Eropa Italia

Giuseppe Giannini, Il Principe dari Kota Abadi

Kabar pensiunnya sosok Francesco Totti dari lapangan hijau di akhir musim kompetisi Serie A musim 2016/2017 kemarin membuat banyak penggemar sepak bola Italia tersedu-sedu, meski bukan penggemar AS Roma, klub yang diperkuat Totti. Hal ini terjadi karena sosok berjuluk Er Pupone itu sudah dianggap sebagai simbol Roma dalam kurun dua dasawarsa pamungkas.

Namun jauh sebelum Totti menembus tim utama I Lupi, pada Maret 1993 silam, ada satu figur yang kesakralannya selevel dengan Totti. Dia adalah Giuseppe Giannini, penggawa andalan Roma di tahun 1981-1996. Terlebih, kedua pemain ini sama-sama seorang Roman sejati alias lahir dan tumbuh di Kota Abadi tersebut.

Layaknya para pesepak bola jempolan yang lain, Giannini juga telah menampakkan ketertarikannya pada sepak bola sedari belia. Bakat dan talenta ini pula yang lantas membawanya ke sebuah klub amatir di kota ibu kota, Almas Roma. Di tim itu pula, Giannini bertransformasi menjadi seorang pemuda yang punya kemampuan olah bola lengkap.

Hingga akhirnya seorang pencari bakat kepunyaan AC Milan, menyadari bahwa Giannini punya sesuatu yang lebih. Kubu I Rossoneri lantas mengundang Giannini agar mengikuti trial. Sayangnya, trial itu gagal meluluhkan hati petinggi Milan untuk merekrut Giannini muda. Alhasil, sosok yang akrab dengan rambut gondrong tatkala masih aktif bermain itu kembali lagi ke Almas untuk ‘menimba ilmu’.

Ibarat blessing in disguise, kegagalan Giannini bergabung dengan Milan justru mengantarnya ke tim yang amat diidolakannya sejak kecil, Roma. Adalah Giorgio Perinetti, lelaki yang dahulu memegang kekuasaan di tim muda I Lupi, yang mewujudkan mimpi Giannini mengenakan seragam merah-kuning khas Roma di tahun 1980 .

Kebetulan, di periode tersebut, Roma sedang disesaki oleh banyak pemain-pemain jagoan di posisi gelandang. Antara lain Carlo Ancelotti, Bruno Conti, Agostino Di Bartolomei, dan Paulo Roberto Falcao. Secara tidak langsung, keempat nama pesepak bola top itu menurunkan ilmunya kepada Giannini muda.

Seiring waktu, kemampuan hebat Giannini pun makin tampak secara natural. Selain punya olah bola yang ciamik, Giannini juga dikenal sebagai pemain dengan akurasi umpan, kreativitas, pemahaman taktik, dan visi yang brilian. Mencicipi debut berkostum Roma pun seakan tinggal menunggu waktu.

Pada 31 Januari 1982, Giannini diturunkan pelatih tim utama I Lupi saat itu, Nils Liedholm, sebagai pengganti Roberto Scarnecchia pada sebuah laga Serie A melawan Cesena. Sial buat Roma dan juga Giannini, di laga itu mereka harus tumbang dengan skor 1-0.

Itulah titik awal Giannini menancapkan kukunya sebagai pemain masa depan Roma sebelum akhirnya konsisten jadi pilihan utama sejak musim 1984/1985 di bawah arahan allenatore asal Swedia, Sven-Goran Eriksson. Perjalanan Giannini bersama Roma setelah itu adalah sejarah yang penuh kemilau.

Selama lima belas tahun Giannini memperkuat Roma, ada sejumlah titel yang berhasil dirinya persembahkan. Antara lain satu buah Scudetto di musim 1982/1983 dan tiga gelar Piala Italia yang diperoleh pada musim 1983/1984, 1985/1986, dan 1990/1991.

Namun sial, Giannini gagal menghadiahi klub yang dibelanya itu dengan gelar di kancah Eropa, walau dua kali masuk ke babak final kejuaraan antarklub Benua Biru. Masing-masing di Piala Champions 1983/1984 lantaran keok dari Liverpool dengan skor 4-2 lewat babak adu penalti usai bermain imbang 1-1. Satu final yang lain terjadi di ajang Piala UEFA 1990/1991 (dilangsungkan dalam dua leg) akibat kalah agregat 2-1 dari rival senegara, Internazionale Milano.

Setelah memainkan lebih dari 350 partai dan menyumbang 63 gol untuk Roma serta menjadi idola bagi mayoritas Romanisti, secara mengejutkan lelaki yang hari ini (20/8) merayakan ulang tahunnya yang ke-53 menerima pinangan klub asal Austria, Sturm Graz, jelang musim kompetisi 1996/1997.

Keputusan aneh itu nyatanya salah lantaran Giannini tak pernah berhasil mereplikasi penampilan apiknya bersama Roma. Dirinya tampil buruk akibat dilanda homesick sehingga tak banyak membantu upaya Sturm Graz yang ingin jadi penguasa baru di Austria.

Keadaan tersebut memaksa Giannini untuk pulang kembali ke tanah airnya, Italia, di musim 1997/1998. Uniknya, Giannini tak kembali ke Roma yang ketika itu sudah mengandalkan Totti di posisi playmaker. Klub dari selatan Italia, Napoli, menjadi destinasi Giannini sekembalinya ke Negeri Pizza. Tapi lagi-lagi, penampilannya kurang menawan bersama klub yang jadi rival berat I Lupi tersebut.

Giannini lantas hijrah ke Lecce di musim 1998/1999 yang kala itu berlaga di Serie B. Menariknya, Giannini justru bisa tampil prima dan memberi satu tiket promosi ke Serie A bagi I Giallorossi, salah satu julukan Lecce yang sama dengan milik Roma.

Akan tetapi, momen itu juga menjadi penutup karier profesional seorang Giannini. Usai dilepas Lecce sebelum kompetisi 1999/2000 bergulir, Giannini kesulitan menemukan pelabuhan baru. Kalaupun ada, hanyalah klub-klub yang berlaga di kasta kedua sepak bola Italia.

“Kurasa semuanya sudah cukup. Aku tak punya kesempatan lagi bersama Lecce walau kembali bertanding di Serie A (usai promosi) adalah sesuatu yang kuharapkan. Jadi, untuk apa memaksa diri untuk terus bermain? Pensiun adalah jalan terbaik bagiku”, tutur Giannini seperti dikutip dari asroma.co.uk.

Pada 17 Mei 2000 atau sehari setelah rival sekota Roma, Lazio, meraup gelar Scudetto-nya yang kedua, kubu I Lupi menggelar sebuah laga testimonial di Stadion Olimpico bagi pemain yang memperoleh julukan Il Principe alias Sang Pangeran itu. Dan hari tersebut, akan dikenang sebagai salah satu momen paling menyesakkan bagi Romanisti karena mereka takkan bisa lagi menyaksikan aksi-aksi Giannini, salah satu pujaan mereka, di atas lapangan hijau.

Setelah tak bermain, Giannini melanjutkan kariernya lewat perannya sebagai pelatih di sejumlah kesebelasan. Mulai dari Foggia, Sambenedettese, Gallipoli, Grosetto, sampai kini bareng Unicusano Fondi di kasta Lega Pro (setara divisi tiga).

Selamat ulang tahun, Il Principe. Daje Roma

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional