Diakui atau tidak, ketika klub-klub sepak bola di Indonesia meluncurkan seragam tempur mereka jelang bergulirnya musim kompetisi 2017, baik di ajang Go-Jek Traveloka Liga 1 maupun Liga 2, banyak penikmat sepak bola nasional yang mencibir. Pasalnya, jersey dari mayoritas klub terlihat kurang ciamik dan jauh dari kata estetis karena dipenuhi dengan banyak logo sponsor.
Mulai dari lengan, pundak, dada, perut, punggung sampai pinggang dijejali beraneka merek. Di antaranya berupa produk kopi, moda transportasi berbasis online, produsen ban, operator telekomunikasi, asuransi, perbankan, minuman berenergi dan masih banyak lagi. Ukurannya pun bervariasi, ada yang besar, sedang maupun kecil.
Walau meninggalkan unsur estetika dan eksklusifnya, klub-klub di Indonesia melakukan hal tersebut demi mengais rupiah yang lebih banyak. Tujuannya apalagi kalau bukan memperkuat kondisi keuangan tim sekaligus menjaga perputaran roda operasional. Semakin banyak sponsor yang muncul di jersey, semakin banyak juga pendapatan sebuah klub. Sesederhana itu.
Dilarangnya penggunaan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dari pemerintah sejak satu dekade lalu benar-benar memaksa setiap klub yang kebanyakan menyusu pada uang rakyat agar memutar otak demi kelangsungan hidup mereka. Dan menggaet sponsor sebanyak-banyaknya dengan kesepakatan logo atau nama para pengiklan muncul di seragam tim menjadi jurus jitu yang secara konsisten dilakukan.
Kostum tim yang pada awalnya digunakan sebagai alat untuk menunjukkan identitas klub dan membedakan satu tim dengan tim lainnya tatkala bertanding, perlahan-lahan memiliki fungsi tambahan. Fungsi yang bisa saya sebut sebagai etalase bergerak guna mendulang fulus.
Jersey sepak bola yang dahulu tampak keren karena hanya memuat logo klub, lambang apparel, satu sponsor di bagian dada serta nama dan nomor pemain di bagian punggung, kini malah tampak seperti kostum balap yang diisi banyak sponsor. Industri yang berkembang di bidang sepak bola memang telah mengubah citra dari cabang olahraga terpopuler ini.
Namun harus diketahui bahwa seragam sepak bola yang dipenuhi banyak sponsor tidak terjadi di Indonesia saja. Ada banyak klub di sejumlah liga top Eropa yang lebih dulu melakukannya. Logo dan nama para sponsor memenuhi banyak bagian dari jersey, mulai dari pundak hingga pinggang. Bahkan, celana para pemain juga ‘ditato’ dengan sponsor.
Contoh paling mudah bisa sama-sama kita saksikan dari kontestan di Ligue 1 Prancis atau Serie A Italia, utamanya klub-klub papan tengah dan papan bawah. Situasi serupa juga bisa kita saksikan dari klub-klub di wilayah Amerika Utara dan Amerika Selatan. Tak perlu heran apabila seragam mereka tampak begitu sesak.
Dan kini, kompetisi Bundesliga Jerman dan Liga Primer Inggris mulai ‘ikut-ikutan’ walau masih dalam skala kecil. Otoritas liga dari dua kompetisi tersebut sudah mengizinkan tim-tim kontestannya untuk menampilkan logo atau nama sponsor di bagian lengan. Artinya, potensi pendapatan klub-klub di Bundesliga Jerman dan Liga Primer Inggris pun meningkat.
Hal ini semakin membuktikan jika industri sepak bola sudah mengakar teramat dalam dan susah dilawan. Tak menutup kemungkinan jika di masa yang akan datang, seragam klub-klub sepak bola, entah di Indonesia maupun liga-liga top Eropa akan semakin penuh dengan sponsor. Ya, semua akan menjadi jersey balap pada waktunya.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional