berkat gelontoran uang miliarder asal Rusia, Roman Abramovich. Selama 4 musim di Stamford Bridge, Ballack menjadi pemain kunci di lini tengah The Blues. Di sana ia berhasil meraih 1 gelar Liga Inggris, 3 Piala FA, 1 Piala Liga, dan menjadi runner-up Liga Champions di tahun 2008.

Cafu (2003, AS Roma menuju AC Milan)

Pemain bernama lengkap Marcos Evangelista de Morais ini dikenal sebagai salah satu bek kanan terbaik di dunia selama 6 musim bermain untuk AS Roma dengan raihan satu gelar Serie A di tahun 2001.

Di tahun 2003, saat usianya sudah menginjak 33 tahun dan kontraknya tak diperpanjang Roma, ia sempat memutuskan pindah ke Jepang dan bergabung dengan Yokohama Marinos, menghabiskan sisa kariernya di sana. Namun Milan datang di saat-saat terakhir, menawarkannya kontrak dan Cafu akhirnya membatalkan kepindahannya ke Negeri Sakura tersebut dan mengembalikan uang muka yang sudah diterimanya.Ia memutuskan pindah ke Milan demi mewujudkan mimpinya meraih Liga Champions.

Sempat diperkirakan hanya akan menjadi pelapis, ia justru mengunci posisi reguler di bawah asuhan Carlo Ancelotti dengan bermain sebanyak 166 kali dalam 5 musim. Bersama skuat tua Milan, ia berhasil meraih gelar lebih banyak ketimbang saat di Roma, di antaranya juara Serie A di tahun 2004, dan tentunya trofi Liga Champions di tahun 2007.

Esteban Cambiasso (2004, Real Madrid menuju Internazionale Milano)

Selama 2 musim memperkuat El Real, sebenarnya penampilan Cambiasso tak buruk-buruk amat. Ia berhasil meraih gelar La Liga, 1 Piala Super Eropa, 1 Piala Interkontinental, dan 1 Piala Super Spanyol. Namun masalah di luar lapangan menghalangi karirenya disana.

Madrid saat itu lebih mengutamakan para pemain akademi dan bintang-bintang Los Galacticos, sedangkan Cambiasso bukanlah bagian dari keduanya. Meskipun ia mensyukuri masa-masanya di sana, namun ia tahu bahwa ia bukan bagian dari rencana Madrid, baik dari segi olahraga maupun bisnis. Hal itulah yang membuatnya hengkang di musim panas 2004 setelah kontraknya berakhir dan memilih berlabuh ke Inter Milan.

Bersama Inter, Cambiasso menjalani masa paling bahagia dalam kariernya. Di 7 musim pertamanya, ia berhasil meraih 5 gelar Serie A, 4 Coppa Italia, serta menjadi pemain penting dalam keberhasilan Inter meraih treble di tahun 2010. Sementara di periode yang sama, Madrid lebih banyak mengumpulkan uang dan pemain-pemain ganteng ketimbang meraih gelar.

Zlatan Ibrahimovic (2016, Paris Saint-Germain menuju Manchester United)

Jujur saja, kiprah penyerang legendaris asal Swedia ini selama 4 musim di Paris sebenarnya sangat mengesankan, namun juga membosankan. Ia berhasil mencetak banyak gol, meraih banyak trofi, dan mengumpulkan pundi-pundi uang yang banyak. Selain bermain di Liga Champions, di mana Zlatan selalu gagal menjuarainya, bisa dibilang Paris Saint-Germain (PSG) era Zlatan tak punya saingan berarti. Meski begitu, sebenarnya ia begitu menikmati kariernya di Paris.

Namun di pengujung musim 2015/2016, pihak PSG mengumumkan bahwa Zlatan tidak akan meneruskan kerja sama dan tidak akan memperpanjang kontraknya, yang memang berakhir di musim itu. Setelah muncul berbagai spekulasi mengenai siapa yang akan merekrutnya, pada 1 Juli 2016, Zlatan menandatangani kontrak dengan Manchester United, dan bereuni dengan mantan pelatihnya, Jose Mourinho. Ada hal unik yang terjadi kala itu, di mana Zlatan lebih dulu mengumumkan kepindahannya ke Uited sebelum kubu The Red Devils mengumumkannya secara resmi.

Di usia yang mendekati 35 tahun, ia menunjukkan bahwa usia hanyalah angka. Di musim pertamanya, Zlaran menjadi tokoh sentral dalam usaha United meraih kembali kehormatan mereka di tanah Inggris. Ia mencetak 28 gol dalam 46 pertandingan, jauh lebih banyak dibandingkan penyerang United lainnya macam Wanye Rooney, Anthony Martial, hingga Marcus Rashford, serta berhasil membawa United meraih Community Shield, Piala Liga, dan Liga Europa.

Miroslav Klose (2011, Bayern München menuju Lazio)

Kepergian Klose dari Bayern sebenarnya tak begitu disesalkan oleh suporter Die Roten. Memang, ia telah berjasa menyumbangkan 2 gelar Bundesliga dan 2 DFB-Pokal, namun kontribusi Klose sudah menurun drastis di musim terakhirnya bersama Bayern. Ia hanya mencetak sebiji gol di Bundesliga.

Selain itu, di usianya yang sudah 33 tahun, ia sudah kalah bersaing dengan Mario Gomez dan Thomas Müller. Durasi kontrak baru yang diberikan Bayern juga tak memuaskan hatinya. Akhirnya ia pun memutuskan pergi dari Bavaria.

Lazio menjadi tim yang dipilihnya.

Bersama Gli Aquilotti, ia pun dipercaya sebagai pemain inti di banyak kesempatan. Ketajamannya pun kembali muncul. Selama 5 musim di Lazio, 3 kali ia berhasil menjadi top skor bagi klub. Ia juga berhasil meyumbangkan gelar Coppa Italia di musim 2012/2013. Yang terpenting dari kepindahan Klose ini adalah kesempatan bermain secara reguler bersama Lazio membuatnya terus dipercaya oleh pelatih timnas Jerman, Joachim Löw.

Ia pun menjadi bagian dari skuat yang menjuarai Piala Dunia 2014, dengan tampil sebanyak 5 kali dan menyumbang 2 gol, membuatnya menjadi top skor sepanjang masa Piala Dunia hingga saat ini dengan 16 gol.

Robert Lewandowski (2014, Borussia Dortmund menuju Bayern München)

Transfer ini mungkin merupakan keputusan terbodoh yang pernah dilakukan oleh manajemen Dortmund. Bagaimana mungkin mereka membiarkan pemain sekaligus penyerang terbaik mereka pindah tanpa biaya sepeser pun?

Kondisi ini dimulai dari keinginan Lewandowski untuk hijrah di musim panas 2013 dengan kontrak yang masih tersisa satu musim lagi. Bayern, yang baru saja menjuarai Liga Champions kala itu, menjadi peminat serius.

Namun, kala itu manajemen Dortmund berusaha keras menahan kepergian Lewandowski karena saat itu Mario Götze juga baru saja pindah ke Bayern. Tak ingin dua bintangnya hengkang ke klub rival, Dortmund memilih menahan Lewandowski dengan iming-iming kenaikan gaji di musim terakhirnya. Dortmund memilih hal tersebut karena mereka tak ingin kekuatan mereka tereduksi secara besar-besaran.

Dortmund bisa saja menjual Lewandowski dan mencari penyerang baru, namun mereka memilih mempertahankan pemain Polandia tersebut. Lewandowski pun setuju bertahan semusim lagi, bahkan ia berhasil menjadi top skor Bundesliga musim 2013/2014. Namun ia tetap pada pendiriannya untuk tak memperpanjang kontrak dan pindah ke Bayern di akhir musim.

Sejak saat itu, Lewandowski telah membawa Bayern menjuarai Bundesliga 3 kali, meraih 1 DFB-Pokal, dan mencetak gol jauh lebih banyak dari yang dilakukannya bersama Dortmund. Sedangkan Dortmund saat ini sedikit turun kasta menjadi tim ala Jerman pada umumnya: mengekor Bayern di klasemen Bundesliga, bersaing memperebutkan tiket ke Liga Champions, untuk kemudian tersingkir dengan cepat oleh wakil-wakil dari negara lain.

Andrea Pirlo (2011, AC Milan menuju Juventus)

Kebijakan Milan saat itu yang hanya memberikan perpanjangan kontrak selama setahun bagi pemain berusia di atas 30 tahun serta keberadaan Mark van Bommel yang mengakibatkan posisi bermainnya di lapangan tengah digeser ke kiri oleh pelatih Milan kala itu, Massimiliano Allegri, menjadi alasan utama hengkangnya ia dari Milanello dan pindah ke Juventus yang menawarkan kontrak selama tiga tahun dan jaminan bermain di depan para bek, posisi terbaiknya.

Dicap habis oleh banyak kalangan mengingat di musim terakhirnya di Milan ia jarang bermain akibat cedera, Pirlo justru membuktikan sebaliknya. 4 musim membela Bianconeri, iamenjadi andalan Antonio Conte maupun Allegri yang datang menggantikan Conte di musim terakhirnya.

Ia juga berhasil meraih 4 gelar Serie A, 1 Coppa Italia, 2 Piala Super Italia, serta membawa Juventus ke final Liga Champions 2015 dan timnas Italia ke final Piala Eropa 2012. Prestasi yang kelewat banyak untuk pemain yang sudah dicap habis.

Paul Pogba (2012, Manchester United menuju Juventus)

Selama beberapa tahun terakhir, Juventus merupakan klub terbaik dalam urusan merekrut pemain dengan status free transfer. Nama-nama seperti Pirlo, Fernando Llorente, Sami Khedira, hingga Daniel Alves adalah contohnya. Namun bisa dibilang free transfer terbaik mereka terjadi pada musim panas 2012.

Semusim setelah merekrut Pirlo, Juventus mengumumkan bahwa mereka telah merekrutpemain tak terkenal berusia 19 tahun bernama Paul Pogba dari Manchester United. Pemain yang diageni oleh Mino Raiola ini memilih hengkang dari Old Trafford setelah habis kesabarannya karena tak kunjung diberi kesempatan di tim utama oleh Sir Alex Ferguson, meski dalam autobiografinya, manajer tersukses United ini menuduh Raiola-lah biang keladi dibalik kepindahan Pogba.

Siapapun yang salah, Juventus-lah yang menuai hasilnya. Selama 4 musim berseragam Juventus,Pogba berubah menjadi salah satu gelandang terbaik di Eropa. Ia berhasil meraih 4 gelar Serie A, 2 Coppa Italia, 3 Piala Super Italia, membawa Juventus ke final Liga Champions 2015, serta membawa timnas Prancis mencapai final Piala Eropa 2016. United yang ingin membawanya pulang akhirnya terpaksa merogoh kocek sebesar 105 juta euro untuk membelinya dari Juventus, yang menjadikan ia pemain termahal dunia saat itu.

Raul Gonzalez (2010, Real Madrid menuju Schalke 04)

Sepuluh tahun lalu, rumor kepergian Raul dari Madrid mungkin akan menjadi bahan tertawaan. Tak ada yang akan mengira bahwa legenda, anak emas, pujaan hati, sekaligus kapten El Real itu akan hengkang dari Santiago Bernabeu. Orang-orang yakin ia akan pensiun di Madrid. Namun ternyata hal itu tak menjadi kenyataan dan kepergian itu benar-benar terjadi pada musim panas 2010.

Moncernya penampilan Cristiano Ronaldo dan Gonzalo Higuain membuat waktu bermainnya berkurang di bawah asuhan Manuel Pellegrini, selain faktor cedera tentunya. Kedatangan Jose Mourinho sebagai upaya untuk menggantikan Pellegrini juga diyakini tak akan mengubah nasibnya. Mourinho ingin ia tinggal, menjadi ikon dan pemersatu ruang ganti layaknya Marco Materazzi di Inter, namun Raul masih ingin bermain lebih banyak.

Schalke 04, yang menjadi peminat serius sejak awal, menjadi pilihannya. Sebuah klub yang tak sebesar Madrid, dengan tekanan suporter yang tak begitu besar, serta kesempatan bermain lebih besar menjadi alasan utama Raul memilih Gelsenkirchen sebagai pelabuhan berikutnya. Dua musim bermain bersama Schalke, Raul mencatatkan 40 gol dalam 98 penampilan, sebuah bukti bahwa ia belum kehilangan ketajaman di depan gawang.

Ia juga berhasil membawa The Royal Blues meraih gelar DFB-Pokal di tahun 2011, sekaligus melengkapi prestasinya di level klub, mengingat selama berkarir di Madrid ia tak pernah sekalipun menjuarai piala domestik.

Author : Adhi Indra Prasetya (@aindraprasetya)
Penggemar Juventus yang merasa dirinya adalah Filippo Inzaghi saat bermain bola