Kolom

Tentang Karier di Luar Negeri dan Sesat Pikir Nasionalisme

Dilansir dari Kompas, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, mengaku geram dengan keputusan beberapa pemain muda Indonesia yang memilih lanjut berkarier di Malaysia. “Siapa mereka, seenaknya saja ngontrak-ngontrak? Kalau mata duitan, ya repot juga kita. Enggak ada jiwa nasionalisme. Nanti akan saya kumpulkan segera,” tegas Edy Rahmayadi, terkait beberapa pemain muda Indonesia yang diincar dan bahkan diikat kontrak oleh klub Malaysia.

Sebenarnya, sebagai seorang tentara, yang memang sudah dididik agar cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia ditanamkan dengan kuat sejak di akademi, pernyataan Pak Edy terdengar sah-sah saja. Tapi bila statusnya sebagai anggota militer dikesampingkan, lalu melihatnya sebagai ucapan dari seorang Ketua Umum PSSI, pendapat ini terdengar konyol, dangkal, dan sesat pikir.

Di era sepak bola modern, nasionalisme bukan lagi fondasi kuat untuk prestasi di timnas. Anggapan lanjutan dari Pak Edy bahwa keputusan Evan dan Ilham untuk berkarier di Malaysia membuat permainan mereka mudah dipetakan, juga tak masuk akal. Timnas Inggris, misalnya. Hampir 100 persen pemainnya di skuat nasional, adalah produk sepak bola lokal. Nyatanya, mereka tak kunjung menjuarai Piala Dunia sejak terakhir tahun 1966. Di Piala Eropa, jangan tanya, sebab di kaki-kaki Islandia, setahun lalu di Prancis, mereka kandas secara memalukan.

Sepak bola di tingkat timnas bukan melulu soal nasionalisme lagi, karena di level dunia, kesuksesan sering sekali murni didorong dengan semangat kompetitif dan rasa haus akan gelar juara. Nasionalisme, tak lagi memiliki romansa yang manis seperti misal di era ketika Perang Dunia berkecamuk dan keutuhan suatu negara sangat bergantung kepada semangat nasionalisme. Terlebih lagi, usai Perang Dingin selesai, nila-nilai nasionalisme tak lagi memiliki pengaruh kuat.

Beberapa negara mapan, bahkan ‘mengekspor’ beberapa pemain bintangnya di timnas ke beberapa liga di luar negeri. Pilar timnas Jerman, selain didominasi nama-nama dari Bayern München, juga diisi beberapa nama yang masih berkarier di luar negeri seperti Mesut Özil, Toni Kroos, Julian Draxler, hingga Sami Khedira. Memang ada kebanggaan ketika sebuah timnas banyak dihuni pemain yang mayoritas berkarier di liga lokal, seperti ketika Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 dengan skuat inti di final yang berisi 60 persen pemain dari Bundesliga. Tapi, itu tak menjadi catatan mutlak.

Prancis, menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 dengan skuat yang berisi anak-anak para imigran dan pemain berkulit gelap seperti Youri Djorkaeff, Zinedine Zidane, Thierry Henry, Patrick Vieira, hingga David Trezeguet, dan Christian Karembeu. Seiring waktu, skuat Prancis di tahun 2017 bahkan banyak diisi para generasi emas yang sebagian besar berkulit hitam, mulai dari N’Golo Kante dan Paul Pogba, hingga Kylian Mbappe, Alexandre Lacazette, dan Anthony Martial.

Hampir tidak ada isu nasionalisme yang diapungkan di sepak bola modern. Berkarier di luar negeri dianggap sebagai upaya untuk merantau demi karier yang lebih baik, mengais pengalaman yang lebih luas, hingga meraup pundi-pundi uang yang lebih banyak. Pepatah tentang hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang tak berlaku lagi di hadapan zaman yang semakin global dan kapitalis.

Maka dari itu, ucapan Edy Rahmayadi soal karier Evan Dimas dan Ilham Udin di Malaysia adalah upaya untuk membuat sepak bola Indonesia berjalan mundur ke belakang, alih-alih maju ke depan. Kalau isu nasionalisme memang diapungkan sang jenderal, lalu kenapa Ilija Spasojevic diberi akses mudah untuk naturalisasi dan menjadi Warga Negara Indonesia? Kenapa pula tiga orang dari Spanyol masih bercokol menjadi tim pelatih utama di timnas?

Secara struktural, Edy Rahmayadi memang masih orang nomor satu yang harus dihormati dan dihargai di sepak bola Indonesia. Tapi, di tangan beliau, liga sepak bola kita memang berjalan tapi banyak noda di dalamnya. Di tangan beliau, prestasi timnas masih jua kering gelar juara. Di masa kepemimpinan beliau, sepak bola Indonesia tidak akan ke mana-mana dan cenderung jalan di tempat. Memang sudah sebaiknya untuk fokus di Pilgub (pemilihan Gubernur) Sumatera Utara, dibanding mengurus kusutnya sepak bola Indonesia yang butuh orang lebih kompeten.

Sudahlah, Pak Edy.

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis