Entah itu pada musim panas pertengahan tahun atau musim dingin akhir-awal tahun, isu seputar bursa transfer pesepak bola selalu saja menjadi perbincangan menarik, yang bahkan tak kalah menariknya dari pertandingan sepak bola itu sendiri. Kebiasannya adalah, publik akan mereka-reka siapa akan ke mana, siapa akan dijual klubnya, atau klub mana yang sedang mendekati siapa.
Dalam dunia sepak bola, kita mengenal berbagai istilah-istilah berkaitan urusan transfer pemain bola. Mulai dari beli, jual, pinjam atau istilah yang lebih spesifik semacam klausul beli dengan harga ditentukan (buy-out clause), klausul pembelian kembali (buy-back clause), klausul peminjaman beropsi beli (loan with an option to buy) dan tentu saja satu tak bisa terlupa, bebas transfer.
Istilah bebas transfer (free transfer) berarti si pemain berkesempatan untuk bernegosiasi dan/atau menjalin kontrak dengan klub manapun, tanpa harus menebus biaya transfer ke klub lamanya. Ketika seorang pesepak bola habis masa kontraknya dan tidak ada perpanjangan bersama klub lamanya itu, maka dia dengan begitu bebas untuk pindah ke klub mana pun.
Persepsi dahulu kala mungkin menganggap bahwa pemain bebas transfer adalah mereka yang uzur, telah habis “masa jayanya” atau tak berguna lagi. Tetapi, lain zaman lain cerita. Dengan perkembangannya yang pesat, sepak bola selalu dibumbui dinamika terbarunya dari waktu ke waktu. Beberapa musim ini, pemain bebas transfer bisa saja adalah dia yang merupakan pemain muda potensial atau bahkan pemain top yang seharusnya berharga tinggi.
Ambil contoh gampangnya yakni Robert Lewandowski. Akibat tidak tercapainya kesepakatan perpanjangan kontrak antara dia dan Borussia Dortmund sampai pada pertengahan musim 2013/2014, maka dia dengan bebas pindah pada akhir musim itu juga. Pada akhirnya, bujuk rayu Bayern München-lah yang meluluhkan hati Lewandowski saat itu juga.
Dortmund tentu rugi besar, karena mereka tak mendapat sepeserpun uang dari kepindahan Lewandowski ke kubu FC Hollywood akibat statusnya yang bebas transfer. Mungkin, andai dia masih terikat kontrak yang panjang dengan Die Borussen, bisa saja dia dilepas dengan mahar antara 40 hingga 50 juta euro.
Jika kita mencermati lebih dalam seputar masalah bebas transfer, memang kekuatan seorang pesepak bola begitu besar. Apabila jelang setengah musim kontraknya berakhir dan belum tercapai deal perpanjangan dengan klub lamanya, maka si pesepak bola sudah bisa bernegosiasi dengan klub lain. Seakan hal itu menggambarkan kuasa yang besar dari individu (pesepak bola) terhadap klubnya.
Episentrum peradaban sepak bola sejak era konvensional hingga modern tumbuh dari tanah Eropa, dan tentang sejarah bebas transfer sendiri pun memang diawali dari Benua Biru tersebut. Pesepak bola yang menjadi pionir bebas transfer adalah Jean-Marc Bosman, asal Belgia.
Pada tahun 1990, kontrak Bosman dengan klubnya, RFC Liege, habis dan dia meminta klubnya agar dia dijual ke klub lain. Saat itu klub asal Prancis, Dunquerkue, tertarik.
Sebenarnya sudah ada kesepakatan antara Liege dan Dunquerkue, tetapi terganjal karena kabar burung masalah finansial Dunquerkue, dan Liege memutuskan untuk undur diri hingga membatalkan transfer tersebut. Merasa hak dan kebebasannya direnggut Liege untuk pindah, Bosman menggugat hal masalah itu ke pengadilan Belgia dan berlanjut hingga ke pengadilan tinggi tingkat Eropa, Court of European Union Justice (CEUJ) atau pengadilan tinggi Uni Eropa.
Pengadilan tingg Uni Eropa akhirnya memenangkan gugatan Bosman dan menganggap bahwa masalah kontrak kerja pesepak bola, linier dengan isu ketenagakerjaan lainnya seperti kebebasan untuk berpindah bagi setiap pekerja di Eropa sesuai dengan aturan pasal 39 European Union Treaty of Rome. Akibat putusan itu, dampaknya dalam sepak bola begitu luas dan hak-hak pesepak bola pun semakin dihargai.
Sebelum ada aksi gugatan Bosman, setiap pesepak bola harus meminta dijual terlebih dahulu kepada klubnya, walau kontraknya telah habis. Tentu itu sangat membatasi hak-hak mereka berupa kebebasan seorang pekerja untuk pindah setelah kontraknya telah usai. Untungnya, apa yang dilakukan Bosman dapat mengakhiri masa feodalisme cara-cara transfer pada saat itu, yang masih cenderung membatasi ruang kebebasan bagi pesepak bola. Sejarah peristiwa dan keputusan fundamental itu sendiri kini terkenal akan kenangan bernama, Bosman Ruling.
Berkat jasa Bosman, kini setiap pesepak bola punya hak untuk mementukan nasib dirinya sendiri, manakala habis kontrak dengan klubnya. Lalu, kalau tak ada keberanian dari seorang pesepak bola antah berantah bernama Jean-Marc Bosman, maka perpindahan bebas transfer terkenal semacam Steve McManaman dari Liverpool ke Real Madrid, Sol Campbell dari Tottenham Hotspur ke Arsenal, atau Lewandowski ke Bayern, belum tentu ada pula.
Bahkan efek dari Bosman, membuat FIFA ikut tergerak mengamandemen aturan mengenai transfer pemain, terutama pasal-pasal berkaitan pelaksanaan kontrak antara pesepak bola dan klub dalam Regulations on Status and Transfer of Players, karena aturan-aturan lama itu dinyatakan membatasi hak-hak seorang pekerja seperti hasil putusan pengadilan tinggi Uni Eropa tentang Bosman.
Aturan bebas trasfer tidak selalu sama persis di tiap negara, tetapi soal kebebasan pindah klub setelah kontraknya habis, secara alamiah menjadi hak individu seorang pekerja, tak terkecuali itu pesepak bola. Karena, pesepak bola juga termasuk kerja profesi dan hak-haknya sama dengan pekerja lainnya yang ada dalam sebuah ekosistem perekonomian masyarakat.
Meski Bosman banyak menghabiskan uang pribadi untuk mengurusi gugatannya hingga pengadilan tinggi Uni Eropa dan di satu sisi kariernya sebagai pesepak bola pun cenderung medioker, tetapi dunia sepak bola patut berterima kasih pada Jean-Marc Bosman, atas jasa-jasanya sebagai pahlawan pejuang kebebasan hak-hak pesepak bola.
Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)