Kompetisi sepak bola terakbar Indonesia yang bernama resmi Go-Jek Traveloka Liga 1 2017 sudah resmi bergulir pada tanggal 15 April 2017 yang lalu. Pertandingan pertama digelar di Stadion Gelora Bandung Lautan Api yang mempertemukan dua tim raksasa, Persib Bandung melawan Arema FC.
Saat artikel ini ditulis, Liga 1 sudah memasuki minggu ke-21 dengan menempatkan Bali United sebagai pemuncak klasemen sementara dan Sylvano Dominique Comvalius sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan 23 gol. Secara matematis maupun statistik, masih sulit untuk memprediksi tim mana yang akan juara maupun yang akan terdegradasi ke Liga 2.
Seluruh insan pencinta sepak bola nasional tumpah ruah di jalanan dan larut dalam suka cita selama kompetisi ini berlangsung, bak pesta setahun penuh. Tak hanya dengan teriakan, lompatan, nyanyian, dan atraksi, dukungan lewat media sosial di zaman digital ini sangat kental terasa, terutama di media sosial “burung biru”. Saling ejek antar-suporter sering menghiasi layar gawai seakan memberi nada tegas: betapa hidupnya sepak bola di negeri ini.
Dari hati kecil, penulis merasa iri dan merasa rendah diri jika terlibat dalam percakapan seputar Liga 1. Benar bahwa penulis memiliki tim favorit dalam kompetisi tahun ini, namun jika parameter yang diukur adalah fanatisme kedaerahan, jelas tidak akan ada kepuasan dalam hati, mengingat tak ada satu pun tim yang berasal dari Sulawesi Utara, terutama Manado, daerah asal penulis, yang bertarung di Liga 1, atau setidaknya Liga 2, tanpa bermaksud merendahkan derajat Liga 3.