Bagi sebagian besar manusia di dunia, bermimpi adalah suatu kemewahan. Maka, ketika sudah berada di jalan yang benar untuk menggapai mimpi, apa pun akan kulakukan untuk mewujudkannya. Sejak usiaku menginjak 12 tahun, aku sudah bekerja keras mewujudkan mimpiku menjadi pemain sepak bola profesional. Meskipun melalui perjuangan keras di jalanan berbatu kota Surkhet, Neepal.
Pada usia 13 tahun, aku sudah terpilih bergabung dengan akademi ANFA, satu-satunya akademi usia muda di Nepal. Masa-masa di sana mengantarkanku bergabung dengan tim nasional Nepal U-16. Segalanya berlangsung cepat, aku ditawari memperkuat tim nasional senior meskipun usiaku baru 16 tahun.
Memulai karier profesional di usia yang sangat muda memungkinkan berbagai mimpi besar datang menjemputku. Lima tahun lalu, ketika aku masih berusia antara sembilan belas hingga dua puluh tahun, media-media olahraga di Nepal meniupkan angin surga ke telingaku. Mereka menuliskan headline bahwa klub-klub besar Inggris seperti Arsenal dan Tottenham Hotspur, tertarik untuk memboyongku ke sana.
Itu menjadi berita besar di Nepal pada sekitar tahun 2012 lalu. Kabarnya, kedua klub itu tertarik pada penampilanku ketika memperkuat tim nasional Nepal yang menahan seri Yordania 1-1. Aku ingat jelas saat itu aku langsung menjadi sensasi di seantero Nepal, bahkan di India, tempatku bermain pada saat itu bersama klub Bangalore, HAL FC.
Aku pun menggantungkan harapanku setinggi langit bahwa sebentar lagi aku, Rohit Chand, akan segera berseragam salah satu klub di Eropa.
Namun, kenyataan memang sering berbeda dengan impian kita. Tak sampai enam bulan setelah semua pemberitaan itu, aku menemukan diriku berada di bagian dunia yang terpisah samudera dengan Eropa. Aku mengikuti seleksi untuk menjadi pemain Arema, salah satu klub besar di Liga Indonesia.
Seleksi itu berujung penolakan. “Rohit Chand bagus, tapi ia bukan pemain yang dibutuhkan Arema,” begitu pemberitaan media saat itu.
Aku tak putus asa. Sebuah tawaran datang dari klub di pulau Sumatera, PSPS Pekanbaru. Aku langsung menerimanya. Itulah pertama kali aku merasakan sepak bola Indonesia. Namun, pengalaman pertamaku itu berlangsung buruk. Bukan hanya karena ada dua kompetisi Indonesia yang berjalan, namun juga karena aku hanya bertahan di PSPS selama setengah musim. Pembayaran gajiku tersendat di sana.
Untunglah, tawaran dari Persija Jakarta datang. Aku pun bergabung dengan salah satu klub terbesar Indonesia ini. Cukup beruntung aku meninggalkan PSPS, karena di akhir musim, klub itu terdegradasi. Di lain pihak, aku menikmati bulan-bulan pertamaku bersama Persija. Kami finis di papan tengah, prestasi yang tak buruk.
Pelatih Benny Dollo sering mengubah posisiku dari bek menjadi gelandang bertahan. Aku tak ada masalah dengan itu, bermain sebagai gelandang membuat insting menyerangku bekembang. Aku bahkan sukses mencetak gol ketika melawan Persepam Madura FC. Beberapa media juga memilihku untuk menjadi salah satu kandidat pemain muda terbaik.
Setelah lima bulan di Persija, sebuah tawaran menghampiriku lagi dari Eropa. Kali ini dari klub Liga Denmark, FCV Vikings. Ini memang penurunan kualitas dari klub-klub Liga Inggris yang mengincarku sebelumnya. Aku pun sempat datang ke Denmark pada musim dingin 2013 untuk melihat-lihat situasi.
Namun, klub itu ternyata hanya ingin menggunakan jasaku untuk tim cadangan mereka. Aku menolak dan memutuskan kembali ke Persija. Ternyata itu keputusan yang benar, karena FCV Vikings harus gulung tikar pada tahun 2015.
Daripada memikirkan Eropa, lebih baik fokus menghadapi kelanjutan karierku di Persija. Musim keduaku bersama Macan Kemayoran berlangsung menyenangkan. Aku mencetak beberapa gol lagi dan nyaris membawa Persija ke delapan besar. Sayang, kami gagal bersaing di saat-saat akhir dari Pelita Bandung Raya.
Aku senang karena Persija masih ingin menggunakan jasaku di Liga Indonesia 2015. Namun, mimpi buruk ternyata melanda kompetisi negara yang sudah kuanggap seperti rumah kedua ini. FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia, yang berdampak pada dibubarkannya liga yang baru menginjak pekan-pekan pertama.
Hubunganku dengan Persija pun sempat merenggang karena masalah tunggakan gaji. Di sini kemudian aku merasakan keterikatan emosional dengan Jakmania. Mereka lebih dari sekadar suporter. Jakmania membantu mediasi aku dan Persija untuk mengatasi masalah keterlambatan gaji.
Bagaimana pun juga, sanksi FIFA itu mimpi buruk bagi sepak bola Indonesia. Banyak pemain asing yang beralih ke liga-liga negara lain karena kontrak mereka di Indonesia terputus. Aku cukup beruntung karena Rahmad Darmawan, mentorku di Persija, mengajakku bergabung dengan T-Team di Liga Malaysia.
Kontrak yang kutandatangani membuatku antusias. Rahmad sukses membawa klub Kuala Trengganu tersebut promosi ke Liga Super Malaysia dan aku tak sabar ingin ambil bagian.
Namun, manusia memang tak bisa memprediksi nasib. Pada bulan Januari 2016, kakiku terkena cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) di laga pramusim. Pupus sudah mimpiku untuk berlaga di kasta tertinggi sepak bola Malaysia.
Cedera itu membuatku absen selama delapan bulan pada tahun 2016. Demi memulihkan kondisi dan mempertajam naluri bermain, aku rela memperkuat Manang Marshyangdi di Liga Nepal, meskipun aku tak diikat kontrak dan hanya dibayar per pertandingan.
Aku terus menunggu kesempatan kembali bermain di luar negeri. Nepal belum memiliki liga dan infrastruktur yang memadai, maka berkarier di luar negeri masih menjadi prioritas utamaku.
Pada bulan Maret 2017, aku mendengar bahwa Persija menginginkanku kembali. Aku tak pikir panjang lagi dan aku bangga sekali bisa kembali ke Persija. Kondisi sepak bola Indonesia sudah jauh lebih baik dari terakhir kali kutinggalkan. Suasana tim Persija juga selalu menyenangkan setiap kami bermain di rumah.
Di Go-Jek Traveloka Liga 1, aku merasa penampilanku semakin matang. Usiaku pada tahun 2017 ini menginjak angka 25 dan masih banyak ruang bagiku untuk berkembang. Pelatih Stefano ‘Teco’ Cugurra mulai sering memasangku di posisi menyerang. Hasilnya manis, aku mulai sering mencetak gol. Aku menyumbang satu gol manis ketika Persija mengungguli Arema 2-0 pada bulan Juni lalu. Lalu, baru-baru ini, gol tunggal kemenangan kami atas Pusamania Borneo FC juga lahir dari sepakanku.
Di Persija, aku sedang menjalani hidup bagai mimpi. Aku sudah berada di rumah yang menyenangkan.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.