Dia bermain di lini tengah, tepat di nyawa permainan timnya. Di belakangnya, berdiri tiga bek tengah tangguh bernama Murphy Kumonple, Usep Munandar, dan Rommy Diaz Putra. Di depannya, bercokol seorang penyerang tajam yang merupakan putra daerah kebanggaan Medan, Saktiawan Sinaga.
Lalu, disampingnya berdiri sejajar gelandang kreatif asal Liberia, James Koko Lomell. Di dekat garis tepi lapangan, Supardi Nasir dan Masperi Kasim menawarkan kecepatan untuk membantu penyerangan atau memperkuat pertahanan, melengkapi duet gelandang petarung dalam diri Legimin Raharjo dan Mbom Mbom Julien.
Dia yang bermain sebagai gelandang ini memakai nomor punggung 77, bertuliskan nama Chena. Saat itu, ia bermain di final Liga Indonesia XIII tahun 2007, mengenakan seragam hijau-putih kebanggaan Ayam Kinantan, menantang Sriwijaya FC di Stadion Si Jalak Harupat. Ia membawa PSMS melaju ke final setelah mengalahkan Persipura lewat adu penalti di semifinal.
Gustavo Chena, sebuah nama klasik yang akan sangat sulit dilupakan para pendukung PSMS Medan atau pencinta sepak bola nasional secara keseluruhan. Meski gagal membawa timnya juara malam itu, aksi Chena selalu memanjakan mata para penonton di stadion maupun pemirsa di rumah lewat umpan-umpan terukur dan tendangan bebasnya.
Lahir di Santa Fe, Argentina, pada 16 Januari 1982, Chena memulai kiprahnya sebagai pesepak bola profesional dengan menjadi lulusan akademi Boca Juniors pada 2002. Meski menjadi salah satu produk pemain muda di Argentina, takdir Chena justru membawanya menjadi legenda di Indonesia.
Di masa jayanya, Chena terkenal sebagai playmaker andal. Peran untuk mengatur ritme serangan selalu ia emban sejak berseragam Persija Jakarta, PSMS Medan, Deltras Sidoarjo, PSIS Semarang, hingga klubnya yang terakhir di Liga Indonesia, Persegres Gresik United. Perkecualian terjadi di Persebaya Surabaya karena ia hanya dikontrak di putaran pertama Liga Indonesia 2007.
Berkat kemampuannya itu juga, Chena selalu mendapat rekan setim dengan kualitas wahid. Di Persija, ia pernah berduet dengan Gustavo Hernan Ortiz, untuk menjadi pelayan bagi Emanuel De Porras, Budi Sudarsono, maupun Bambang Pamungkas.
Di Deltras, ia bahu membahu bersama Danilo Fernando. Kemudian di PSIS Semarang, ia menjadi kapten dan bermain satu tim dengan sang legenda, Indriyanto Nugroho. Lalu di Persegres Gresik, ia membentuk duet asing mematikan dengan Shohei Matsunaga yang beroperasi di sisi sayap.
Jika dilihat lebih lanjut, para eks rekan kerja Chena yang kini telah menjadi legenda dan bermain di tim besar tersebut, dikenal dengan semangat juangnya yang tinggi. Keputusan yang masuk akal, untuk mengakomodasi Chena agar dapat bebas berkreasi di tengah lapangan dan menentukan arah serangan timnya.
Sebagai gelandang yang stylish, ia memang membutuhkan bantuan dari para pemain yang berjiwa ngotot untuk melindunginya dari serbuan lawan. Sebagai imbalannya, ia akan mengirim umpan matang yang sangat nikmat untuk dieksekusi dengan sekali sentuh. Kualitas yang mamayo, kalau merujuk pada kamus komentator Iwan ‘Gol Gol Gol’ Sukmawan.
Kini, aksi-aksi mamayo Chena sudah tidak mewarnai Liga Indonesia, meski usianya belum terlalu tua untuk melanjutkan karier, yaitu 35 tahun. Kabar terbaru, pemain yang pensiun di usia 31 tahun ini bergabung dengan klub sepak bola pemain veteran bernama Mitra Devata, pada Januari 2017 lalu.
Gustavo Chena, adalah seorang seniman lapangan hijau, seorang pria tenar yang jarang diterpa gosip miring. Tak salah memang, jika para legenda kulit bundar memilihnya sebagai rekan kerja, partner untuk menciptakan tim yang kuat, karena nama Chena di starting line-up adalah jaminan kemenangan sebuah tim.
Selamat ulang tahun, Gustavo Chena, sang rekan kerja!
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.