Jika kau hendak menemukan kebahagiaan, pergilah ke stadion.
Jika kau hendak melepas teriakan, lepaskan di dalam stadion.
Jika hendak lari dari perasaan bimbang yang mempersempit hati, teguhkan ia untuk merapat ke stadion; niscaya hatimu kembali luas, seluas semesta bertaburan bintang.
Jika hendak mengetahui arti cinta sejati, ketahuilah di stadion; niscaya kau akan membongkar misteri cinta yang selama ini menggelora di dada.
Jika kau hendak melihat air mata, jangan ragu untuk menyaksikan kejamnya stadion.
Jika kau dibuat bosan dengan musik-musikmu, maka dengarkan lah musik yang menggetarkan di stadion.
Jika kau menyukai kedamaian, coba berdamai lah dengan stadion.
Ya, tempat itu bernama stadion!
Akhir tahun 2017, pencinta sepak bola Indonesia mendapat kabar baik tentang Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Stadion yang direnovasi sejak 2016 lalu itu, kini sudah rampung dan siap untuk digunakan. Melalui akun Twitter resminya, PSSI mengumumkan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta PPK Gelora Bung Karno telah memberi lampu hijau terkait penggunaan SUGBK.
Stadion yang terletak di kawasan Senayan, Jakarta itu, turut menjadi saksi bisu perjalanan timnas Garuda dari masa ke masa. Ingatan demi ingatan berpilin menjadi kekuatan tersendiri. Ada kalanya, ingatan itu membebaskan kita dari hiruk-pikuk politik sepak bola nasional. Dengan menghadirkan romansa tentang SUGBK, pencinta sepak bola bisa melupakan sejenak pernyataan kontroversial Ketua Umum PSSI, isu jual-beli lisensi klub, masalah tunggakan gaji, hingga hasil investigasi tewasnya suporter Persita, almarhum Banu Rusman.
Stadion merupakan panggung drama bagi keagungan para pihak yang terlibat dalam permainan sepak bola. Mereka berseteru di atas lapangan rumput yang tanpa ragu dikelilingi oleh pilar-pilar beton yang berdiri dengan gagahnya. Stadion kerap menjadi saksi bisu perhelatan drama yang mempertontonkan beragam aksi berbalut strategi. Bahkan perhelatan nan dramatis itu pada akhirnya akan bermuara ke hati serta memori para suporter.
Tempat awal atau tempat akhir?
Kekuatan magis stadion mampu menjadikannya tempat awal dirajutnya kisah percintaan anak manusia dengan kemolekan permainan sepak bola. Mata lampu stadion sanggup menerangi cahaya penerang untuk hati anak manusia yang sebelumnya gelap gulita. Pijarnya menjadi saksi perpaduan kasih sempurna antara kesebelasan dan cinta suporter; tiada peduli tetes air hujan, tiada peduli tajamnya sorotan mentari, selama tim kesayangannya tengah berjibaku, mereka akan senantiasa berdiri tegak di dalam stadion.
Keseriusan dalam membangun kemegahan stadion, membuat Afrika Selatan menjadi negara Afrika pertama yang menggelar turnamen Piala Dunia. Sekaligus juga akhir yang malang bagi para pekerja yang mengorbankan nyawa demi berdirinya pilar-pilar angkuh menjulang. Pilar-pilar itu kemudian menjadi rangka utama terbentuknya stadion berbentuk oval. Rumah untuk lapangan rumput berbentuk persegi panjang. Rumah untuk isak tangis dan tawa bahagia.
Tempat magis dan religius itu pula yang menjadi akhir dari segala cita dan harapan; baik bagi suporter maupun para pemain. Entah akhir bahagia atau malah durjana. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana klub kaya bergelimang harta asal Inggris, Manchester City, membuat lutut para suporternya lemas dan seketika itu juga mati rasa. Pasalnya, Etihad Stadium pada 2012 lalu menjadi saksi bisu berakhirnya sebuah penantian panjang.
Manchester City dengan cara yang begitu dramatis dinobatkan sebagai yang terbaik di Negeri Ratu Elizabeth, setelah empat puluh tahun lamanya titel itu tidak kunjung mereka raih. Tendangan keras Sergio Aguero pada menit-menit akhir laga, menghujam gawang Queens Park Rangers. Seketika itu euforia pecah di stadion Etihad, dan mungkin juga pada ruang-ruang lain di penjuru kota Manchester.
Kejamnya stadion juga pernah melahirkan kisah pilu tentang hilangnya nyawa 96 pencinta sepak bola. Tepatnya pada 15 April 1989, mereka meregang nyawa di sebuah tempat suci bernama Stadion Hillsborough. Celakanya, investigasi terhadap tragedi itu ditutup-tutupi oleh penguasa. Seolah sepak bola mesti selesai, dan masalahnya tidak boleh keluar dari stadion.
Dengan cara berbeda, stadion pernah menorehkan luka di hati Bayern München dan seluruh pendukungnya. Kesebelasan terbaik Jerman itu dipaksa menanggung malu di rumahnya sendiri. Allianz Arena pernah menjadi saksi, Phillip Lahm dan kolega tertunduk lesu usai kalah adu penalti melawan Chelsea.
Malam itu, kaki-kaki lincah para pemain Bayern tampak begitu atraktif dan mampu menguasai jalannya laga. Namun sayang seribu sayang, tuah Allianz Arena menjadi akhir pahit bagi sang empunya stadion. Sebaliknya bagi Chelsea, stadion berkapasitas 71.137 kursi itu malah menjadi awal yang manis. Di Allianz Arena, Chelsea akhirnya menjuarai Liga Champions untuk kali pertama sejak klub asal London itu berdiri.
Ditakuti atau diandalkan?
Keunikan stadion juga terletak pada hubungan batiniah antara stadion selaku markas kesebelasan dengan kesebelasan yang bernaung di dalamnya. Kesebelasan-kesebelasan besar masing-masing memiliki stadion kebanggaannya sendiri sekaligus menjadi tumpuan yang dapat diandalkan kala hasil akhir pertandingan harus berupa kemenangan.
Sebaliknya, bagi kesebelasan tamu yang bertandang ke markas lawan, bermain di stadion sama halnya dengan bermain di hamparan lumpur penuh ranjau. Walau kualitas rumput, struktur bangunan stadion, dan luas lapangan sama persis dengan kandang mereka, mengapa tim lawan harus ekstra hati-hati kala bertandang ke markas lawan? Mengapa stadion yang secara fisik menyuguhkan keanggunan dan keindahannya mesti ditakuti?
Ternyata bukan fisik stadion yang mengintimidasi, tetapi daya magis stadion itu yang mampu menyihir kesebelasan lawan. Tak jarang, mereka datang hanya untuk dipermalukan oleh kesebelasan tuan rumah lalu pulang dengan terhuyung karena kekalahan.
Stadion: satu kata yang menyimpan dua makna bersinggungan. Di saat yang bersamaan, sebuah stadion dapat menjadi tempat ternyaman di dunia bagi kesebelasan tuan rumah, sembari menjadi tempat pembantaian bagi kesebelasan tamu. Di suatu malam dingin, rintik hujan yang turun membasahi stadion, dapat menjadi berkah bagi para suporter tuan rumah. Air itu pula yang mampu menjadi jarum untuk melukai setiap suporter lawan. Kala panas menyerang, pendukung tim tuan rumah menyambutnya sebagai kehangatan, sementara pendukung tim tamu merasakan itu sebagai sengatan dahsyat.
Nuansa yang dihadirkan di dalam stadion adalah gambaran surga sekaligus neraka. Aura yang hadir di sekitaran stadion mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri karena ketakutan atau malah berdansa mengikuti alunan nada.
Ya, tempat itu bernama stadion!
Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)