Kisah awal yang manis dan romantis. Bagaimana mereka bertemu dan akhirnya berkomitmen untuk sehidup semati. Hidup bersama, bahagia, dan menangis bersama, rasanya tak ingin lagi berpisah. Apa yang beralaskan cinta rasanya menjadi pemakluman bagi banyaknya hal tak masuk akal.
Ya begitu cara kerja cinta. Kalau tidak dijaga dengan baik, sering sekali malah saling menyakiti. Semua yang indah di awal bukan jaminan memiliki akhir yang bahagia.
Arsene Wenger yang memulai musim baru di Arsenal membuat banyak gebrakan kesuksesan. Sepak bola modern, kemenangan, kejayaan, sungguh sangat indah. Puncaknya tentu saja dengan meraih invicible trophy. Menjuarai Liga Primer Inggris tanpa tersentuh kekalahan satu kali pun sepanjang musim.
Kesetiaan pria ini pada Arsenal memang tak perlu diragukan. Godaan dari klub lebih besar bukan tak pernah datang, tapi dengan tegas pria ini menolak karena cintanya pada Arsenal. Sungguh idaman. Tapi bahagia tidak selamanya, bung dan nona. Satu tahun, dua tahun, bahkan memasuki dua puluh satu tahun kebersamaan, kisah itu tak lagi bahagia.
Dua dekade lebih Wenger membangun banyak hal, dia seolah diberi kekuasaan penuh untuk memimpin dinasti kerajaan Arsenal. Membangun stadion baru, bisnis jual-beli pemain muda yang sangat menguntungkan, stabilisasi keuangan klub, sungguh sosok sempurna.
Tapi kini dia mulai renta, prajuritnya tak lagi sama, apalagi untuk menghadapi lawan yang lebih kuat, kejayaan itu mulai membelakangi punggungnya. Ditinggalkan pilar-pilar penting sedikit menggoyahkan istananya. Mulai dihadapkan banyak kesulitan, susah payah dia mencoba bertahan.
Tak ada lagi prestasi membanggakan, kinerjanya memimpin sebelas orang di lapangan mulai diragukan. Kekalahan dan kehancuran di depan mata, tapi dia masih tak bergeming dari singgasana. Memang tak selalu baik berlama-lama memegang kuasa dan kita semua melihat itu di masa jenderal besar yang pernah dimiliki negara ini lalu berkuasa selama tiga dekade lebih.
Yang menyebalkan adalah kebebalannya yang tak mau mengikuti zaman. Taktik usang dihadapkan strategi terbaru pelatih-pelatih muda. Sudah sangat mudah ditebak. Saat stateginya melakukan serangan sudah dapat diantisipasi lawan dengan merebut bola, membawanya ke depan gawang, dan menciptakan gol, dia masih merasa taktik miliknya baik-baik saja.
Kepandaiannya memoles pemain muda tak seperti dulu lagi. Bintang yang diandalkannya dulu bahkan banyak yang sudah tak bermain sepak bola. Benar-benar mulai usang, keistimewaannya yang mulai redup dipaksa untuk terus bekerja, seperti mesin tua pasti akan banyak macetnya. Wenger masih berjalan di tempat, sesekali melangkahkan kaki, di saat tim lain sudah berlari. Tentu saja tak akan pernah sampai bahkan dia jauh ketinggalan.
Entah bagaimana membuatnya sadar. Kaca di lemari trofi yang hanya rutin disambangi Piala FA dan Community Shield milik Arsenal harusnya cukup untuknya bercermin. Menyadari bahwa punggungnya tak sekuat dulu lagi. Dia perlu orang lain yang lebih tepat untuk mengangkat bebannya.
Apa harus melengserkan dinasti Wenger dengan demo besar-besaran? Siapa yang ingin dikerahkan? Alumni demo 212 di Jakarta? Haruskah Gooners cabang London Utara dan sekitarnya bersatu menduduki Emirates Stadium, meneriakkan protes berhari-hari agar Wenger mau mengundurkan diri?
Seperti jenderal besar yang setelah lengsernya memiliki dua kubu yang salah satu masih sangat membencinya dan tidak terlalu mencintai, tapi di salah satu lainnya, mereka masih sedikit menghormati. Saya melihat itu yang akan terjadi pada Arsene Wenger.
Suporter Arsenal di seluruh dunia putus asa menyaksikan kelakuan kakek tua yang memilih hidup sendiri ini di usia senja. Setiap pertandingannya, mau menang, kalah, ataupun seri, jantung dipaksa berdetak lebih cepat. Apalagi kalau kalah, mulut ini tak habis ingin meluapkan sumpah serapah.
Kami frustasi, tidur tidak nyenyak, wajah murung, semua karena Arsenal dan Wenger yang semakin bebal. Kejiwaan kami terancam memasuki masa jabatan Wenger ke-21 di tahun ini. Setiap malam membayangkan Arsenal kembali mengangkat trofi Liga Primer yang berlanjut indah di dalam mimpi. Lalu saat terbangun di pagi hari dihadapkan pada kenyataan, kami menangis lagi. Ingin meniru optimisme tetangga merah yang lain, dengan menyuarakan “next year is our year”, tapi sudah habis percaya diri kami.
Baca juga: Penyakit Kronis Arsenal dan Arsene Wenger
Bukan jahat dan menutup mata untuk semua kenangan baiknya, tapi alangkah eloknya jika sudah tidak mampu lagi jangan memaksakan diri, pak tua. Hormat itu masih ada karena bagaimanapun juga, Arsene Wenger adalah legenda.
Mengatasnamakan cinta untuk bertahan bersama Arsenal adalah keegoisan, Arsene. Dan cinta tidak egois. Jadi, sebelum hujat itu menutupi semua hormat, sebelum semua kenangan manis habis tercemar pahitnya caci maki, pergilah dengan damai, Arsene.
Author: Theresia Deviana P (@jevianaaaa)