Keras, menghujam gawang lawan. Tendangan tersebut ia lakukan berkali-kali seperti tak pernah kehabisan tenaga. Umpan-umpan terobosannya juga tajam dan bertenaga, sangat memanjakan para jugu gedor AC Milan yang memiliki kecepatan.
Ibarat senjata api, jika Andrea Pirlo adalah sniper, maka Demetrio Albertini merupakan shotgun. Gol-golnya sering ia cetak dari luar kotak penalti dengan tendangan yang keras, amat keras, bahkan beberapa kali bola terlihat tak berputar. Ketika mengeksekusi tendangan bebas pun, ia juga sering melakukannya dengan power.
Albertini pertama kali mentas di pentas sepak bola profesional saat trio Belanda yang terdiri dari Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten masih merajai Serie A dan Eropa, Bersama ketiganya, pemain yang memainkan debutnya di Milan pada usia 17 tahun ini ikut menikmati dua trofi Piala Champions secara beruntun di musim 1988/1989 dan 1989/1990, serta tiga gelar Serie A, juga beberapa titel minor lainnya.
Meski bergelimang trofi, nyatanya awal karier Albertini di Milan tidak dijalani dengan mudah. Ia sempat kesulitan menembus tim inti dan dipinjamkan ke Padova di musim 1990/1991. Akan tetapi, akibat menuanya Carlo Ancelotti, Albertini kemudian ditarik kembali ke San Siro oleh Fabio Capello untuk mengisi satu slot di lini tengah.
Musim 1991/1992 kemudian ia lalui sebagai pemain inti dengan bermain 28 kali di Serie A dan turut berkontribusi pada Scudetto ke-12 Il Diavolo Rosso. Di tingkat Eropa, ia juga membawa Milan berjaya dengan menembus final Liga Champions tiga kali secara beruntun sejak musim 1992/1993, namun hanya satu yang dapat berbuah trofi.
I Rossoneri harus menerima kenyataan pahit dikalahkan Marseille di Olympiastadion dengan skor 0-1 di final 1993, dan harus merelakan gelar juara melayang ke tangan Ajax Amsterdam di Ernst Happel Stadium pada partai puncak 1995, juga dengan skor yang sama. Praktis, hanya di final 1994 Albertini beserta kolega dapat menaiki podium Liga Champions setelah melibas Barcelona dengan skor telak 4-0 di Olympic Stadium, Athena.
Generasi gagal Italia dan musuh abadi bernama adu penalti
Meski di level klub Albertini sangat berjaya, namun di tingkat tim nasional senior ia tidak pernah merasakan satu pun gelar juara. Hanya Piala Eropa U-21 tahun 1992 yang dapat ia banggakan di lemari medalinya saat membela Gli Azzurri.
Pemain kelahiran 23 Agustus 1971 ini tampil di dua edisi Piala Dunia, namun semuanya berujung kekecewaan. Di Piala Dunia 1994 dimana itu merupakan Piala Dunia pertamanya, Albertini sebenarnya memiliki kans besar untuk mengangkat trofi paling prestisius sedunia itu. Namun, Gli Azzurri takluk di tangan Brasil lewat adu penalti di babak final, yang terkenal dengan tragedi Roberto Baggio.
Empat tahun kemudian, pemain yang identik dengan nomor punggung 4 ini ia kembali gagal membawa Italia ke posisi terhormat, namun kali ini dialah aktor utama kegagalan itu. Ketika melawan tuan rumah Prancis di perempatfinal, skuat asuhan Cesare Maldini lagi-lagi tak mampu melewati babak adu penalti. Dua penendang Italia gagal, dan salah satunya adalah Albertini.
Kesialan kembali menghampiri Albertini beserta kolega di Piala Eropa 2000. Berjumpa lagi di partai puncak, Prancis melanjutkan dominasinya atas Italia saat itu, mengalahkan mereka secara dramatis dengan skor tipis 2-1 melalui golden goal David Trezeguet. Padahal, saat itu rakyat Italia sudah bersiap merayakan gelar juara, namun Sylvain Wiltord diluar dugaan dapat menyamakan skor di masa perpanjangan waktu, sebelum harus mengakui keunggulan Les Bleus di babak tambahan.
Kekalahan tersebut adalah kekecewaan yang sangat mendalam bagi rakyat Italia, karena mereka sangat berharap Albertini dan kawan-kawan dapat menjuarai ajang tersebut. Sebab, di tahun itu skuat mereka dipenuhi banyak pemain bintang. Bayangkan saja, di Team of The Tournament, Gli Azzurri diwakili oleh empat pemain dimana dua diantaranya berposisi bek untuk menemani Francesco Toldo yang menjadi kiper terbaik.