Di tahun 2018 ini, hampir dua dekade di abad 21, masih ada beberapa negara yang melarang perempuan untuk datang ke stadion dan menonton pertandingan sepak bola laki-laki. Untuk bayangan saja, silakan imajinasikan bagaimana seorang ayah di Indonesia tidak bisa membawa anak perempuannya ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) untuk menonton timnas Garuda, namun boleh membawa anak laki-lakinya.
Anak perempuannya akan diminta menunggu di luar stadion, hanya karena gendernya. Hal ini tentunya konyol sekaligus mengerikan. Bahkan, tak hanya di stadion, si perempuan ini juga tak bisa melakukan nobar (nonton bareng) bersama teman-temannya!
Kemudian, bayangkan kembali, timnas Indonesia menjamu Malaysa di SUGBK, penonton perempuan Malaysia diperbolehkan untuk mendukung negaranya secara langsung di stadion! Perempuan asing dibolehkan untuk hadir ke stadion, sementara perempuan asli negara kita sendiri tidak dibolehkan. Sungguh mengherankan sekaligus menyebalkan, bukan?
Untungnya hal ini tidak terjadi di negara kita, namun di dua negara ini, hal seperti ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun.
Di Arab Saudi, perempuan tidak mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki, termasuk dalam hak mengemudi dan masuk ke dalam stadion, sejak konstitusi awal negara tersebut terbentuk.
Di Iran sejak revolusi di tahun 1979, perempuan tidak boleh menghadiri kompetisi sepak bola yang dimainkan oleh laki-laki. Kata-kata kasar nan vulgar yang kerap kali dikeluarkan oleh para pria di stadion dijadikan alasan mengapa perempuan tak boleh datang ke stadion oleh pemerintah setempat.
Peraturan ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa:
- Iran, dengan populasi penduduk mencapai 77 juta jiwa, memiliki salah satu basis suporter sepak bola paling besar di Asia.
- Sebelum tahun 1979, perempuan dibolehkan datang ke stadion dan banyak dari mereka yang benar-benar hadir.
- Perkembangan timnas sepak bola perempuan Iran, dan jumlah suporter perempuan Iran yang datang ke stadion di luar negeri untuk pertandingan Team Melli semakin besar, dan menjadi bukti bahwa sepak bola semakin populer bagi perempuan Iran.
Peraturan yang bersifat diskriminatif ini semakin menyakitkan, karena reporter dan suporter perempuan yang berasal dari negara lain diizinkan untuk masuk ke stadion sepak bola di Iran dan Arab Saudi, seperti misalnya di laga antara Suriah dan Iran di bulan September 2017 lalu, dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2018.
Petugas keamanan yang bertugas di Stadion Azadi, stadion nasional Iran, mengizinkan perempuan Suriah, baik yang mengenakan kerudung atau tidak, untuk masuk ke stadion, namun mereka melarang perempuan dari negeri sendiri untuk melakukan hal yang sama.
Peraturan aneh semacam ini juga berlaku di Arab Saudi, setidaknya hingga beberapa waktu lalu. Sebagai contoh, pendukung perempuan dari klub Australia, Western Sydney Wanderers, dibolehkan untuk masuk ke stadion King Fahd di Riyadh dalam laga Liga Champions Asia.
Meskipun begitu, peraturan yang memuat standar ganda seperti ini tak menyurutkan semangat beberapa perempuan Iran dan Arab Saudi untuk hadir ke stadion. Sebagai contoh, di bulan Mei 2016 lalu, seorang perempuan Iran mengaku mengenakan lima kaus dan lima celana demi menyamar seperti layaknya laki-laki, dan berhasil mengelabui petugas keamanan dan berhasil masuk ke laga terakhir Liga Primer Iran di musim tersebut.
Sebagai bukti, ia mengunggah swafoto (selfie) di akun Instagram miliknya. Di tahun 2017, setidaknya ada tiga perempuan Iran yang menjadi viral di media sosial karena berhasil masuk ke stadion dengan memakai pakaian pria dan memasang jenggot palsu. Apa yang mereka lakukan tak hanya sekadar melawan aturan yang membingungkan, namun untuk menunjukkan bagaimana bahwa gairah perempuan terhadap sepak bola juga tidak kalah dari laki-laki.
Untungnya, larangan ini telah dicabut di tanggal 12 Januari 2018 lalu di Arab Saudi. Menyusul dihapuskannya larangan mengemudi bagi perempuan di negara tersebut, pemerintah Arab Saudi semakin progresif dengan mencabut larangan kehadiran perempuan di stadion sepak bola.
Momen historis ini dapat terlihat dari senyuman cerah perempuan Arab Saudi yang mengantre di pintu masuk stadion untuk laga antara Al-Ahli dan Al-Batin, laga pertama yang mana boleh dihadiri oleh perempuan lokal. Mereka terlihat bahagia mengambil beberapa jepretan selfie bersama suami atau teman-teman mereka, dan mengunggahnya ke media sosial.
Peristiwa bersejarah ini mampu mendapatkan tempat di laman utama beberapa media besar dunia, membuat perempuan di Iran iri akan kebahagiaan perempuan di Arab Saudi. Terlebih kepada perempuan muda di Iran saat ini, yang harus menerima kenyataan bahwa ibu mereka dulu dibolehkan untuk hadir ke stadion, sedangkan mereka menderita akibat peraturan pasca-revolusi. Lebih dari itu, kini mereka harus menanggung predikat sebagai satu-satunya kelompok di dunia yang tidak dibolehkan hadir ke stadion untuk menonton sepak bola laki-laki.
Pada dasarnya, peraturan berbau diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Iran melanggar pasal tiga dari hukum FIFA, yang berbunyi “Diskriminasi terhadap satu negara, individu, kelompok, ras, warna kulit, etnis, kebangsaan, gender, bahasa, agama, politik, orientasi seksual, status, atau hal lain dilarang keras dan dapat mendapatkan hukuman.”.
Saat ini, Iran mendapatkan sorotan sendiri sebagai satu-satunya negara yang melarang perempuan untuk menonton pertandingan sepak bola pria langsung di stadion. Harapannya, sorotan ini bisa mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan praktik seksisme terhadap perempuan pencinta sepak bola.
FIFA juga diharapkan mampu untuk bersikap tegas kepada salah satu anggotanya yang menyalahi aturan. Perempuan di Arab Saudi seharusnya tidak perlu untuk menunggu selama 62 tahun utuk mendapat kebebasan ini, dan tentunya perempuan di Iran juga tak seharusnya menunggu begitu lama untuk mendapatkan hak mereka hadir dan menonton sepak bola langsung di stadion.
Kredit Foto: Arabnews.com
Author: Niloufar Momeni
Penerjemah: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)