Suara Pembaca

Mengenali Star Syndrome pada Pemain Sepak Bola

Sekitar sebulan lalu, kita dihebohkan dengan berita tentang Egy Maulana Vikri yang disebut-sebut memiliki gocekan mirip dengan Lionel Messi. Kemampuannya menggocek bola dan kiprahnya bersama Timnas U-19 asuhan Indra Sjafri, mencuri perhatian publik. Publik pun menjulukinya “Egy Messi”.

Namun, nampaknya julukan tersebut justru mengganggu ayah kandung Egy dan pelatihnya di timnas, Indra Sjafri. Indra merasa keberatan atas julukan yang diberikan pada salah satu anak asuhnya itu. Ia menganggap bahwa semua pemain dalam timnya memiliki peran yang sama, bahkan ia juga menegaskan bahwa Egy justru bisa berkembang melebihi Messi.

Tak jauh berbeda dengan Satria Tama yang sempat mencuri perhatian khalayak ketika penampilannya bersama Timnas U-22 begitu ciamik mengawal gawang Indonesia. Satria sampai dijuluki “SI Tangan Malaikat” penampilannya itu.

Semua orang juga tahu bahwa pemain sepak bola merupakan profesi yang sudah hampir mirip dengan selebritis saat ini. Kemampuan menggocek bola yang menawan disertai dengan wajah rupawan dan tubuh atletis, perempuan mana yang tak mengidolakannya. Belum lagi berkat stasiun televisi yang menyiarkan pertandingan-pertandingan sepak bola dan bantuan media massa lainnya, tentu makin banyak pula fans pribadi mereka.

Pemain sudah menjadi public figure. Aktivitasnya pun semakin mudah dipantau para pendukung dengan adanya sosial media yang mereka miliki. Latihan, bertanding, jalan-jalan, dan kegiatan lainnya juga mudah diikuti oleh fans dari unggahan pemain idola mereka. Akses komunikasi dengan para pemain pun lebih mudah karena mereka dapat mengirimkan pesan dan komentar langsung pada unggahan sosial media sang pemain idola.

Berjuta pujian baik dari secara langsung maupun dari media massa, menggiring opini publik untuk meninggikan pemain-pemain tersebut. Hal-hal seperti ini sebenarnya memiliki sisi positif jika membuat si pemain lebih termotivasi untuk selalu tampil lebih baik. Namun, terkadang, justru akan menjadi bumerang bagi pemain itu sendiri. Tak jarang kita melihat para pemain yang sebelumnya sangat dipuja dan memperlihatkan performa yang ciamik, justru kemudian redup. Performanya menurun. Kritik pun berhamburan, tak sedikit pula yang kemudian mengatakan bahwa itu adalah dampak dari menjadi selebgram.

Indra Sjafri sempat mengungkapkan kehawatirannya tentang Egy, namun ia senang karena Egy mau belajar dan menurutnya, itulah yang terpenting. Dikutip dari Bola.com, Egy sendiri sempat mengatakan bahwa ia tidak masalah mendapat banyak julukan selama itu positif dan justru menjadi motivasi untuk dirinya. Karena ada banyak pemain lain yang terlena dengan pujian-pujian sejenis itu dan justru membuat performanya stagnan.

Popularitas seseorang memang terkadang dapat membuatnya lupa diri. Terlalu asyik dengan apa yang didapatkannya, hingga kemudian lupa akan tanggung jawab yang sebenarnya. Begitu pula pada pemain sepak bola. Hal ini biasa disebut sebagai star syndrome atau sindroma bintang.

Star syndrome biasa dialami oleh artis atau atlet yang menjadi public figure dampak dari kepopuleran yang dia dapatkan. Sindroma bintang dapat mengakibatkan meningkatkan sikap kompetitif, bahkan kecenderungan destruktif terhadap timnya.

Star syndrome pada seorang pemain dapat membuatnya jemawa. Ia akan merasa bahwa dirinya lebih mampu dan berperan lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan setimnya yang lain. Padahal dalam sebuah tim, semua pemain memiliki peran yang sama dan mereka diharuskan bekerja sama demi mencapai tujuan tim bersama-sama. Hakikat sebuah tim adalah kesatuan yang utuh. Sebelas pemain menjadi satu.

Pelatih pun harus jeli dalam mengenali anak asuhnya. Jika ada satu saja pemain yang terlihat mengalami sindroma bintang, sudah seharusnya ia mengingatkan agar pemain tersebut tidak terhanyut dalam puja dan puji. Pelatih dapat memanggil pemain tersebut untuk diberikan penjelasan bahwa ia memiliki ekspektasi yang sama pada semua pemain. Ia dapat memberikan pujian secukupnya sebagai apresiasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemain tersebut dan hal ini memang dibutuhkan untuk menjaga motivasi pemain. Namun, bila pelatih sendiri tidak jeli dengan isu-isu seperti ini, maka secara tidak langsung ia juga akan menumbuhkan sindroma bintang.

Bukan hanya media, suporter, orang tua, dan pelatih saja yang dapat membantu menumbuhkan sindroma bintang pada seorang pemain. Rekan-rekan setimnya pun dapat melakukan hal yang sama, apabila mereka membuka peluang hanya pada satu pemain saja untuk mencetak skor lebih banyak. Dalam hal ini, setiap pemain harus memahami fungsi dan peran masing-masing dalam tim. Mereka memiliki tugas yang sama sebagai tim.

Seluruh anggota tim dapat mengantisipasi munculnya sindroma bintang dengan membuat atmosfer tim yang nyaman, penuh dengan dukungan, dan perilaku yang baik. Beberapa hal yang dapat mendukung adalah dengan menumbuhkan kode etik bekerja dalam tim dan sama-sama memiliki tanggung jawab untuk membimbing anggota tim satu sama lain agar lebih baik lagi.

Jangan mudah terbang karena pujian!
Jangan mudah tumbang karena cacian!

Author: Dianita Iuschinta Sepda (@siiemak)
Mahasiswi program magister psikologi di Universitas Airlangga Surabaya. Pecinta kajian psikologi olahraga dan Juventus.