Eropa Inggris

Marina Granovskaia, Iron Lady di Balik Kerja Transfer Chelsea

Jika bicara perempuan di dunia sepak bola, cukup banyak subjek menarik untuk jadi bahan perbincangan. Siapa tak kenal Alex Morgan? Pemain sepak bola asal Amerika Serikat itu tidak hanya jago dalam mengolah si kulit bundar, ia juga pandai menulis novel. Lalu ada sosok Eva Carneiro yang sempat menjadi dokter tim Chelsea. Atau wasit perempuan yang tengah hits, Bibiana Steinhaus, sebab ia perempuan pertama yang berhasil menjadi wasit profesional di Bundesliga.

Setelah sanggup menjadi pemain sepak bola andal, kepala tim medis sebuah klub besar, hingga pengadil di lapangan sepak bola, perempuan kini berperan sebagai juru runding di bursa transfer. Ya, saya sedang membicarakan sosok bernama Marina Granovskaia.

Selepas kepergian Michael Emenalo dari Stamford Bridge, Marina melangkah jauh dari persona kepribadiannya yang dikenal keras untuk menjadi wajah baru perundingan Chelsea. Sebelumnya, perempuan asal Rusia ini lebih banyak beraktivitas di balik layar. Namun sejak jabatan Direktur Teknik yang semula diemban Emenalo lowong, Marina merasa perlu tampil lebih ke depan untuk menambah daya gedor pergerakan Chelsea di bursa transfer.

Lulus pada tahun 1997 dari Universitas Negeri Moskow, ia langsung mendapatkan pekerjaan di perusahaan minyak milik Roman Abramovich bernama Sibneft. Dari sini Roman melihat keahlian bisnis Marina untuk pertama kalinya. Tanpa ragu, Roman turut serta memboyong Marina ke Inggris ketika dirinya mengambil alih kepemilikan Chelsea dari Ken Bates.

Jadi, Marina Granovskaia bukanlah wajah baru di tubuh Chelsea. Sejak 2004, sosok perempuan yang kini berusia 42 tahun itu sudah aktif terlibat membangun ‘kerajaan’ Roman di London. Meski demikian, baru pada tahun 2014 ia dipromosikan menjadi dewan direksi klub. Pengalaman yang sudah berumur puluhan tahun di Chelsea, cukup membuat dirinya disegani oleh segenap penghuni Stamford Bridge.

Bahkan sempat diberitakan, Marina berkata seperti ini ketika perpanjangan kontrak John Terry kala itu tidak kunjung mencapai sepakat: “take it or fucking leave it!”. Bisa sama-sama kita bayangkan sendiri, perangai keras John Terry di lapangan, harus takluk oleh perempuan Rusia bernama Marina Granovskaia. Tampaknya, Marina tidak peduli dengan status Terry yang sudah jadi kapten, pemimpin, bahkan legenda bagi pendukung The Blues. Bagi Marina, bisnis adalah bisnis.

Marina pula yang menjadi otak di balik kerja sama Chelsea dengan Nike. Kontrak itu menjadikan Chelsea sebagai klub nomor tiga dengan bayaran termahal dari pihak sponsor di Benua Biru. Selain itu, dirinya juga yang berhasil melambungkan harga seorang David Luiz. Entah apa yang dipresentasikan Marina ke pihak Paris Saint-Germain (PSG) kala itu, faktanya uang 50 juta paun dikeluarkan PSG hanya untuk seorang pemain belakang.

Dari prestasi-prestasi tersebut, media Inggris sampai menjulukinya ‘Iron Lady’. Yang menarik, julukan itu terakhir kali disandang oleh Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris. Julukan yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘Wanita Besi’ itu pertama kali ditulis oleh jurnalis Uni Soviet. Wataknya yang keras di lapangan politik dan gaya kepemimpinan Margaret yang tanpa belas kasihan, menjadi alasan mengapa ‘Iron Lady’ adalah frasa yang dipilih lantas dipublikasikan.

Kendati sama-sama terlahir sebagai perempuan, Margaret dan Marina adalah dua sosok yang jauh berbeda. Margaret adalah politikus sedangkan Marina adalah pebisnis. Margaret dicaci oleh publik sepak bola karena sikapnya terhadap peristiwa Hillsborough, sementara Marina dipuji oleh publik sepak bola setidaknya oleh para pendukung The Blues.

Namun yang menarik adalah keduanya memiliki watak yang keras dan tidak kenal ampun. Marina jelas tidak kenal ampun ketika membayar Ross Barkley hanya dengan 15 juta paun saja. Bagi saya, harga itu jelas terlalu murah untuk seorang pemain asli Inggris yang terkenal kerap overpriced. Dari sudut pandang Everton, bahkan uang itu tidaklah menutup pembelian Jordan Pickfrod, kiper baru mereka.

Di era sepak bola modern, klub-klub berubah menjadi entitas bisnis yang tentu saja mengamini keuntungan finansial sebagai kewajiban. Untuk dapat bertahan hidup dalam sistem kapitalisme, yang paling banyak memegang uang tentulah yang akan menang. Sebaliknya, yang sedikit memegang uang tinggal menunggu panggilan ke lembah pailit.

Dengan hadirnya Marina Granovskaia di sektor kepemimpinan klub, tampaknya para pendukung Chelsea tidak perlu khawatir Chelsea mengalami rugi atau terlilit utang seperti AC Milan. Barkley hanyalah satu dari sekian banyak kesuksesan negosiasi yang dijalankan Marina, sehingga patut ditunggu, kejutan apalagi yang dipersembahkan ‘Iron Lady’ untuk Chelsea, mengingat Januari baru berjalan satu pekan.

Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)