Eropa Spanyol

Malaga, dari Calon Pendobrak Dominasi Menjadi Calon Degradasi

Performa Malaga dapat dikatakan sebagai salah satu yang terburuk di antara kontestan liga-liga top Eropa. Hingga memasuki pekan ke-9 kompetisi La Liga Santander, mereka tertancap di posisi buncit klasemen dengan hanya mengumpulkan satu poin.

Akhir pekan silam, diwarnai gol kontroversial yang dibuat Gerard Deulofeu yang diawali umpan tarik dari bola yang sudah keluar lapangan, Malaga menelan kekalahan kedelapan mereka musim ini dari Barcelona di Stadion Camp Nou.

Baca juga: Jornada 9 La Liga: Gol Kontroversial Barcelona dan Mandulnya Cristiano Ronaldo

Jebloknya performa Malaga musim ini seperti memperlihatkan dasar dari gunung es yang menggambarkan persoalan yang mereka hadapi. Klub yang bermarkas di Stadion La Rosaleda ini memang terlalu banyak mengalami masalah di luar lapangan, yang kemudian merembet ke performa tim berjuluk Albicelestes ini di dalam lapangan.

Tahun 2010 atau tujuh tahun silam ketika mereka dibeli oleh Sheikh Abdullah Al-Thani, mereka diharapkan menjadi pendobrak dominasi duopoli Barcelona-Real Madrid. Al-Thani yang merupakan anggota keluarga kerajaan Qatar ini, datang membeli Malaga dengan biaya 36 juta euro. Selanjutnya, Al-Thani menyuntikkan dana tidak kurang dari 150 juta euro hanya dalam dua musim untuk mendatangkan pemain-pemain baru.

Mereka yang datang pun bukan nama-nama sembarangan. Jose Solomon Rondon, Julio Baptista, Willy Caballero, dan Ignacio Camacho datang pada musim pertama Al-Thani, lalu disusul Santi Cazorla, Jeremy Toulalan, Nacho Monreal, Isco Alarcon, Joris Mathijsen, dan Ruud van Nistelrooy pada musim selanjutnya.

Pelatih sekaliber Manuel Pellegrini pun dipercaya menakhodai skuat mentereng ini, setelah sebelumnya pelatih asal Portugal, Jesualdo Ferreira dianggap gagal.

Baca juga: Malaga yang Kembali Menjadi Upik Abu

Yang namanya perbaikan, pastinya memakan waktu. Ketidaksabaran dalam membangun tim hanya akan berbuah kekecewaan, sebagus apa pun pemain yang didatangkan. Tidak, saya tidak sedang membicarakan AC Milan, karena kondisinya amat berbeda. Namun setidaknya, mereka dapat belajar dari kisah Malaga ini, karena pada musim pertama Al-Thani, mereka menduduki peringkat ke-11 dalam klasemen akhir.

Barulah pada musim 2011/2012, anak asuh Manuel Pellegrini menuai hasil. Berkat performa bagus, mereka pun mengakhiri musim di peringkat ke-4 yang berbuah tiket Liga Champions pertama sepanjang sejarah mereka. Meski tampil sebagai debutan, mereka tidak jeri dengan nama besar Milan, Anderlecht, dan Zenit St. Petersburg yang berada satu grup. Di luar dugaan, Malaga lolos dari grup ini sebagai juaranya, dengan mengalahkan Milan di antaranya.

Tiket semifinal pun nyaris mereka raih andai tidak “dirampok” oleh keputusan kontroversial wasit. Ketika berhadapan dengan Borussia Dortmund pada babak perempat-final di Signal Iduna Park, Malaga sebetulnya sudah nyaris mengantongi tiket semifinal setelah hingga menit ke-90 unggul dengan skor 1-2. Andai skor ini bertahan, Malaga akan lolos lewat aturan gol tandang karena dalam laga pertama, skor berakhir imbang tanpa gol.

Apa mau dikata, gol kontroversial Marco Reus melecut semangat tim asuhan Jürgen Klopp, yang kemudian diakhiri gol Felipe Santana pada menit ke-93, yang memaksa mereka kalah dengan terhormat. Pada tahun itu, Dortmund kemudian melaju hingga babak final sebelum dihentikan rival senegaranya, Bayern München dalam sebuah partai final yang amat intens dan seru.

Tidak lama setelah kekalahan ini, terjadilah pengambilalihan klub Paris Saint-Germain (PSG), juga oleh keluarga kerajaan Qatar yang dipimpin Sheikh Hamad bin Jassim bin Jaber Muhammad Al-Thani. Setelah mengakuisisi 70 persen saham klub pada Mei 2011, kepemilikan berubah menjadi absolut 100 persen pada Maret 2012.

Dilihat dari nama belakang yang sama-sama Al-Thani, sudah terlihat jelas potensi konflik kepemilikan yang akan terjadi. Ya, UEFA selaku otoritas sepak bola tertinggi Eropa memang memiliki wewenang untuk mendiskualifikasi klub dengan pemilik yang memiliki hubungan darah ketika mengikuti kompetisi di bawah naungan mereka.

Lewat pertimbangan tradisi, historis, dan aspek yang mungkin berbau politis, karena kabarnya berkaitan dengan penyelenggaraan Piala Dunia 2022 yang akan berlangsung di Qatar, Abdullah Al-Thani pun “terpaksa mengalah” dengan cara menghentikan aliran dana kepada Malaga. Prioritas keluarga kerajaan Qatar kini pun beralih ke PSG.

Ibarat tubuh yang kehilangan banyak darah, Malaga pun limbung. Satu demi satu nama tenar meninggalkan La Rosaleda menuju klub lain. Hal ini jelas berpengaruh pada kekuatan mereka di lapangan. Sejak dihentikannya aliran dana dari donor mereka, Malaga pun kian terperosok. Mandeknya pembayaran gaji pemain hingga utang pembelian pemain dari klub lain pun dirasakan klub yang bermarkas di sebuah kota yang terkenal dengan pantainya yang indah ini.

Hasilnya pun seolah terlihat sekarang. Tidak adanya rencana cadangan untuk mengantisipasi hal semacam ini membuat klub seperti dibiarkan mati kehabisan darah. Mereka tidak mampu menggantikan peran para bintang yang hijrah, dengan pemain-pemain muda potensial maupun pemain dari akademi. Hal yang tidak mengherankan, karena mereka memang secara tradisi tidak terkenal menghasilkan pemain-pemain berbakat.

Sejak musim 2013/2014 hingga musim 2016/2017, mereka memang masih bertahan di papan tengah. Namun pada musim panas lalu, pemain kunci yang tersisa seperti Ignacio Camacho, Pablo Fornals, dan Sandro Ramirez, terpaksa dilego untuk mengencangkan ikat pinggang. Kondisi finansial memang tidak memungkinkan mereka mencari pengganti yang sepadan.

Hal ini kemudian diperparah cederanya beberapa pemain seperti bek kanan senior Miguel Torres, kiper Roberto, dan gelandang, Zdravko Kuzmanovic. Michel, pelatih mereka saat ini pun, belum mampu mengulangi pekerjaannya musim lalu ketika mulai mengambil alih kursi kepelatihan dari Juande Ramos yang mengundurkan diri pada pertengahan musim.

Serangkaian masalah ini memang menempatkan Malaga pada kondisi yang mengenaskan. Dari calon pendobrak dominasi, kini menjadi calon kuat terhukum degradasi. Sungguh sebuah cerita yang miris dari sebuah klub yang hanya beberapa tahun silam mampu menciptakan sebuah dongeng di kompetisi sebesar Liga Champions.

Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)