Musim 2009/2010 tentu takkan bisa dilupakan dengan mudah oleh pendukung setia Internazionale Milano, Interisti. Penyebabnya tak lain tak bukan adalah pencapaian gemilang yang berhasil ditorehkan Javier Zanetti dan kawan-kawan di musim tersebut. Di bawah arahan pelatih nyentrik asal Portugal, Jose Mourinho, Inter sukses menggondol gelar treble winners yakni titel Scudetto, Piala Italia, dan Liga Champions.
Sial bagi Inter, keberhasilan tersebut gagal membendung keinginan Mourinho untuk hijrah ke ibu kota Spanyol buat menukangi salah satu tim raksasa, Real Madrid. Keputusan pelatih berjuluk The Special One itu sendiri sampai membuat salah satu pemain senior Inter, Marco Materazzi, menangis tersedu-sedu.
Tak ingin membuang-buang waktu lebih lama, patron I Nerazzurri ketika itu, Massimo Moratti, lantas mendapuk lelaki asal Spanyol yang baru saja meninggalkan Liverpool, Rafael Benitez, sebagai pelatih anyar. Bermodal curriculum vitae yang cukup mentereng, salah satunya mengantar The Reds menjadi jawara Liga Champions musim 2004/2005, Moratti menaruh asa kepada Benitez agar sanggup mempertahankan performa Inter di level tertinggi.
Bayangan bahwa Inter di tangan Benitez akan sama baiknya seperti saat diasuh Mourinho menyeruak di benak Interisti. Terlebih, di laga debut resminya sebagai pelatih, pria tambun yang akrab disapa Rafa ini sukses menghadiahi Zanetti dan kolega trofi Piala Super Italia sehabis mengandaskan AS Roma dengan skor 3-1.
Namun sayang, performa ciamik tersebut gagal diulangi oleh Benitez tatkala anak asuhnya harus berangkat ke Monako guna bersua Atletico Madrid di sebuah laga bertajuk final Piala Super Eropa. Inter dan Atletico berhak mentas di ajang ini lantaran keduanya adalah kampiun pada dua kompetisi antarklub yang digarap asosiasi sepak bola Eropa (UEFA), Liga Champions dan Liga Europa.
Menyandang status sebagai klub terbaik di benua Eropa pada saat itu, I Nerazzurri sedikit lebih diunggulkan ketimbang Los Rojiblancos. Keberadaan para pilar semacam Julio Cesar, Diego Milito, Walter Samuel, Wesley Sneijder dan tentu saja Zanetti, bikin kekuatan Inter tak banyak berubah.
Tapi hal tersebut rupa-rupanya tak membuat Sergio Aguero dan kawan-kawan yang membela panji Atletico merasa jeri. Mereka seolah ingin membuktikan pada khalayak jika skuat Atletico wajib diwaspadai oleh setiap lawan.
Benar saja, tanpa banyak basa-basi, Atletico justru berhasil mengembangkan permainan sejak sepak mula. Di sisi sebaliknya, Inter tampak masih kikuk dengan pola permainan yang dikembangkan Benitez.
Ketimbang Inter, Los Rojiblancos jauh lebih pandai menciptakan peluang. Situasi ini juga yang membuat gawang Julio Cesar lebih sering terancam. Sementara David de Gea yang ketika itu mengisi pos di bawah mistar Atletico malah tampil santai.
Namun kesulitan yang dirasakan masing-masing kubu dalam memanfaatkan peluang yang mereka punyai sepanjang babak pertama, bikin papan skor tak berubah alias tetap 0-0 hingga 45 menit pertama berakhir.
Usai turun minum, baik Benitez maupun Quique Sanchez Flores (pelatih Atletico) melakukan sejumlah penyesuaian demi membongkar pertahanan lawan dan mengubah arah pertandingan.
Berselang lima belas menit setelah jeda, perubahan dan penyesuaian yang dibuat Sanchez Flores justru lebih terasa efeknya. Melalui skema kerja sama satu-dua, Jose Antonio Reyes sukses memperdayai sejumlah pemain belakang I Nerazzurri untuk menceploskan bola ke gawang Julio Cesar dengan sepakan mendatar dari sudut sempit.
Setelah tertinggal, Inter lebih banyak mengambil inisiatif serangan untuk mencuri angka. Masuknya Goran Pandev menggantikan Dejan Stankovic seolah menunjukkan niat Benitez agar anak asuhnya tampil lebih ofensif. Tapi ketidakmampuan mereka mengkreasi peluang bersih membuat semuanya nirhasil.
Lebih nahas lagi, semua kegagalan Inter dalam misi mencuri gol dihukum dengan cara setimpal oleh Atletico. Tepat di menit ke-83, Aguero sukses menggandakan skor usai melanjutkan bola sodoran Simao Sabrosa dari sisi kanan pertahanan I Nerazzurri yang begitu mudah ditembus. Los Rojiblancos pun unggul 2-0.
Ketinggalan dua gol dan laga yang hanya menyisakan sedikit waktu membuat Inter tergopoh-gopoh. Di sisi lain, Atletico justru semakin memperkokoh pertahanan mereka dengan bermain menunggu dan hanya mengandalkan serangan balik.
Inter sejatinya mendapat kesempatan untuk mencetak skor via titik putih di menit ke-89 sekaligus memperbesar asa mereka untuk mengejar. Namun Dewi Fortuna sama sekali tak berpihak kepada mereka karena eksekusi Milito berhasil ditepis oleh De Gea.
Ketika wasit asal Swiss, Massimo Busacca, meniup peluit panjang tanda berakhirnya laga, para pemain, pelatih dan suporter Atletico pun bersorak gembira. Gelar Piala Super Eropa kala itu merupakan yang perdana bagi mereka.
Sebaliknya, wajah sendu terpancar jelas dari seluruh elemen di tubuh Inter, baik pemain, pelatih, dan suporter mereka. Cita-cita menggapai Piala Super Eropa, juga untuk kali pertama di sepanjang sejarah klub, sirna begitu saja.
Malam itu juga menjadi sebuah titik awal di mana penurunan prestasi dialami Inter, salah satunya adalah kehilangan titel Scudetto yang sebelumnya mereka menangkan lima kali berturut-turut. Walau pada bulan Desember 2010 dan Mei 2011 mereka sanggup merengkuh trofi Piala Dunia Antarklub serta Piala Italia, namun setelah itu belum ada lagi silverware yang mampir untuk mengisi lemari trofi Inter, setidaknya sampai hari ini.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional