Turun Minum Serba-Serbi

Apa Persamaan Belanja Pemain di Bursa Transfer dengan Membeli Liquid di Vape Shop?

Hampir setiap hari, keluh kesah itu selalu terlontar dari mulut para juragan asap. Entah di media sosial, di artikel-artikel ulasan, maupun saat nongkrong, obrolan tentang liquid (yang dalam bahasa resminya disebut e-juice) yang baru saja dibeli merupakan topik yang wajib dibicarakan sesaat setelah hisapan pertama. Tanggapan pun selalu bermacam-macam, ada yang puas, tapi juga banyak yang kecewa.

Saya sendiri bukan ahli dalam bidang kebul-mengebul ini, hanya sekadar menggemari salah satu kegiatan yang sedang ngetren di kalangan anak muda ini untuk meramaikan acara kumpul-kumpul, atau sebagai teman di kala kesendirian menerpa. Namun, saya selalu berusaha agar tidak ketinggalan info terkini dari dunia vaping.

Kredit: Galene

Biasanya, salah satu kendala terbesar dari para perokok elektronik adalah memilih liquid yang tepat. Tepat dalam artian harga, rasa, dan keawetannya. Sebotol liquid mahal dengan banderol hingga seperempat juta atau lebih, belum tentu dapat menghadirkan kenikmatan istimewa jika penggunanya tidak dapat menemukan sweet spot yang tepat.

Sebaliknya, beberapa liquid murahan dengan harga tak sampai 100 ribu rupiah justru dapat langsung membuat ketagihan, walau ada “harga lain” yang harus dibayar seperti coil yang cepat rusak atau kapas yang mudah menguning. Dengan kata lain, pepatah “ada harga ada kualitas” tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya untuk hal yang satu ini.

Bahkan, jika dirunut ke belakang, permasalahan abadi seorang tukang ngebul sudah dimulai ketika ia datang ke vape shop untuk membeli liquid. Sesaat setelah membuka pintu toko, ia akan langsung dihadapkan dengan puluhan botol berbeda merek serta rasa. Jika tidak cermat dalam membeli, ratusan ribu dana yang digelontorkan hanya akan berbuah kekecewaan alih-alih kenikmatan.

Permasalahan serupa juga terjadi di bursa transfer sepak bola.

Puluhan hingga ratusan pesepak bola tersedia di pasar pemain, sesaat setelah sang pelatih memutuskan akan mencari pemain di posisi tertentu. Dengan banyaknya pilihan yang tersedia, sang pelatih harus cermat mengamati kelebihan serta kekurangan calon pemain barunya, sehingga nantinya ia dapat memaksimalkan potensi terbesar dari sang rekrutan anyar.

Cara memaksimalkan seorang pemain pun bermacam-macam. Mulai dari pergantian posisi, perubahan peran, menggunakan pemain lain sebagai tandemnya, atau mengubah skema permainan secara keseluruhan demi mengakomodasi kemampuan pemain tersebut. Tentunya, bongkar pasang seperti ini dilakukan apabila belum ada kontribusi maksimal dari sang pemain anyar.

Raphael Maitimo contohnya. Didatangkan dengan banderol tinggi, ia kalah bersaing dengan Michael Essien, Dedi Kusnandar, atau Kim Kurniawan. Tim pelatih Persib pun memutar otak bagaimana caranya agar Maitimo dapat dimanfaatkan potensinya, dan lahirlah ide gila untuk memainkannya di posisi ujung tombak. Hasilnya tidak langsung terlihat, tapi mulai tampak dalam sebulan terakhir.

Kredit: Pikiran Rakyat

Utak-atik demi mendapat hasil maksimal juga seringkali menghiasi kehidupan para penikmat rokok elektrik.

Untuk memaksimalkan “kemampuan” dari sebotol liquid, dapat dilakukan dengan berbagai cara, sama seperti seorang pelatih mencari cara untuk mengeluarkan kemampuan terbaik anak asuhnya. Mulai dari menyesuaikan voltase dan wattase, menggunakan kapas atau kawat yang sesuai, bahkan mod atau atomizer yang dipasang juga dapat mempengaruhi karakteristik liquid tersebut.

Percobaan pertama tidak selalu membuahkan hasil bahkan tak jarang menjadi kegagalan. Akan tetapi, itulah serunya belanja pemain di bursa transfer dan betapa menantangnya memilih satu dari sekian banyak merek liquid di vape shop.

Ketelitian, kecermatan, insting, bahkan jam terbang sangat diperlukan dalam dua hal ini. Sebab, apabila kita hanya menentukan pilihan tanpa perhitungan matang, seperti melihat dari tampilan luarnya saja atau mudah termakan pendapat orang lain, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi.

Pertama, liquid baru atau pemain anyar itu akan berakhir dalam daftar jual dengan diskon besar di kemudian hari. Kedua, penyesalan juga akan datang belakangan setelah kita membatalkan pembelian karena terlalu banyak pertimbangan, lalu melihat orang lain dengan nikmatnya menggunakan barang incaran kita tadi tanpa sedikitpun kekecewaan.

Tribes tentu bisa membayangkan bukan, bagaimana penyesalan yang dirasakan Sir Alex Ferguson saat batal merekrut Jordan Henderson karena persoalan pinggul, dan menolak Isco Alarcon hanya karena kepalanya yang terlalu besar?

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.