Menyaksikan pertandingan sepak bola dari klub kesayangan adalah salah satu kenikmatan paling hakiki yang dipunyai para suporter. Tak peduli panas terik atau hujan badai, mendukung secara langsung para pemain yang berlarian di lapangan sambil mengejar lawan, menggiring bola, hingga mencetak gol, adalah ritual yang wajib dilaksanakan.
Namun keistimewaan serupa kembali tak diterima oleh pendukung setia Persebaya Surabaya, Bonek, yang kini bertempur di Liga 2. Pada hari Senin (28/8) kemarin, mereka tak dapat menyaksikan secara langsung penampilan Irfan Jaya dan kawan-kawan di Stadion Loka Jaya, Tuban, kala bersua empunya stadion, Persatu Tuban.
Gagalnya Bonek bertamu ke kota di semenanjung utara Jawa Timur itu diakibatkan oleh maklumat yang dikeluarkan Kapolres Tuban, di mana suporter dari kedua tim yang bertanding, tidak diperkenankan menyaksikan laga secara langsung.
Peristiwa ini sendiri merupakan yang ketiga bagi Bonek karena sebelumnya, mereka pun merasakan hal serupa. Kejadian pertama terjadi pada 11 Juli 2017 tatkala Persebaya menantang PSBI Blitar. Laga tunda yang sejatinya digelar di Blitar itu terpaksa “diungsikan” ke Bantul dan dihelat tanpa penonton.
Momen kedua di mana Bonek tak dapat mendukung Bajul Ijo dari tribun penonton terjadi pada saat Persebaya menantang Persinga Ngawi di Stadion Ketonggo pada 15 Juli 2017. Kala itu, Bonek yang sudah menghijaukan kota Ngawi tertahan di luar stadion karena tidak diizinkan masuk oleh pihak keamanan.
Berulangnya kejadian tersebut jelas mengecewakan para Bonek karena hasrat meluap-luap yang mereka miliki dalam mendukung Persebaya tak dapat tersalurkan dengan semestinya. Padahal banyak dari mereka sudah berkorban tenaga, waktu, dan materi untuk bisa berangkat menuju Bantul, Ngawi ataupun Tuban. Wajar bila kemudian Bonek juga terus melontarkan protes kepada sejumlah pihak terkait pelarangan tersebut.
Bagaimanapun juga, larangan-larangan seperti itu pasti kembali memunculkan memori pilu yang dirasakan Bonek dalam rentang 2011-2016. Pada saat itu, mereka benar-benar tak dapat menyaksikan klub kesayangannya bertanding di kompetisi sepak bola nasional akibat sanksi irasional dari asosiasi sepak bola Indonesia (PSSI). Bonek tentu tak ingin merasakan kepahitan seperti itu lagi meski hanya di beberapa laga yang dijalani Persebaya pada kompetisi Liga 2 sekarang ini.
Semenjak Persebaya bangkit kembali di bawah manajemen PT. Jawa Pos Sportainment yang dinakhodai Azrul Ananda, salah satu hal yang coba dibenahi pihak manajemen adalah citra dari pendukung setia mereka. Karena sudah menjadi rahasia umum jika dahulu, Bonek sangat kondang sebagai kelompok suporter yang urakan, seenaknya, dan gemar berbuat onar. Maka tak perlu kaget jika ada banyak orang yang merasa jeri dan tidak respek terhadap Bonek.
Dengan stigma negatif seperti itu, pihak manajemen klub tentu ingin mengubahnya agar lebih baik. Bak gayung bersambut, para pentolan Bonek juga memiliki keinginan serupa. Alhasil, beberapa langkah edukasi terhadap suporter, baik yang dilakukan oleh kubu manajemen, para pentolan Bonek, dan bantuan pihak lain juga terus digalakkan.
Namun perlu diingat, setiap langkah positif yang ditempuh demi berubah ke arah yang lebih baik pasti akan selalu menemui rintangan. Larangan menyaksikan pertandingan secara langsung seperti yang dialami Bonek di Bantul, Ngawi, dan Tuban itu adalah ujian karakter yang begitu nyata bagi mereka.
Alih-alih menjadikan itu sebagai wujud ketidakadilan yang mengekang ekspresi pendukung fanatik Persebaya, alangkah ciamiknya jika Bonek memetik hikmah penting dari ketiga larangan tersebut. Pasalnya, menghapus stigma negatif yang terlanjur melekat, salah satunya juga karena framing media, tentu mustahil untuk dilakukan dalam waktu singkat. Ada proses panjang yang mesti dilakoni Bonek supaya hal tersebut bisa lepas dari mereka.
Melalui larangan-larangan menyaksikan laga Persebaya secara langsung inilah Bonek bisa terus meningkatkan kualitas mereka sebagai kelompok suporter yang elegan, kreatif, santun, solid, dan bertanggung jawab.
Kekecewaan yang diperoleh Bonek akibat gagal menyaksikan laga Bajul Ijo secara langsung tentu tidak boleh dilampiaskan pada hal-hal buruk yang sering diidentikkan dengan mereka. Sebab keadaan seperti itu malah akan memperkeruh usaha Bonek sendiri dalam berbenah dan bersolek.
Tak boleh ada lagi cerita Bonek melakukan pemalakan. Tak boleh ada lagi kisah Bonek yang tak membayar pada saat menumpang kendaraan umum. Tak boleh ada lagi ucapan bahwa Bonek adalah suporter pembawa masalah.
Pelan tapi pasti, segala stigma buruk seperti itu wajib untuk diminimalisasi Bonek agar di kemudian hari, cerita-cerita kelam tentang perilaku seperti itu tak pernah lagi terdengar di telinga masyarakat. Andai sesekali masih muncul, maka itu tak lebih dari sekadar “dongeng” masa lalu yang usang dan tak lagi relevan dengan karakter dan citra Bonek yang baru.
Kebangkitan Persebaya di kancah sepak bola nasional adalah suatu hal yang amat positif. Terlebih, manajemen anyar terus berusaha untuk membuat klub legendaris yang satu ini bisa tumbuh dan berkembang menjadi entitas yang semakin profesional walau dalam prosesnya akan selalu menemui banyak kemudahan dan juga berbagai kesulitan.
Berkaca pada hal tersebut, Bonek pun sudah sepatutnya untuk terus belajar, menempa diri, dan karakter baik dalam kemudahan ataupun kesulitan supaya tumbuh dan berkembang menjadi suporter yang makin disegani lantaran perilakunya bisa dijadikan contoh paripurna oleh banyak pihak.
Karena pada akhirnya, pertumbuhan dan perkembangan Persebaya serta Bonek akan bermuara pada satu hal yaitu sinergi yang sempurna dari kedua belah pihak. Bonek senang dan bangga memiliki klub pujaan yang semakin profesional. Di sisi lain, Persebaya pun senang dan bangga mempunyai kelompok suporter yang begitu elegan, kreatif, dan jauh dari stigma negatif.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional