Kolom

Ahmad Bustomi: Kera Ngalam Terbaik

Saya termasuk terlambat mengenal Ahmad Bustomi. Ketika pertama memainkan gim Football Manager pertama saya, FM 2007, Bustomi masih bermain di Persema Malang, bersama kawan karibnya di akademi, Abdi Gusti. Kariernya biasa saja kala itu. Di masa itu, gelandang tengah idola saya hanya mengerucut ke dua nama, Eka Ramdani dan Firman Utina.

Ketika beranjak SMA dan menuju gerbang kuliah, baru nama Bustomi melesat. Saya termasuk segelintir orang yang memberi tepuk tangan meriah pada kiprah Bustomi dan kolega yang menjadi bagian dari skuat terbaik Arema Malang yang menjuarai Liga Indonesia 2010. Tentu, Robert Rene Alberts memegang peranan penting di dalamnya. Juga nama-nama pemain asing jempolan seperti Pierre Njanka, Esteban Guillen, Roman Chmelo, hingga duo Singapura yang menjadi idola banyak bocah kala itu, Noh Alam Shah dan Muhammad Ridhuan.

Tapi, di balik nama pemain tenar tersebut, Bustomi mencuri perhatian saya. Salah satu hal yang membuat saya kemudian tak bermuram durja ketika akhirnya ‘terdampar’ di kota Malang, alih-alih menuju kota impian saya, Yogyakarta, untuk melanjutkan jenjang pendidikan di perguruan tinggi, adalah Ahmad Bustomi. Bustomi adalah nama pertama yang selalu saya cari tiap kali kami, saya dan beberapa kawan kampus, menghampiri Stadion Gajayana demi melihat latihan Arema.

Gaya bermainnya yang saya suka. Mengidolai sang maestro Italia, Andrea Pirlo, Bustomi pun mereplikasi penampilan eks pemain Brescia tersebut dengan gaya mainnya di lapangan tengah Arema. Dulu, di masa-masa medio awal 2011-an, ada dua nama gelandang yang menurut saya cukup bagus, namun keduanya berbeda nasib. Bustomi, eks Persema yang kemudian menjadi pemain inti Arema, sukses menyingkirkan nama yang lebih senior, Ronny Firmansyah, ke bangku cadangan.

Skuat juara yang dimiliki Arema kala itu memang salah satu yang terbaik. Selain nama-nama asing di atas, di tim Singo Edan ada kiper jangkung yang kemudian menjadi Pemain Terbaik Indonesia Super League (ISL) 2010, Kurnia Meiga Hermansyah.

Juga jangan lupakan bek sayap, Benny Wahyudi, yang juga bersama dengan Arif dan Bustomi, ketiganya adalah kepingan tim inti Arema kala menjuarai ISL 2010. Di tim itu, muncul kemudian nama-nama pemain muda asli putra daerah Malang yang mencuat seperti Dendi Santoso, Sunarto, Johan Ahmad Alfarizi, hingga bek muda yang menjadi tandem sehati Njanka, Irfan Raditya. Skuat yang komplet.

Bustomi sendiri adalah salah satu motor permainan tim Arema. Di tengah kepungan pemain asing seperti Guillen dan Chmelo, Bustomi selalu mendapat menit bermain. Sesuatu yang kemudian membuat kariernya semakin menanjak dan perkembangannya semakin baik. Salah satu yang kemudian sering ia kembangkan, mengasah kemampuan kaki terlemahnya, kaki kiri. Kamu akan sering menemukan ia mengambil eksekusi bola mati dengan kaki kiri. Hal itu hampir selalu ia asah ketika berlatih bersama tim.

Sempat hengkang ke Kalimantan untuk bergabung dengan Mitra Kukar selama 2011-2013, pria kelahiran Jombang namun asli Karangploso ini nyatanya tak bisa memungkiri bahwa takdir kembali membawanya pulang ke Kota Apel yang sejuk. Bustomi adalah cult hero bagi Aremania. Usai tak ada lagi sosok senior seperti Njanka, ban kapten tersemat secara sakral di lengannya. Kegemarannya akan motor Vespa, cara uniknya dalam berinteraksi dengan penggemar di sosial media, hingga deretan distro yang ia miliki di sudut kota Malang, membuat Ahmad Bustomi menjadi figur penting yang mungkin, tak akan pernah tergantikan di Arema.

Federasi bergejolak, Arema bahkan kini ada dua tim, namun hanya ada satu Ahmad Bustomi. Ia pemain unik yang sering mengucapkan istilah nendes kombet (bahasa slang di Malang), sebagai ciri khasnya untuk menunjukkan gaya santainya dalam berinteraksi dengan penggemar. Untuk satu dan lain hal, Bustomi adalah salah satu pemain yang bisa dilabeli status sebagai legenda Arema Malang. Ia ada di sana, bersanding dengan sang pelatih, Aji Santoso, eks bek kiri timnas yang juga legenda dan putra asli Malang.

Selamat ulang tahun ke-32, Cimot. Umak mbois lop, sam!

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis