Dunia Asia

Rohingya dan Sepak Bola sebagai Pelarian Rasa Sakit Mereka

Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di daerah Rakhine, Myanmar, terhadap orang-orang Rohingya, telah mencapai titik didih. Orang Rohingya adalah komunitas Muslim keturunan Arab yang datang ke Myanmar berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Sebagai minoritas, mereka hidup dalam penderitaan. Persoalan yang memang teramat sangat sensitive yakni agama, disinyalir menjadi penyebab utama dari kasus yang amat menyayat hati ini. Bagi orang-orang Rohingya, bertahan di Rakhine adalah tindakan bunuh diri, oleh karena itu banyak dari mereka yang mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh dan Malaysia. Sulit mencari alasan bagi mereka untuk berbahagia, namun, bagi sebagian orang Rohingya, sepak bola menjadi salah satu dari sedikit alasan tersebut.

Dari yang tadinya disebut sebagai rumah, Rakhine kini sudah berubah menjadi neraka bagi orang Rohingya. Bangladesh menjadi destinasi populer bagi mereka yang melarikan diri,dan di tempat inilah mereka menemukan salah satu alasan untuk berbahagia yang bernama sepak bola.

Seorang pengungsi bernama Mohammed Ismail, dilansir dari New York Times, mengatakan bahwa ia bermain sepak bola demi menghapuskan kesedihan dan kemarahan yang ia rasakan. Ismail yang berusia 24 tahun, kini tinggal di kamp pengungsian orang Rohingnya di daerah Kutupalong, Bangladesh. Tak ada lapangan rumput di sana, yang ada hanyalah petakan tanah berlumpur dengan bambu-bambu yang berperan sebagai tiang sekaligus penanda gawang. Di tempat seperti itulah, Ismail melampiaskan rasa sakit yang ia rasakan dengan bola yang ia mainkan bersama kawan-kawan senasibnya.

Lain halnya di Malaysia. Orang Rohingya yang mengungsi ke negara ini mungkin memiliki nasib lebih baik dibandingkan mereka yang mengungsi ke Bangladesh. Wajar saja, karena memang tingkat kesejahteraan di Malaysia jauh lebih baik daripada Bangladesh.

Para pengungsi Rohingya di negara ini membentuk satu klub sepak bola yang mereka namakan sebagai Rohingya Football Club (RFC). Mereka memilih satu lapangan yang berada dekat dari Menara Kembar Petronas sebagai kandang mereka. Penyerang mereka yang bernama Mohammed Faruk, mengatakan kepadai Vice bahwa klub ini dibentuk sebagai representasi dari “timnas Rohingya” dan mewakili seluruh orang Rohingya. Menurut Faruk, RFC yang dibentuk di tahun 2015 bukan hanya sekedar klub sepak bola, tapi juga merupakan identitas dari Rohingya.

“Kami ingin melawan timnas Myanmar dalam laga persahabatan. Kami ingin datang dengan damai, kami bukan teroris”, canda Faruk.

Candaan Faruk ini ditanggai dengan sinis oleh media Myanmar, yang diwakilkan oleh U Ye Naing Win, seorang jurnalis sepak bola senior Myanmar.

“Bermain melawan tim nasional kami? Saya rasa itu tidak mungkin. Dengan membawa nama Rohingya berarti itu adalah sebuah pernyataan politis dari mereka”, tukas Naing Win, dikutip dari Vice.

Kata-kata Faruk mengenai laga persahabatan memang hanyalah sebuah canda belaka, namun melihat respons dari Naing Win, tentu kita dapat membayangkan apa yang orang Rohingya rasakan dari sudut pandang yang lebih besar. Walaupun begitu, RC mampu mempertahankan keeksisannya hingga kini dan kerap kali ikut kompetisi amatir yang ada di Malaysia.

Pemain-pemainnya yang terdiri dari kalangan pengungsi, ternyata cukup berbakat. RFC yang mengikuti kompetisi DD Social League di Malaysia berhasil mencatatkan lima kali kemenangan  dan enam kali seri dari 15 kali pertandingan. RFC bahkan mendapatkan bantuan dari proyek non-profit dari Australia bernama The Kick Project.

James Rose, penggarap proyek ini, menyatakan bahwa upaya RFC untuk mendapatkan pengakuan bukan bagi klubnya, melainkan bagi Rohingya, adalah suatu gerakan kemanusiaan yang begitu bernilai. The Kick Project akhirnya memberikan bantuan berupa uang senilai 12 ribu dolar Australia.

Selain itu, ternyata para pengungsi ini juga menggunakan sepak bola sebagai media untuk bersilaturahmi satu sama lain. Mereka mengadakan kompetisi sepak bola antar kamp pengungsi dengan format yang serupa dengan Piala Dunia namun dengan peserta yang lebih sedikit.

Ada 16 tim yang mengikuti kompetisi ini, delapan dari kamp pengungsi resmi, dan delapan dari kamp yang tidak resmi. Namun, jangan bayangkan mereka bermain dengan seragam yang lengkap. Kebanyakan pemain, terutama yang datang dari kamp tidak resmi, bermain hanya beralaskan sandal atau bahkan bertelanjang kaki. Walaupun begitu, itu tidak memengaruhi keseruan yang mereka rasakan, dan kebahagiaan yang mereka dapatkan setelah menderita begitu lama.

Baca juga: Rohingya FC dan Perjuangan untuk Ada

Kasus di Rohingya ini kini sudah menyedot perhatian dunia. Banyak tuntutan yang dilayangkan kepada Aung San Suu Kyi, selaku pemimpin dari Myanmar, untuk menghentikan genosida yang terjadi pada orang Rohingya. Walaupun begitu, hingga kini Suu Kyi masih bergeming dan Rakhine tetap menjadi tempat yang tidak aman.

Namun, bagi sebagian orang Rohingya, mereka tetap menemukan cara untuk tetap tersenyum. Percayalah, sepak bola memiliki kekuatan yang begitu magis, hingga mampu membuat satu orang yang kehilangan tempat tinggalnya, tersenyum bahagia.

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket