Di tahun 2010, ketika Spanyol menjadi juara dunia, tentu kita masih ingat betapa digdayanya lini tengah La Furia Roja. Dimotori oleh trio Sergio Busquets, Xavi Hernandez, dan Andres Iniesta, Spanyol mampu menjuarai Piala Dunia untuk pertama kalinya. Kejayaan Spanyol berlanjut ke dua tahun sesudahnya. Trio Busquets, Xavi, dan Iniesta kembali membawa Spanyol untuk menjuarai Piala Eropa secara berturut-turut, sebuah prestasi yang akan sulit untuk disamai oleh negara manapun di Eropa.
Dominasi ini menunjukkan, betapa hebatnya ketiga pemain tersebut. Tak perlu heran, karena mereka dididik di tempat yang sama, dan bermain di klub yang membesarkan mereka sejak masih di akademi. Ya, Barcelona, klub yang kini lini tengahnya diisi oleh flop Tottenham Hotspur yang dibeli dari Liga Cina seharga 40 Juta Euro. Masa kejayaan Spanyol saat ini sedang redup, setelah gagal total di Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016.
Salah satu faktornya adalah menuanya trio Barca tersebut. Namun Spanyol tak perlu khawatir, masa depan mereka dapat dikatakan cerah, dengan kemunculan tiga gelandang baru di masa depan. Tiga gelandang yang bermain di klub yang sama. Bukan, bukan Barcelona, melainkan rival abadinya yang selama ini selalu dituduh jarang mengembangkan talenta muda dari tanah Spanyol.
Real Madrid memang memiliki cap yang berbeda dari Barcelona. Selama ini, Madrid selalu lekat dengan embel-embel tim yang boros, membeli pemain yang sudah matang, dan transfer-transfer yang bombastis. Tidak salah memang, berkaca pada transfer-transfer sebelumnya, yang mana Madrid selalu menjadi tim yang memecahkan biaya transfer paling tinggi, dan membeli pemain-pemain yang tergolong sudah matang. Sebut saja nama-nama seperti Kaka, Cristiano Ronaldo, dan Gareth Bale.
Lain halnya dengan Barcelona. Joan Laporta, mantan presiden Barcelona, pernah berkata bahwa Barcelona mencetak pemenang Ballon D’Or, bukan membelinya. Sebuah ucapan yang (sempat) menggambarkan Barcelona, sekaligus menyindir Real Madrid. Barcelona jarang membeli pemain-pemain dengan harga yang tidak wajar. Pemain-pemain inti di tubuh Barcelona dibangun oleh La Masia, akademi Barcelona yang termahsyur itu.
Namun, masa-masa itu sudah berlalu. Kini, produk-produk La Masia, semakin sulit untuk mendapatkan tempat di tim utama. Sebagai contoh, alih-alih memanfaatkan Sergi Samper, Barcelona malah membeli Paulinho untuk mengisi tempat di lini tengah Barcelona yang sedang limbung setelah ditinggal Xavi dan makin berumurnya Iniesta. Selain itu, kini Barcelona juga akrab dengan klub yang gemar menghabiskan uang dengan tidak bijak. Yang terbaru tentunya Paulinho, namun jangan lupakan transfer-transfer aneh lainnya yang menghabiskan bujet, seperti Arda Turan, Thomas Vermaelen, Alex Song, dan Lord Douglas. Kebijakan Barcelona kini makin menjauh dari stereotip yang melekat di diri Barcelona. Apabila Barcelona tidak urung merekrut Phillipe Coutinho, bisa jadi kata-kata Joan Laporta dulu, kini hanya buaian belaka.
Stereotip yang dulu menjadi milik Barcelona, perlahan mulai diambil alih oleh seterunya, Real Madrid. Masih ingat dengan tiga gelandang yang disebutkan di awal paragraf? Ketiga pemain tersebut adalah Isco, Dani Ceballos, dan Marco Asensio. Memang, ketiga pemain ini tidak berasal dari akademi Madrid, jadi tidak persis sama dengan Barcelona. Walaupun begitu, talenta mereka tak perlu diragukan lagi, dan kemungkinan besar di bawah rezim Zidane, mereka akan mendapatkan menit bermain yang cukup untuk berkembang.
Bukan tidak mungkin, di masa depan mereka mampu membawa timnas Spanyol kembali Berjaya, seperti yang trio Barcelona lakukan. Kini, Madrid mulai mengubah filosofinya, dan memberikan tempat kepada pemain-pemain muda untuk bermain di tim utama. Mari kita lihat transfer-transfer Madrid belakangan ini. Hampir semua yang dibeli adalah pemain muda, di bursa transfer kali ini saja semua pemain yang dibeli, Ceballos, Theo Hernandez, dan Vinicius Junior, berusia dibawah 21 tahun.
Yang membuat Barcelona harus khawatir adalah, mereka mengalami masa kejayaannya ketika mereka masih bergantung pada La Masia. Barcelona medio 2009-2013 dapat dikatakan sebagai periode Barcelona yang terbaik. Pada saat itu pula lah, tidak hanya Messi, Busquets, Xavi, Iniesta, dan Pique, yang jelas-jelas menjadi tumpuan tim, tapi juga pemain-pemain seperti Pedro Rodriguez, Cristian Tello, dan Bojan Krkic mendapatkan menit main yang lumayan sebagai pemain muda.
Kini, Real Madrid bisa jadi belajar dari Barcelona di periode tersebut. Buktinya sudah terlihat, Madrid kini dapat dibilang sebagai klub nomor satu di dunia sepakbola, setelah mampu mempertahankan trofi Liga Champions dua tahun berturut-turut. Dengan memanfaatkan pemain muda, bukan tidak mungkin kesuksesan Madrid akan bertahan lebih lama.
Melihat Barcelona dan Real Madrid kini tak lagi sama. Stereotip yang melekat di masing-masing tim pudar. Bahkan, tak hanya pudar, namun juga bertukar satu sama lain. Pembaca tentu dapat menilai, mana klub yang lebih untung dari pertukaran yang tentunya tidak disengaja ini.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket