Suara Pembaca

Women’s Euro 2017 dan Sepak Bola Wanita yang Gagal Meriah di Indonesia

Florention Perez
Florentino Perez, Presiden Real Madrid.

Sepak bola perempuan tidak menguntungkan secara bisnis?

Presiden klub Real Madrid, Florentino Perez, dalam sebuah wawancara pernah berujar bahwa sepak bola perempuan sama sekali tidak menguntungkan, ketika ditanya mengapa Real Madrid tidak mendirikan tim wanita, padahal tim wanita Barcelona, sang rival abadi, dapat meraih sukses seperti tim laki-laki mereka.

Memang tak menjadi kewajiban untuk sebuah klub sepak bola mendirikan tim perempuan mereka. Karena nyatanya, ada banyak tim wanita yang berdikari dan tidak berafiliasi dengan klub sepak bola laki-laki. Namun, anggapan bahwa sepak bola perempuan sama sekali tidak menguntungkan nampaknya salah besar.

Baca juga: Tim Raksasa Eropa dan Sepak Bola Wanita

FIFA baru-baru ini merilis data bahwa Piala Dunia Putri U-20 tahun 2014 dan Piala Dunia Perempuan tahun 2015 yang dilangsungkan di Kanada lalu, ikut memberi pemasukan sebesar 1,5 miliar dolar dalam aktivitas perekonomian di Kanada.

Bahkan, siaran televisi untuk Piala Dunia Wanita 2015 lalu memecahkan rekor karena ditonton oleh lebih dari 750 juta pasang mata di seluruh dunia. Betapa mengejutkan, bukan? Walau mungkin angka ini masih kalah jauh dari Piala Dunia di Brasil setahun sebelumnya, yang sampai 3,2 miliar pasang mata di seluruh dunia. Tapi sekali lagi, itu catatan yang luar biasa.

Hikayat siaran sepak bola perempuan sendiri diam-diam sudah ada sejak gelaran UEFA Women’s Championship 2009 lalu di salah satu stasiun televisi yang kebetulan juga menyiarkan Piala Eropa 2008 yang dimenangi timnas Spanyol tersebut.

Lama tak terdengar, sempat muncul stasiun televisi pemegang hak siar Piala Dunia Brasil yang menayangkan beberapa partai delay Piala Dunia Putri U-17 2014 di Kosta Rika, walau sayang, mereka tak menayangkan Piala Dunia Perempuan 2015 yang jadi lambang supremasi tertinggi sepak bola perempuan.

Boleh jadi, saya menduga bahwa permasalahan klasik perihal rating selalu jadi penghalang terkait disiarkannya pertandingan sepak bola perempuan.

Timnas Wanita Indonesia U-15
Timnas Wanita Indonesia U-15. Kredit: PSSI

Praktik patriarki, akar penghalang sepak bola perempuan di Indonesia

Kembali melihat perbandingan penduduk dan sepak bola di awal artikel. Amerika Serikat dan Cina adalah pionir utama sepak bola perempuan di dunia. Bahkan, keduanya sudah pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia Perempuan dan tidak pernah absen dalam hajatan resmi FIFA yang mulai digelar 1991 silam.

Liga Sepak Bola Perempuan di AS, NWSL dan juga Chinese Women’s Super League, juga sama-sama beradu untuk saling mendatangkan bintang-bintang terbaik. Nasib India mungkin tidak sebaik kedua negara di atas, setidaknya sosok Aditi Chauhan yang bermain untuk West Ham United Ladies masih dikenal di sana.

Ini jelas meninggalkan sedikit noda, maksud saya, dibandingkan tiga negara berpenduduk terbanyak tersebut, kenapa minat Indonesia akan sepak bola perempuan sangat amat rendah?

“Mau jadi apa cewek kok main bola?”, ungkapan itu bahkan terdengar di rumah saya ketika saya hendak menemani adik perempuan saya latihan futsal di sekolah. Lantas, adakah yang salah ketika seorang perempuan memilih untuk bermain sepak bola? Patriarki dan inekualitas (ketidaksamarataan) kerap menjadi musuh utama sepak bola perempuan di mana saja, utamanya di Indonesia.

Klub-klub sepak bola perempuan berjuang sendiri mendanai hidup mereka, bahkan untuk membuat kompetisi kecil-kecilan karena PSSI kurang peduli terhadap Galanita (Liga Sepak Bola Wanita) yang praktis selesai pada medio tahun 1970-an.

Bahkan, saya yakin pembaca sekalian tidak tahu nasib Timnas Perempuan Indonesia, bukan? Atau bahkan nasib Timnas Putri U-15 yang baru pulang dari Laos dan mengikuti AFF U-15 Women’s Championship?

Kuat dugaan jika praktik patriarki yang jadi akar masalah ini diteruskan, tidak akan ada lagi pesepak bola perempuan di Indonesia. Nasib lebih baik akan menghampiri bagi mereka yang mencoba beradaptasi menjadi pemain futsal putri. Orang tua kerap mengasosiasikan pekerjaan selain atlet pada putri mereka sejak dini, yang membuat sangat sedikit perempuan yang berani melawan arus dengan menjadi pesepak bola, sesuai passion mereka, mungkin.

Stigma aneh juga ikut membayangi para pesepak bola perempuan beberapa tahun ke belakang, meski ada sebagian kecil yang memberi dukungan. Jika bisnis klub sepak bola perempuan tak bisa seramai klub sepak bola laki-laki, apakah itu akan mematikan semangat para srikandi-srikandi sepak bola kita?

Rasa-rasanya, hal yang mungkin untuk menyemangati mereka adalah lewat siaran pertandingan dan berita-berita tentang sepak bola perempuan yang diberi porsi sepadan layaknya sepak bola laki-laik. Menyuguhkan pertandingan-pertandingan sepak bola perempuan di televisi rasanya lebih etis ketimbang disuguhi sinetron remaja saban hari.

Lagipula, siapa tahu saja, dengan cara demikian, membuat motivasi para pesepak bola perempuan di Indonesia akan bertambah. Siapa tahu juga, dengan demikian akan banyak orang tua yang mendukung putri mereka menjadi pesepak bola atau atlet cabang lainnya tanpa perlu membatasi.

Dan dengan demikian, rakyat Indonesia akan perlahan ikut menggilai sepak bola perempuan sehingga nantinya, ketika timnas sepak bola perempuan kita berlaga, tak lagi kita akan melihat segelintir bangku kosong, tapi ratusan bahkan ribuan pasang mata yang mendukung mereka dengan yel-yel yang membahana di seluruh tribun.

#TogetherWePlayStrong

Baca juga: Balada Kaum Wanita dan Sepak Bola

NB: Tulisan ini secara khusus penulis dedikasikan kepada Retno, Amanda dan teman-teman komunitas Women’s Footie Indonesia. Ayo semangat, perjuangan kita masih panjang! Kita tunjukkan kalau mimpi menjadi juara bukan hanya milik laki-laki saja. Teman-teman yang ingin mengenal kami juga dapat mengikuti kami di akun Twitter @womensfootie_id dan akun Instagram @womensfootie.id

Author: Steven Danis (@stevenkurus)