Dunia Asia

Mampukah Son Heung-min Naik Kelas dari Status Sixth Man?

Dalam permainan bola basket, ada satu istilah yang bernama ‘sixth man’. Yang dimaksud dalam istilah itu adalah seorang pemain yang tidak bermain sebagai starter, namun masuk dari bangku cadangan untuk perubahan taktik dan strategi, atau adaptasi terhadap cedera.

Dalam kompetisi NBA di Amerika, kompetisi basket paling bergengsi di dunia, peran sixth man ini diapresiasi begitu tinggi, bahkan ada gelar best sixth man yang akan diberikan ketika musim reguler berakhir. Para sixth man kerap kali dipuji karena kemampuan mereka untuk mengubah situasi di lapangan, namun tak sedikit juga yang mengatakan bahwa mereka sebenarnya tidak cukup bagus untuk bermain sebagai starter.

Meskipun sepak bola lekat dengan istilah super-sub, peran sixth man rasanya layak disematkan kepada pemain Tottenham Hotspur, Son Heung-min. Son dapat dikatakan sebagai pemain terbaik asal Korea Selatan saat ini setelah era Cha Bum-kun dan Park Ji-sung berakhir.

Baca juga: Son Heung-min Akan Sukses Seperti Park Ji-sung, Tapi…

Son sejak musim lalu tampil impresif bagi Spurs, namun sulit rasanya mengatakan dirinya sebagai starter klubnya. Son memang mampu bermain di berbagai posisi, namun deskripsi istilah sixth man rasanya lebih cocok disandingkan kepadanya dibandingkan pemain serbabisa.

Pemain serbabisa adalah pemain yang mampu bermain di berbagai posisi karena kemampuan versatile yang dimilikinya, sedangkan sixth man adalah pemain yang tak bisa menjadi starter karena situasi taktikal tim dan peran si pemain sendiri. Karena itulah, Son lebih pantas dipanggil sebagai sixth man.

Musim 2016/2017 lalu, pemain bernomor punggung 7 di klub ini berhasil mencetak 21 gol di semua kompetisi, termasuk 14 gol dan 6 asis di Liga Primer Inggris. Rekor yang ia catatkan ini terhitung impresif, tidak kalah jauh dibandingkan pemain sekelas Eden Hazard atau Philippe Coutinho. Ia memiliki stamina tinggi khas pesepak bola Korea Selatan dan mampu mengacaukan pertahanan lawan karena kecepatannya saat berlari.

Itulah alasannya mengapa Mauricio Pochettino, manajer Tottenham, gemar menurunkannya di berbagai posisi, mulai dari penyerang tengah, sayap kiri atau kanan, hingga wingback. Penyerang legendaris Inggris, Alan Shearer, sempat berkata bahwa Son akan tampil lebih baik apabila ditaruh di posisi yang lebih ofensif, namun pemain berusia 25 tahun ini juga menunjukkan bahwa ia mampu bermain di posisi yang lebih defensif.

Meskipun begitu, Son tak pernah mematenkan tempatnya di satu posisi, atau dengan kata lain, ia tak pernah benar-benar mendapatkan tempat di starting XI. Ia memang tampil di 34 laga musim lalu, namun ia hanya bermain sebanyak 2068 menit, dengan tampil sebagai pemain pengganti sebanyak 11 kali.

Pemain yang memiliki nama julukan ‘Sonaldo’ ini semakin sulit mendapatkan tempat sejak Pochettino menerapkan skema tiga bek. Ketika ia masih dalam masa penyembuhan akibat cedera yang ia derita saat musim lalu berakhir, pemain lain seperti Fernando Llorente dan Moussa Sissoko berhasil menggeser tempatnya.

Sejauh musim ini berlangsung, Son baru mencatatkan satu gol dan nol asis. Dalam laga Liga Champions melawan Real Madrid, yang mana Tottenham berhasil tampil impresif, baju Son bahkan tidak berkeringat karena ia hanya tampil selama empat menit.

Mengapa Son gagal mendapatkan tempat sejauh ini di skuat The Lilywhites musim ini, meski tampil impresif musim lalu. Jawabannya simpel, karena kemampuan yang ia miliki tidak sebagus rekan-rekan setimnya. Ia bukanlah pencetak gol yang lebih baik ketimbang Harry Kane, ia tidak mampu membangun serangan sebaik Christian Eriksen, dan sudah pasti kemampuan bertahannya tak sebagus Kieran Trippier atau Ben Davies.

Saat ini, Son memiliki terlalu banyak kekurangan untuk disebut sebagai pemain yang komplet. Ia rentan terhadap tekanan dan cenderung lama dalam mengambil keputusan ketika harus mengoper atau menembak. Kebugarannya pun belum 100 persen saat ini dan kemampuan crossing-nya juga tidak begitu baik.

Son memiliki kecepatan dan mampu menggunakan kedua kaki sama baiknya, sebuah hal esensial di sepak bola modern. Apabila Pochettino menerapkan skema lain, mungkin saja pemain yang pernah berpacaran dengan Minah, personil Girls Day ini, akan menjadi starter. Namun, untuk naik kelas dari status sixth man, rasanya Son harus mengembangkan dirinya lebih jauh lagi.

Saat ini, masa depan Son tentunya masih abu-abu. Kane, Alli, dan Eriksen kabarnya tengah diincar oleh klub-klub besar semacam Barcelona dan Real Madrid, dan apabila mereka pindah, Son harus mengambil kesempatan itu untuk menggantikan mereka.

Son sejauh ini telah bermain di dua liga besar Eropa (Bundesliga dan Liga Primer Inggris), dan berhasil mendapatkan predikat sebagai salah satu pemain Asia paling menjanjikan. Namun, saat ini, ia sudah berusia 25 tahun, kata ‘menjanjikan’ tak pantas lagi menggambarkannya.

Peluangnya untuk menjadi legenda bagi timnas Korea Selatan terbuka besar, mengingat sejauh ini ia juga sudah mencetak 18 gol dari 59 penampilan bagi The Taeguk Warriors. Namun, untuk menjadi pemain kelas dunia, alih-alih hanya pemain lumayan dari Asia, ia harus bekerja lebih keras lagi. Sesuatu yang sebenarnya mampu ia raih, karena ia memiliki potensi untuk sampai ke level tersebut.

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket