Nasional Bola

Opsi Model Permainan bagi Luis Milla di SEA Games 2017

Kredit: PSSI

Tempo bermain dan struktur permainan

Karena Timnas U-22 memainkan sepak bola direct, sudah merupakan sesuatu yang jamak bila kita melihat banyak sekali serangan yang dilakukan untuk segera mencapai lini terakhir (lini penyerang) dalam tempo yang cepat.

Memainkan tempo cepat, apalagi dalam transisi menyerang, sudah barang tentu berpotensi menurunkan stabilitas pertahanan lawan. Tetapi, di sisi lain, memainkan tempo cepat menimbulkan konsekuensi kepada kestabilan penguasaan bola (ball possession) tim yang tengah menyerang. Luis Milla tidak mempermasalahkan konsekuensi yang dimaksud, karena sepak bola Milla bukan sepak bola dengan basis penguasaan bola stabil dan terstruktur.

Yang menjadi masalah adalah, dalam banyak situasi, pemain-pemain timnas terlalu cepat melakukan progresi bola dari area bawah ke atas. Dampaknya, seperti yang disebutkan di bagian sebelumnya, struktur posisional gagal menutup dengan maksimal ruang vertikal dan horizontal. Akibat berikutnya, timnas sering kalah dalam perebutan bola kedua ketika progresi bola dihalau bek-bek lawan.

Isu ini, pada kenyataannya, juga teridentifikasi di tim-tim lain seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, atau Malaysia. Dan, sejauh ini, tidak tampak satu pun tim yang menunjukan progres berarti dalam menangani isu serupa.

Timnas memiliki dua opsi untuk lebih mampu mengontrol tempo dalam kaitannya saat membangun struktur posisional yang lebih taktis. Yang pertama adalah koordinasi antarpemain ketika timnas melakukan tendangan gawang yang dilakukan jauh ke depan. Jepang menjadi contoh yang tepat ketika menang 5-1 atas Kamboja di Kualifikasi AFC U-23 lalu.

Gambar 5: Struktur dengan compactness bagus ketika Jepang mendapatkan tendangan gawang.

Pemain-pemain Jepang merapat menciptakan compactness spasial yang sangat kuat di lokasi di mana bola mendarat. Dengan strategi semacam ini, Jepang banyak memenangkan bola liar yang lahir dari duel udara.

Milla, di sisi lain, tampaknya tidak akan memainkan strategi serupa. Milla, seperti juga Leonardo Jardim, lebih mengutamakan struktur yang terjaga dan tidak menitikberatkan penciptaan akses menyerang melalui perebutan bola-bola liar hasil duel udara.

Kalaupun ingin coba diterapkan tetapi ‘metode Jepang’ dirasa terlalu ekstrem dan Timnas U-22 bisa mencoba mengadaptasi mekanisme lain. Salah satunya, seperti yang ditunjukan Bayer Leverkusen.

Gambar 6: Leverkusen dalam tendangan gawang. Nama pemain-pemain timnas merupakan gambaran adaptasi yang dapat diterapkan.

Setelah bola mendarat ke lokasi yang direncanakan, Leverkusen segera memblokir akses ke pemain lawan yang agak jauh dari bola (lihat segitiga hitam). Sementara di area bola berada, terjadi pertarungan langsung di mana Leverkusen menciptakan situasi menang jumlah pemain.

Namun, mekanisme merebut bola melalui ‘metode Leverkusen’ ini pun nampaknya tidak masuk dalam rencana taktik Luis Milla. Karena, selain gegenpressing memang tidak masuk dalam model permainan Milla, di Indonesia penerapan gegenpressing belum pernah dilakukan. Memainkannya membutuhkan menu latihan yang kuat untuk bisa menanamkannya ke dalam setiap individu.

Selain koordinasi dalam tendangan gawang, bagaimana Evan Dimas, yang notabene sebagai pemain yang sering memicu progresi bola dari area bawah, melakukan progresi dalam kaitannya terhadap struktur di area depan, menjadi poin yang patut dipertimbangkan. Prinsipnya sama seperti apa yang dijelaskan di atas.

Dari sudut pandang lain, umpan jarak jauh ke depan, baik melambung maupun mendatar, yang dilakukan tanpa pertimbangan tempo yang pas, juga sering sekali membuat pemain penerima bola terisolasi dan masuk dalam kepungan lawan. Situasi ini meningkatkan risiko kehilangan bola.

Kalaupun si penerima bola sukses mempertahankan bola, akses masuk ke kedalaman pertahanan lawan tidak segera dapat dimanfaatkan, karena jarak vertikal yang besar tadi. Mengakibatkan progresi terhambat, aksi selanjutnya berlanjut dengan umpan ke area belakang dan lawan mendapatkan kesempatan menata diri kembali. Contohnya bisa dilihat dari gambar di bawah:

Gambar 7: Umpan lambung Hansamu Yama kepada Yabes Roni di laga kontra Mongolia (Kualifikasi AFC U-23)

Setelah Yabes menerima bola, ia tidak mendapatkan dukungan (support) struktur memadai dari Gavin dan Andy Setyo. Permasalahannya ada pada waktu umpan dilepaskan tidak sinkron dengan pergerakan vertikal Andy dan Gavin dalam kaitannya untuk memberikan dukungan struktural memadai kepada Yabes. Pada gilirannya, Yabes sukses memainkan umpan pendek kepada Andy, tetapi sayangnya, aksi ini terlambat karena Mongolia berhasil membentuk blok pressing yang ideal.

Dukungan kepada target umpan dan pemilihan waktu dilakukannya progresi merupakan isu taktik timnas serta semua negara-negara ASEAN. Bila Milla berhasil mereduksi permasalahan ini, model permainan yang diterapkannya akan semakin mendekati titik ideal.