Dunia Lainnya

Pentingnya Teman Menonton Sepak Bola

“Sepak bola sudah tak lagi menarik bagi saya” ucap kawan saya di pangkalan ojek tempat biasa kami kongkow. Saat itu saya dan seorang kawan yang lain sedang terlibat perbincangan tentang jadwal Liga Inggris.

Ucapan itu sontak membuat perbincangan ihwal jadwal tak lagi menarik buat saya. Sebab saya tahu orang yang menyebut kalimat itu bukanlah pria yang biasa menampilkan wajah bingung di saat teman-temannya membahas sepak bola. Kawan saya ini adalah seorang pendukung Barcelona yang taat. Dulu, ia tak akan membiarkan komentar negatif tentang Blaugrana tanpa perlawanan.

Tetapi kini, komentar buruk tentang Barcelona tak ubahnya ocehan istri karena kedapatan membuang abu rokok sembarangan. Hanya sepintas terdengar tanpa singgah lama-lama. Ia yang dulu menggebu-gebu berbicara tentang kepindahan Samuel Eto’o atau Zlatan Ibrahimovic ke Barcelona, sekarang memandang transfer Philippe Coutinho hanya sebatas perpindahan domisili seorang pekerja.

Fajar Martha pernah menulis tentang sepak bola dan cinta, bahwa cinta mati juga bisa hadir di antara gelak tawa menyaksikan kebodohan penyerang tak bisa membuat gol ketika tinggal berhadapan dengan penjaga gawang atau wajah murung di pagi hari saat sadar ketiduran dan melewatkan pertandingan penting.

Tapi sebagaimana cinta yang mengenal titik jenuh, maka sepak bola pun begitu. Dan saya yakin ada banyak orang di luar sana yang juga mengalami hal serupa. Termasuk saya.

Harus saya akui, perdebatan yang bisa menjurus pada hinaan tentang pertandingan sepak bola sudah jarang saya lakukan. Ponsel sudah tak berbunyi simultan saat Chelsea menelan kekalahan. Padahal dulu, saya rela kehabisan pulsa hanya untuk melempar ejekan ke pendukung Liverpool saat mereka terjungkal di Anfield.

“Nonton bola pun bukan lagi keharusan saat ini. Sekalipun itu adalah pertandingan penting Barcelona. Saya sudah tak merasakan kejengkelan berhari-hari ketika melewatkan pertandingan seperti itu”.

Saya semakin serius memandang kawan di samping saya itu. Walau tak ekstrem seperti dia, namun saya sedikit merasakan kemiripan dengan apa yang saya rasakan.

Konon ada yang bilang bahwa banjir analisa statistik sepak bola belakangan ini mungkin bisa menjadi aktor utama. Menonton sepak bola saat ini seperti menatap tumpukan lembar keuangan yang penuh dengan angka serta jargon-jargon normatif. Azas efektif dan efisien semakin sering bermunculan.

Walau saya sendiri tak begitu yakin akan asumsi tersebut. Saya takut justru waktu yang menjadi persoalan, bahwa ini adalah perkara kita beranjak tua dengan membawa segala keseriusan memandang hidup ke dalam urusan sepak bola.

Sampai saat ini saya belum sekalipun terlibat perdebatan yang menyinggung tentang perseteruan Antonio Conte dan Jose Mourinho. Padahal jika itu terjadi beberapa tahun lalu bisa membuat rahang keseleo karena saling bantah argumen.

Maka di tengah kekeringan hasrat pada sepak bola itu, Anda mesti bersyukur kalau masih mempunyai seorang kawan yang entah bagaimana masih bisa menonton sepak bola selaiknya bocah dikasih permen.

Kami biasa memanggilnya Micu, seorang pendukung Chelsea yang taat. Menonton sepak bola dengannya, apalagi pertandingan Chelsea, harus berada di ruang kosong, sebab ia akan melempar apapun yang berada di sekitarnya ketika Alvaro Morata gagal mencetak gol padahal peluang yang tercipta sangat bagus.

Segala bentuk makian meluncur indah dari mulutnya kala David Luiz atau Gary Cahill gagal mengadang lawan. Micu adalah teman menonton sepak bola favorit saya.

Beberapa kali ia rela mengeluarkan lembar terakhir dari dompetnya dan mengajak orang di sekitarnya taruhan. Jika itu sudah terjadi dan Chelsea kalah, maka yang menjadi korban adalah saya, karena mau tak mau harus siap merogoh kantong untuk membeli rokok. Sialnya, Micu ini kalau menonton sepak bola sudah seperti aktor Tony Leung dalam film In The Mood For Love ketika mengerjakan komik, yakni asap nikotin selalu membumbung tebal.

Letupan emosi, teriakan, serta bokong yang jarang menempel ke kursi menjadikan suasana menonton bersama kawan satu ini seperti berada di dalam stadion.

Seperti halnya kelakuan Darmanto Simaepa ketika menonton sepak bola yang dikisahkan oleh Mahfud Ikhwan dalam Tamasya Sepak Bola. Menurut saya setidaknya kita mesti punya orang-orang seperti ini sebagai penjaga hasrat menonton sepak bola layar kaca.

Nah, siapa teman nonton bola favorit Anda?

Author: Rizal Syam (@rizArt_)