Nasional Bola

Akhir Cerita Liga 2 yang Lebih Meriah dari Liga 1

Selesai sudah semuanya. Bhayangkara FC resmi menjadi pemilik gelar juara Liga 1, lalu PSIS Semarang, PSMS Medan, dan Persebaya Surabaya dipastikan naik kasta, dengan klub yang disebut terakhir keluar sebagai juara Liga 2.

Fenomena yang sebenarnya wajar terjadi di sepak bola. Klub juara kasta tertinggi merayakan gelarnya dengan tawa ria, dan klub-klub yang promosi mensyukuri pencapaian mereka dengan gegap gempita. Namun, ada keanehan yang terjadi di sepak bola Indonesia musim ini.

Pertarungan di ujung jalan Liga 2 jauh lebih menarik ketimbang penentuan gelar juara Liga 1. Dimulai dari drama 10 gol yang menentukan tiket promosi PSIS setelah mengalahkan Martapura FC dengan skor 6-4, malam harinya Persebaya menahbiskan diri sebagai yang terbaik di Liga 2 dengan menaklukkan PSMS 3-2 di partai puncak.

Hujan gol dan banjir air mata haru.

Seluruh Bonek di Stadion Gelora Bandung Lautan Api maupun di manapun mereka berada, merayakannya dengan meriah. Semua pendukung PSIS dan sebagian rakyat Jawa Tengah juga merayakan keberhasilan Mahesa Jenar menggondol tiket terakhir ke Liga 1 secara dramatis, begitu pula suporter PSMS walaupun harus puas menjadi runner-up.

Ketiganya menang, ketiganya senang, dan ketiganya akan bangun di pagi hari dengan wajah terang benderang. PSIS, PSMS, dan Persebaya adalah mantan tim Perserikatan yang sudah lama tidak tampil di kasta tertinggi, dan musim depan mereka resmi kembali berkompetisi di Liga 1.

Tidak ada cemoohan, tidak ada hinaan, maupun hujatan. Bahkan Martapura FC yang kehilangan kesempatan promosi ke Liga 1 di depan mata pun, tetap mendapat apresiasi atas perjuangan mereka. Sekali lagi, semua menang dan semua senang. Tidak ada the real champions karena pencapaian mereka sesuai dengan performa mereka sepanjang musim.

Hebatnya lagi, momen bahagia itu semua terjadi di Liga 2. Kasta kedua sepak bola Indonesia, yang hanya dihuni pemain kelas dua, tanpa pemain asing apalagi marquee player, bahkan beberapa lapangannya berupa seperti sawah.

Itulah yang membuat akhir cerita Liga 2 menjadi lebih meriah ketimbang Liga 1. Masih segar di ingatan kita bagaimana Bhayangkara FC mendapat tambahan poin secara tiba-tiba setelah Mitra Kukar memainkan pemain ilegal saat keduanya berjumpa di pekan ke-32. Sontak kalimat sindiran pun mengemuka bahwa juara Liga 1 ditentukan di atas meja, bukan di atas lapangan.

Terlepas dari segala kontroversinya, Bhayangkara FC sebenarnya menunjukkan kualitas sebagai tim jempolan. Namun, kasus yang melibatkan mereka di akhir musim membuat gelar juara yang direngkuh berbau anyir dan seakan penuh noda.

Dampaknya, tidak ada apresiasi yang mereka dapatkan, kecuali dari pendukung dan kerabat mereka sendiri tentunya, dan justru membuat wargamaya membanjiri media sosial Bhayangkara FC dengan berbagai hinaan dan cercaan. Terakhir, juga tidak ada konvoi yang dilakukan untuk mengarak para pemain beserta pialanya.

Miris, mengingat Bhayangkara FC berstatus juara tapi tidak diakui oleh masyarakat, padahal Bali United yang finis di posisi kedua merayakan pencapaian mereka musim lalu dengan sangat meriah.

Sebaliknya yang terjadi di Liga 2. Penonton netral pun saya kira akan ikut merasakan kegembiraan ketiga tim promosi yang mengakhiri kompetisi dengan cerita yang sangat dramatis, dan ikut bersimpati pada tim-tim yang harus tinggal kelas seperti Martapura FC, PSS Sleman, atau Persis Solo.

Musim ini, Liga 2 dengan segala keterbatasan dan kekerasannya justru berakhir lebih meriah dari Liga 1 yang berpenampilan lebih mewah.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.