Eropa Lainnya

De Topper: Partai Adu Gengsi Ajax Amsterdam dan PSV Eindhoven

Kala membahas serunya rivalitas yang ada di kompetisi sepak bola profesional Belanda, partai De Klassieker yang melibatkan Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam sudah pasti muncul di daftar teratas. Persaingan yang melibatkan dua entitas berbeda ini amat kesohor dengan latar belakang yang begitu kompleks.

Namun seiring perkembangan waktu, dominasi dan hegemoni kedua tim tersebut di Negeri Kincir Angin mulai diganggu oleh satu tim lain yakni Philips Sport Vereniging (PSV) Eindhoven. Lahir pada 31 Agustus 1913 silam, perlahan-lahan PSV mulai menunjukkan kelasnya sebagai tim profesional lain yang tangguh dan berprestasi.

Kemunculan De Boeren sebagai kekuatan anyar yang gemar mencaplok trofi seperti Ajax dan Feyenoord itu pula yang menginisiasi julukan De Grote Drie alias Tiga Raksasa bagi ketiga tim tersebut.

Situasi macam itu pada akhirnya membuat laga-laga yang mempertemukan Ajax dan PSV ataupun Feyenoord dan PSV di ajang apapun selalu berlangsung ketat walau atmosfernya tak sepanas De Klassieker. Akhir pekan ini (10/12), dalam lanjutan Eredivisie 2017/2018 speelronde ke-15, laga sengit di antara Ajax dan PSV bakal tersaji kembali.

Baca juga: De Klassieker: Rivalitas Panas Ajax dan Feyenoord

Berbeda dengan De Klassieker yang identik dengan perbedaan kultur di antara kedua kota yang jadi akar persaingan, rivalitas Ajax dan PSV murni terjadi karena prestasi menjulang yang masing-masing kubu miliki di atas lapangan hijau. Seperti yang sama-sama kita ketahui, Ajax dan PSV merupakan tim dengan koleksi juara liga paling banyak dengan total 56 kali (Ajax punya 33 titel, sementara PSV beroleh 23 gelar).

Bahkan dalam kurun dua setengah dekade pamungkas, gelar juara Eredivisie seolah jadi bancakan Ajax dan PSV saja. Praktis, hanya di lima kesempatan saja keduanya gagal menahbiskan diri sebagai kampiun akibat dikangkangi AZ Alkmaar (musim 2008/2009), Feyenoord (1992/1993, 1998/1999 serta 2016/2017), dan Twente Enschede (2009/2010).

Bukan cuma itu saja, sampai sekarang Ajax dan PSV merupakan klub asal Belanda dengan capaian paling apik di kancah antarklub Eropa dan juga dunia. De Godenzonen tercatat sebagai satu-satunya klub yang pernah menggondol gelar Piala/Liga Champions, Piala UEFA/Liga Europa, Piala Winners, Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental/Piala Dunia Antarklub. Sementara De Boeren sempat menggamit titel Piala/Liga Champions dan Piala UEFA/Liga Europa.

Lebih jauh, rivalitas yang terjadi di antara Ajax dan PSV juga terasa akibat kemampuan akademi sepak bola masing-masing tim (Ajax dengan De Toekomst serta PSV lewat De Herdgang) dalam memproduksi talenta-talenta berbakat. Sudah menjadi rahasia umum bila lulusan kedua akademi itu tersebut banyak yang menjadi bintang sepak bola.

Mendapat label De Topper (kurang lebih bermakna duel sepasang klub top), kita harus menyusuri waktu hingga tahun 1931 guna melihat pertemuan perdana Ajax dan PSV di kancah profesional. Gelaran Eredivisie belum diinisiasi oleh asosiasi sepak bola Belanda (KNVB) dan pertemuan kedua tim berlangsung di ajang Kampioenscompetitie, liga tertinggi di Negeri Kincir Angin pada masa itu.

Berkat performa gemilang yang disuguhkan masing-masing kubu, utamanya dalam hal mencaplok trofi juara, rivalitas di antara Ajax dan PSV pun terus meruncing. Salah satu peristiwa yang bikin eskalasi persaingan De Godenzonen dan De Boeren jadi semakin tinggi adalah kepindahan penjaga gawang andalan PSV di era 1960-an, Gert Bals, ke Ajax pada 1965.

Seorang groundsman di Stadion Amsterdam Arena yang menjadi markas Ajax bahkan pernah mengaku jika mengalahkan Feyenoord adalah sebuah kebanggaan tak terperi, namun membungkam PSV adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan superioritas De Godenzonen kepada seluruh tim yang ada di Eredivisie. Kalah dari De Boeren adalah aib yang sangat memalukan.

Sebaliknya, mantan pemain dan pelatih PSV asal Belgia, Eric Gerets, juga mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap Ajax.

“Ketika aku bergabung dengan PSV, kami sukses mematahkan dominasi Ajax. Kurasa, mereka (suporter Ajax) pasti membenciku. Tapi mereka pun harus tahu, bila aku juga sangat membenci mereka”, ujar Gerets seperti dikutip dari laman resmi FIFA.

Nyatanya, mantan penggawa De Boeren yang tidak menyukai De Godenzonen bukan hanya Gerets seorang. Bekas winger lincah berambut pirang yang juga langganan tim nasional Belanda dalam rentang 1997-2004, Boudewijn Zenden, juga memiliki perasaan yang sama.

“Aku membela PSV selama delapan tahun (termasuk dengan tim junior). Rivalitas sengit dengan Ajax betul-betul kurasakan saat itu. Perjumpaan dengan mereka selalu bikin aku menginginkan kemenangan, tak peduli sesulit apapun cara mendapatkannya”, tutur pemain yang juga pernah membela Barcelona, Chelsea, dan Liverpool itu.

Sampai tulisan ini dibuat, Ajax dan PSV telah bertemu sebanyak 130 kali di kancah Eredivisie. Menariknya, kedua belah pihak berbagi jumlah kemenangan yang sama yaitu 53 laga dan sisanya berakhir seri. Untuk kesekian kali, hal tersebut menjadi bukti bahwa rivalitas kedua tim begitu sengit dan berimbang. Laga-laga De Topper tak ubahnya sarana adu gengsi tentang siapa yang lebih pantas menyandang status terbaik di antara Ajax dan PSV.

Selagi eksistensi Eredivisie masih terjaga hingga di masa yang akan datang, persaingan ketat di antara Ajax dan PSV dalam partai De Topper akan jadi bumbu penyedap yang tak boleh dilewatkan begitu saja dalam setiap musim kompetisi.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional