Eropa Italia

Fragmen Karier Francesco Coco: Ketika Modal Ganteng Saja Tidak Cukup

Jika membahas salah satu pesepak bola paling rupawan sepanjang masa, nama Francesco Coco tak boleh terlewatkan. Mantan pemain AC Milan, Internazionale Milano, dan Barcelona ini adalah salah satu pemain ganteng yang digilai wanita maupun pria di akhir 1990-an dan 2000-an. Sayang, kariernya tak pernah mencapai predikat kelas dunia.

Sebagai pemain muda, masa depan Coco awalnya diprediksi akan cerah. Ia digadang-gadang akan menjadi penerus Paolo Maldini di sektor bek kiri pertahanan AC Milan. Demi membuatnya ‘dewasa’, Rossoneri meminjamkan pemain kelahiran 8 Januari 1977 ini ke Vicenza pada musim 1997/1999 disusul ke Torino pada musim 1999/2000.

Coco adalah pemain cepat, dengan keunggulan fisik dan  pemahaman taktik yang baik. Sebagai pemain belakang, naluri ofensif dan defensifnya sama kuatnya. Meskipun ia secara alami memiliki keunggulan di kaki kanan, ia juga mampu bermain baik di sisi kiri. Berkat keunggulan skill dan staminanya, Coco juga kadang-kadang dimanfaatkan sebagai gelandang sayap dalam formasi 3-5-2 atau 3-4-3.

Ia berseragam AC Milan antara tahun 1993 dan 2002, dengan pengalaman tiga kali bermain sebagai pinjaman. Masa peminjamannya yang paling terkenal adalah ke Barcelona pada musim 2001/2002. Keputusan klub Spanyol tersebut mendatangkan alumni skuat U-21 Italia ini mengejutkan banyak pihak.

Di Camp Nou, Coco berjuang memperebutkan posisi pemain inti dari Sergi Barjuan, pengisi utama posisi bek kiri. Pemain kelahiran Paterno ini akhirnya tampi dalam lebih dari 20 pertandingan. Namun, Barca melewati salah satu musim yang terburuk sepanjang masa di bawah arahan Carles Rexach dengan finis di posisi keempat La Liga.

Meski demikian, penampilannya di Barcelona menghadiahkannya salah satu periode terbaik dalam kariernya. Pelatih Giovanni Trappattoni memasukkan Coco ke dalam skuat yang diberangkatkan ke Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Ia menjadi bek kiri utama di tim Italia yang terhenti secara tragis dari tuan rumah Korea Selatan di perempat-final.

Setelah kembali ke kota Milan, Coco melakukan langkah kontroversial dengan pindah ke rival sekota AC Milan, Inter Milan. Ia bertahan lima tahun di klub tersebut. Namun, hari-harinya pun mulai dilewatkan dengan absen dari skuat utama. Fisiknya mulai rawan cedera yang mengakibatkan penampilannya tidak konsisten.

Selain bekapan cedera, Coco juga ditengarai memiliki masalah disiplin di luar lapangan. Alhasil, ia kembali dipinjamkan dua kali, ke Livorno dan Torino. Ia hanya tampil kurang dari tiga puluh pertandingan bersama Inter, sehingga perayaan juara Coppa Italia musim 2004/2005 yang dimenangkannya bersama klub tersebut terasa hambar.

Pada bulan Januari 2007, Coco mencoba mengikuti seleksi bersama klub Inggris, Manchester City. Namun setelah tiga hari, klub tersebut menolak mengontraknya dengan alasan pemain bertinggi badan 181 sentimeter ini tak sesuai dengan rencana mereka. Barulah belakangan media Inggris memberitakan bahwa Manchester City tak lagi tertarik kepada Coco setelah melihatnya mengisap rokok di salah satu tempat umum.

Mungkin karena kesal, Coco memutuskan untuk gantung sepatu pada usia 30 tahun, usia yang terbilang produktif untuk seorang pesepak bola. Ia lalu mengejar karier di dunia akting dan wajah tampannya sempat terlihat menghiasi beberapa acara televisi di Italia. Namun, lama-kelamaan ia merasa bosan dan menarik diri dari dunia hiburan. Coco kemudian terjun ke dunia properti untuk menjadi agen perumahan.

Terakhir, Coco diberitakan merambah dunia busana. Pada tahun 2017 lalu, ia terlihat di Milan Fashion Week untuk memperkenalkan desain sepatu atas namanya sendiri. Pria yang kini menginjak usia 41 tahun tersebut sepertinya telah menemukan dunia tempat ia bisa asyik berkreasi. Siapa tahu Coco bisa lebih sukses di dunia mode dan fesyen daripada di lapangan sepak bola.

Selamat ulang tahun, Coco!

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.