Apa yang kurang dari karier seorang Hidetoshi Nakata? Ia sudah terkenal sebagai salah satu pemain Asia tersukses di Eropa. Pria ini pernah memenangi gelar Scudetto bersama AS Roma kemudian diperebutkan klub-klub Serie A Italia. Di tim nasional Jepang, ia juga menjadi pemain andalan serta idola masyarakat negeri tersebut. Mungkin kurangnya hanyalah waktu yang singkat untuk menikmati keindahan sang pemain di lapangan hijau.
Nakata memang memutuskan untuk pensiun dari dunia sepak bola pada tahun 2006, dalam usia yang baru menginjak 29 tahun. Ia lebih memilih untuk menggeluti bidang fesyen dan bisnis kuliner. Setelah resmi meninggalkan sepak bola, pria yang lahir di Kofu ini menjadi model busana di berbagai majalah mode. Selain itu, ia merilis berbagai busana hasil desainnya sendiri.
Meski telah menikmati hidup di dunia kreatif, tetap saja nama Hidetoshi Nakata identik dengan sepak bola di dekade 1990-an. Ia mencuri perhatian pertama kali ketika berlaga di Piala Dunia 1998. Setelah ajang empat tahunan yang berlangsung di Prancis itu, Nakata menandatangani kontrak dengan Perugia, salah satu klub peserta Serie A Italia.
Ia menjadi pemain Jepang kedua yang pernah tampil di kasta teratas Italia setelah Kazuyoshi Miura di Genoa empat tahun sebelumnya. Kepindahan Nakata sempat dicibir sebagai strategi bisnis semata. Namun, pria yang memulai karier di Bellmare Hiratsuka ini membungkam para pengkritik pada pertandingan pertama yang dilakoninya di Serie A.
Baca juga: Perpanjang Kontrak, Kazuyoshi Miura akan Bermain di Usia 51 Tahun!
Pada laga pembuka Serie A 1998/1999 melawan Juventus, Nakata mencetak dua gol ke gawang Angelo Peruzzi. Meski Perugia harus mengakui keunggulan Juve dengan skor 3-4, dua golnya dalam waktu tujuh menit langsung menjadi perbincangan dunia.
Stadion Perugia, Renato Curi, mulai dipadati penonton yang ingin melihat langsung aksi-aksi Nakata. Keluarga Gaucci, pemilik klub Perugia, mendapat keuntungan berlipat ganda dengan terjualnya 70.000 lembar jersey Perugia bernomor punggung 7 atas nama sang pemain. Singkatnya, pria Jepang ini benar-benar menjadi fenomena.
Di musim pertamanya di Italia, Nakata mencetak 10 gol. Jumlah itu lalu bertahan menjadi torehan jumlah gol tertinggi sepanjang kariernya sebagai gelandang menyerang. Penampilan gemilangnya itu lalu menarik perhatian pelatih AS Roma, Fabio Capello. Akhirnya, pada musim panas 2000, Nakata bergabung ke klub ibu kota Italia itu dengan harga 42 juta lira Italia (sekitar 21,691 juta euro di zaman sekarang).
Bersama pemain-pemain bintang Roma yang lain, seperti Francesco Totti dan Gabriel Batistuta, Nakata membantu klub tersebut memenangkan Scudetto (gelar juara Serie A). Namun, semusim kemudian ia kembali berkelana. Kali ini Parma menjadi tujuan selanjutnya. Di klub ini ia bertahan tiga tahun dengan mempersembahkan satu trofi Coppa Italia.
Nakata mengisi memori para pencinta Liga Italia dengan kenangan indah selama tujuh tahun. Ia juga sempat memperkuat Bologna dan Fiorentina sebelum mencicipi Liga Primer Inggris bersama Bolton Wanderers di musim 2005/2006. Namun pada saat para pencinta sepak bola dunia bersiap-siap menunggu aksi-aksi selanjutnya dari pemain yang berlaga di tiga Piala Dunia ini, ia justru membuat keputusan mengejutkan.
Pada pertengahan 2006, ia mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia sepak bola. Padahal, usianya masih 29 tahun, masih sangat produktif bagi seorang pemain sepak bola. Ia lalu mengemukakan alasannya bertahun-tahun kemudian. Nakata lalu mengakui bahwa dirinya dilanda kebosanan dan ingin mencoba tantangan di bidang lain.
Meski ia pensiun terlalu cepat, memori tentang kehebatan Nakata di tahun-tahun terbaiknya tak akan hilang dari ingatan kita. Selamat ulang tahun, maestro!
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.