Pagi itu menjadi salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Seorang pemuda yang baru saja mengantongi izin kerja internasional, sedang mengemas barang-barangnya, bersiap untuk bertolak dari Brasil, terbang ke luar negeri demi melanjutkan karier di tim yang lebih kompetitif. Ke mana tujuannya? Jepang. Apa keperluannya? Tidak diketahui.
Pemuda tersebut menyerahkan paspor beserta semua administrasi yang diperlukan pada petugas bandara. Di paspor laki-laki berusia 19 tahun itu, tertulis nama Givanildo Vieira de Souza. Siapakah dia? Tak ada yang tahu dan tak ada yang mau tahu saat itu. Ia berjalan memasuki pesawat dengan tenang, tak ada sorot kamera maupun puluhan pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya.
Dengan santai ia menaiki tangga pesawat, melirik sejenak ke tiket yang tertulis bulan Mei 2006, duduk di kursi yang sesuai dengan nomor di tiket dan menikmati perjalanan. Beberapa jam kemudian ia tiba di tempat tujuannya, disambut kehangatan Negeri Sakura yang sedang memasuki musim panas.
Pemuda berambut agak keriting tadi kemudian menuju sebuah bangunan yang merupakan kantor dari klub sepak bola Kawasaki Frontale. Apa yang akan dia lakukan? Sekali lagi, tak ada yang tahu dan tak ada yang peduli. Ia memasuki bangunan tersebut, berbincang-bincang dengan beberapa orang dan singkat cerita ia menandatangani kontrak di klub yang berkompetisi di kasta tertinggi Liga Jepang tersebut.
Beberapa hari kemudian ia memulai debutnya. Bermain di lapangan yang sangat jauh dari asalnya, ia tak dapat berbuat banyak. Hanya satu gol yang dicetaknya dari sebelas pertandingan, padahal ia berposisi penyerang. Namun karena pihak klub meyakini bahwa kemampuannya masih dapat berkembang, ia kemudian dipinjamkan ke klub kasta kedua Liga Jepang, Consadole Sapporo, pada Januari 2006.
Di Sapporo, bakatnya mulai berkembang, kemampuannya semakin terasah dan uniknya, tubuhnya juga semakin mengembang. Bukan mengembang dalam artian obesitas, melainkan otot yang bertambah besar sehingga terlihat seperti raksasa di antara anak seumurannya.
Kebetulan ia mengidolai Lou Ferrigno, aktor yang membintangi film serial The Incredible Hulk, sehingga ia mendapat julukan Hulk, sesuai dengan porsi tubuhnya.
Penundaan yang berbuah manis
Hulk muda merupakan anomali dari ratusan pemain muda Brasil. Bukan karena ukuran tubuhnya, tetapi karena setelah meninggalkan Brasil, ia melanjutkan kariernya di Jepang. Apa yang salah dari negaranya Sora Aoi dan Tsubasa Amami ini? Tidak ada yang salah dari negara itu, namun pilihan Hulk yang menetapkan Jepang sebagai pelabuhan kariernya adalah hal yang tak biasa bagi seorang pemain asal Brasil.
Biasanya, bakat-bakat muda dari Negeri Samba menetapkan Portugal atau Spanyol sebagai batu loncatan untuk mengawali karier mereka di Eropa. Akan tetapi, Hulk tidak melakukannya, atau menunda lebih tepatnya.
Setelah periode menyenangkan di Liga Jepang yang dilalui bersama Consadole Sapporo dan Tokyo Verdy, Hulk akhirnya berlabuh di Portugal, mengikuti jejak para rekan senegaranya yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya di sana. FC Porto adalah klub yang ia tuju.
Musim pertama di Estádio do Dragão menorehkan kisah manis. Azuis e Brancos, julukan Porto, sukses mempertahankan titel liga domestik dengan trisula Latin maut di lini depan mereka. Hulk, Lisandro López dan Cristian Rodríguez adalah jaminan gol di tim asuhan Jesualdo Ferreira kala itu.
Musim berikutnya, Lisandro hengkang ke Lyon, namun Hulk kembali mendapat tandem yang tajam, bahkan lebih sempurna. Sang penyerang anyar tersebut bernama Radamel Falcao. Ditopang Raul Meireles dan João Moutinho di lini tengah, Porto bukanlah klub sembarangan saat itu.
Meski bertubuh besar, Hulk adalah pemain yang lincah dan larinya kencang. Perpaduan pas dengan El Tigre yang memiliki naluri mencetak gol sangat tinggi. Di musim pertama mereka berduet, Falcao mencetak 34 gol di semua kompetisi. Di musim kedua, giliran Hulk yang unjuk gigi dengan 36 kali menjebol gawang lawan dari seluruh ajang.
Namun kisah keduanya tak seawet asmara Edward Cullen dan Bella Swan. Porto, seperti klub-klub Liga Portugal lainnya laiknya Benfica atau Sporting Lisbon, harus menerima takdir mereka sebagai recommended seller bagi klub-klub papan atas Eropa.
Agustus 2011, Falcao menerima tawaran besar dari Atlético Madrid dan pelatih yang meroketkan duet maut ini, André Villas-Boas, dipinang Chelsea sebulan sebelum Falcao hengkang. Namun nyatanya Hulk memang incredible alias luar biasa. Tanpa dua sosok kunci itu, Porto masih dapat ia bawa meraih titel Liga Portugal ketiganya dalam empat tahun terakhir.
Di akhir musim, spekulasi pun merebak. Penyerang bongsor setinggi 180 sentimeter ini diisukan akan bereuni dengan André Villas-Boas di Chelsea. Beberapa klub di Liga Primer Inggris juga diberitakan menyatakan minat yang sama pada Hulk. Postur Hulk yang seperti binaragawan diyakini akan mempermudah masa adaptasinya di negeri penemu sepak bola itu.
Namun terkadang rumor transfer hanyalah khayalan belaka…