Sudah menjadi pengetahuan umum bagaimana sepak bola Indonesia itu kusut bukan main. Bahkan kemudian oleh Miftakhul Faham Syah kemudian ditulis menjadi sebuah buku berjudul “Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut” yang rilis pada tahun 2015 lalu. Permasalahannya kompleks, menyelesaikannya membutuhkan waktu, serupa mengurai gulungan benang yang tidak ada ujungnya.
Rangkap jabatan, gaji yang tidak terpenuhi, serta kompetisi yang tidak jelas, menjadi sederet hal buruk yang seakan menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi di sepak bola Indonesia. Salah satu perkara rumit lain adalah soal tim nasional. Selain soal jadwal agenda kompetisi domestik yang sering berbenturan dengan laga membela negara, permasalahan lain adalah soal ketidaksinambungan perkembangan yang terjadi di level tim nasional dengan yang terjadi di level klub. Contoh terbaik tentunya generasi tim nasional saat ini yang ditangani oleh Luis Milla.
Dengan seluruh pengetahuan dan pengalamannya, Milla mencoba memaksimalkan bakat-bakat yang dimiliki oleh Indonesia. Ditambah pengamatan yang ia lakukan sendiri, pelatih asal Spanyol ini kemudian memberikan formula tertentu kepada skuat asuhannya. Namun kemudian, visi dari Milla tersebut bisa jadi tidak tercapai karena berbenturan dengan situasi yang terjadi di level klub. Salah satunya yang paling sederhana adalah soal posisi bermain.
Soal posisi bermain ini menjadi pelik karena nantinya akan ada kecanggungan besar ketika seorang pemain kembali bermain di klub setelah membela tim nasional, begitu pula sebaliknya. Ini menjadi menyulitkan seorang pemain karena mesti terus membiasakan diri dalam banyak situasi yang berbeda.
Memang positifnya seorang pemain bisa memiliki dimensi permainan dan visi yang berbeda karena fenomena ini, tetapi mesti diketahui bahwa banyak pemain bola mengandalkan aspek intuitif mereka dalam permainan. Bahkan kasus ini juga terjadi di level sepak bola Eropa. Aspek intuitif yang menghasilkan kenyamanan bermain ini kemudian memengaruhi penampilan seorang pemain. Ketika benar-benar nyaman, ia akan bermain jauh lebih baik.
Masalah utamanya adalah posisi dan peran bermain beberapa pemain di timnas berbeda dengan ketika masih bermain di klub. Misalnya, Septian David Maulana yang bermain di posisi gelandang serang, dimainkan di posisi sayap kiri di Mitra Kukar. Area kerjanya memang tidak begitu berbeda, karena David juga memainkan peran sebagai playmaker yang bermain lebih melebar di klubnya. Fenomena hampir serupa juga terjadi kepada pemain-pemain lain seperti Gavin Kwan Adsit, Ricky Fajrin, atau Osvaldo Haay.
Tidak adanya pembiasaan di level klub tentu akan menyulitkan perkembangan pemain itu sendiri. Karena nyatanya, poin utama dari perkembangan adalah pembiasaan. Juga pada akhirnya, perkembangan di level klub jenjang berikutnya (semestinya) adalah perkembangan di level tim nasional.
Karena akan sangat disayangkan misalnya seperti Febri Hariyadi, bisa tampil meledak-ledak tapi efektif di level tim nasional, tetapi ketika kembali ke klub, kebiasaan lamanya akan muncul kembali. Kelewat banyak membawa bola, dan pengambilan keputusan menusuk ke jantung pertahanan lawan yang sering tidak tepat waktu.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia