Jon Dahl Tomasson datang ke Inggris pada pertengahan tahun 1997 dengan berstatus sebagai top skor Heerenven dua musim beruntun. Ia juga meraih penghargaan Best Dutch Football Talent of 1996, mengalahkan kandidat lain seperti Boudewijn Zenden dan nama yang populer, Patrick Kluivert.
Prestasi yang sangat membanggakan di usia 19 tahun. Oleh karena itu, Newcastle United tak ragu untuk menggelontorkan dana 3,6 juta paun untuk memboyongnya ke St. James’ Park. Namun, tak selamanya penghargaan dan statistik di atas kertas berbanding lurus dengan perkembangan seorang pemain, terutama bagi Tomasson yang di usia sangat muda sudah merantau ke luar negeri.
Dalam penuturannya pada The Guardian, penyerang asal Denmark ini mengatakan bahwa masa-masa di Newcastle adalah momen yang selalu ingin ia lupakan. Ia termasuk dalam golongan pemain impor yang gagal total dan menambah panjang daftar yang sebelumnya dihuni Mario Jardel, Andrea Silenzi, dan Massimo Taibi.
Hal ini tentu sangat menyakitkan bagi Tomasson, karena sebagai pemuda yang baru genap berkepala dua, ia ingin membuktikan diri sebagai yang terbaik. Akan tetapi, alam semesta seakan-akan menolak keinginannya itu. Layaknya seorang pria yang sedang kalut, perkembangan karier Tomasson mirip dengan lirik lagu Risalah Hati yang dinyayikan oleh Dewa 19.
Hidupku tanpa cintamu, bagai malam tanpa bintang. Cintaku tanpa sambutmu, bagai panas tanpa hujan.
Tomasson mengawalinya dengan baik. Ia bermain bagus di pramusim Newcastle dan terlihat padu dengan rekan-rekan lainnya. Berbekal torehan 37 gol dari 78 pertandingan di Heerenven dan masih berusia belia, suporter The Magpies berharap Tomasson dapat menjadi pemain kecintaan mereka setelah Alan Shearer.
Musim 1997/1998 pun dimulai, tetapi cinta itu tak kunjung hinggap di pundak Tomasson. Ketika Alan Shearer dan Tino Asprilla cedera, Kenny Dalglish yang saat itu membesut The Toon Army memajukan posisi Tomasson ke ujung tombak, dari yang semula beroperasi sebagai gelandang serang.
Sebagai seorang wonderkid dengan segudang prestasi di klub sebelumnya, seharusnya hal ini tidak sulit dilakukan. Akan tetapi, permasalahannya di sini adalah ia menggantikan seorang Shearer. Anda bisa bayangkan, seorang pemuda yang baru genap berusia 20 tahun, baru datang di lingkungan yang baru, langsung dibebani ekspektasi besar untuk menyamai level permainan seorang ikon klub dan ia gagal.
Setiap hari setelah pertandingan, Tomasson tak pernah melihat bintang di malam hari dan tak pernah merasakan sejuknya hujan. Ia tak pernah merasakan cinta dari para suporter, ia tak pernah mendapat sambutan meriah kala turun ke lapangan.
Jiwaku berbisik lirih, ku harus memilikimu
Meski berkali-kali diterpa kegagalan, pemain kelahiran 29 Agustus 1976 ini tak patah arang. Hanya semusim ia bertahan di Newcastle dan kembali ke Belanda untuk memperkuat Feyenoord di musim 1998/1999. Tuhan tampaknya mendengar bisikan hati Tomasson. Bersama De Trots van Zuid, Tomasson terlahir kembali.
Ia dikembalikan ke posisi aslinya sebagai gelandang nomor 10. Di kesebelasan berbaju merah-putih itu, Tomasson sukses menjadi kampiun Eredivisie dan Piala Super Belanda. Di tiga musim selanjutnya, Feyenoord selalu dibawanya finis di tiga besar dan ia menjadi top skor klub di musim 2000/2001.
Hingga akhirnya pencapaian besar itu pun tiba. Di musim 2001/2002 ia menjuarai Piala UEFA (kini bernama Liga Europa), mencetak satu gol di final dan meraih predikat man of the match di laga puncak kontra Borussia Dortmund itu. Tomasson telah berhasil memiliki kembali ketajamannya, berkat bisikan lirih yang diungkapkan hatinya pada Sang Pencipta.
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu agar cinta datang karena telah terbiasa
Sayangnya, keberhasilan pemilik 112 caps di timnas Denmark ini menjuarai Piala UEFA dibarengi dengan kontraknya yang habis musim itu dan tidak ia perpanjang. Tomasson pun mengucapkan selamat tinggal pada De Kuip, untuk bergabung dengan raksasa Serie A, AC Milan.
Milan di era kedatangan Tomasson adalah Milan dengan skuat terbaik di dunia. Ia harus bersaing dengan penyerang-penyerang tajam seperti Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi dan Rivaldo, yang sayangnya berujung dengan tersingkirnya ia ke bangku cadangan. Akan tetapi, meski kelihatannya Tomasson tidak dicintai Il Diavolo Rosso, ia dapat membuat sang Setan Merah dari Italia jatuh hati padanya.
Berstatus sebagai super-sub, pemain bernomor punggung 15 ini kerap memberi kontribusi besar saat diturunkan sebagai pemain pengganti. Ia turut menjadi bagian dari skuat jawara Liga Champions 2003 dan mencetak tiga gol di turnamen antarklub terbesar di Eropa itu. Musim selanjutnya, torehan gol Tomasson naik ke angka 12 di Serie A dan turut andil dalam kesuksesan Milan menjuarai Serie A 2003/2004.
Terakhir, Tomasson bersama Kaká adalah salah dua eksekutor yang sukses menunaikan tugasnya pada adu penalti kontra Liverpool di final Liga Champions 2005. Meski ia gagal meraih trofi Liga Champions keduanya, cinta para Milanisti yang baik hati telah telanjur hinggap menghampiri Tomasson, karena mereka telah terbiasa dimanjakan dengan kerja keras pemain berambut kecoklatan ini.
Simpan mawar yang kuberi, mungkin wanginya mengilhami
Mawar pemberian Tomasson hingga kini masih tersimpan rapi di ingatan para suporter Milan dan wanginya dapat kamu cium dengan melihat aksi-aksi terbaiknya selama berseragam merah-hitam. Bahkan, Carlo Ancelotti pernah memuji pemain yang satu ini sebagai penyerang yang selalu bekerja keras walau kerap tak beruntung karena harus bersaing dengan para penyerang kelas dunia.
Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu. Sebelum kau ludahi aku, sebelum kau robek hatiku
Setelah dilepas Milan, ia bergabung dengan Stuttgart dan sukses menjadi top skor klub pada musim pertamanya. Ia juga termasuk bagian dari skuat yang menjuarai Bundesliga 2006/2007, tapi tak banyak bermain di paruh pertama karena cedera panjang.
Sejak cedera itulah performanya terus menurun. Ia kemudian dipinjamkan ke Vilarreal pada pertengahan musim 2006/2007 dan menjadi pemain kelima yang pernah berkarier di empat liga top Eropa, yaitu Liga Primer Inggris, Serie A, Bundesliga, dan La Liga. Berkat performa impresifnya, The Yellow Submarine mematenkan status Tomasson di akhir musim, dan ia membayar kepercayaan itu dengan mencetak lima gol dari delapan laga Piala UEFA dan ikut membawa Villarreal finis di posisi kedua La Liga musim 2007/2008.
Jika di dunia ini caci maki tidak digajar dengan dosa, mungkin dalam perjalanan kembali ke Feyenoord setelah dilepas Villarreal, ia akan mampir sebentar ke Newcastle United hanya untuk menghujat orang-orang di sana yang telah merobek hatinya, sebelum mereka mengenali dirinya lebih dalam.
Semasa aktif sebagai pemain, ia tidak pernah menjadi ikon klub, ia jarang dielu-elukan sebagai pemain kecintaan suporter, tapi lewat semangat juangnya yang tinggi di atas lapangan, Jon Dahl Tomasson dapat membuat siapapun yang melihatnya bermain langsung jatuh hati kepadanya.
Selamat berusia 41 tahun, Jon!
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.