Dalam film Green Street Hooligans, Matt Buckner (Elijah Wood) adalah seorang mahasiswa Harvard yang dikeluarkan karena tersangkut kasus kepemilikan kokain dan pindah ke London, tempatnya mulai terlibat dengan kumpulan hooligans jadi-jadian West Ham United bernama Green Street Elite.
Buckner, si orang Amerika, sempat tak diterima di antara para suporter beraksen Cockney itu, namun ia segera saja mulai ikut melayangkan tinju-tinju di jalanan melawan musuh bebuyutan macam Manchester United dan Millwall.
Film tersebut tentulah sebuah karya fiksi, namun hooliganism yang digambarkan, nyata adanya. Inggris memiliki sejarah panjang nan kelam dengan suporter-suporter mabuk yang memanjat pagar stadion dan beradu pukul di kereta bawah tanah.
Hooligans adalah kata yang berakar erat dengan sejarah sepak bola negeri itu. Intensitasnya hanya dapat disaingi negara-negara gila bola lain macam Italia, tempat para ultras berkuasa, atau Rusia, di mana penjahat terorganisir sering menyaru jadi penonton.
Seiring menjadi globalnya permainan indah bernama sepak bola, sub-kultur hooligans terbawa pula sampai ke tanah seberang samudera: Amerika Serikat, tempat asal tokoh fiksi Matt Buckner. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan animo rakyat Negeri Paman Sam yang perlahan-lahan beralih menuju lapangan rumput soccer, muncul pula budaya para ultras dan hooligans dengan segala kompleksitasnya.
Kemunculan mereka sebenarnya adalah anomali di tengah kebudayaan suporter olahraga di Amerika pada umumnya. Berbanding terbalik dengan sepak bola yang pernah (dan masih) berbau kekerasan dan berlumur darah di beberapa negara Eropa, kekerasan antarkelompok suporter adalah konsep yang asing bagi Amerika.
Ini mungkin dapat dijelaskan dengan mengakarnya konsep individualitas dan tingkat sosio-ekonomi rata-rata penikmat olahraga di sana, yang bisa dibilang lebih baik ketimbang tim-tim sepak bola Eropa yang memiliki basis pendukung di kelas pekerja.
Bisbol, bola basket, bahkan football, dimainkan di stadion-stadion modern dengan fasilitas lengkap, penjagaan ketat dan sisi bisnis yang menggiurkan. Kebanyakan tim olahraga Amerika mengutamakan aspek ramah keluarga dan anak dalam sports experience yang mereka jual dan tawarkan. Operator liga berkepentingan untuk menjaga sebaik mungkin citra olahraga mereka, sehingga bisa dibilang suporter olahraga Amerika lebih “jinak” bila dibanding dengan Eropa.
Hal ini tentu saja tak mencegah munculnya sub-kultur hooligans di lapangan bola Amerika. Kisah kelahiran mereka dimulai dari New York City pada awal 1970-an, ketika seorang imigran muda asal Genoa bernama Giuseppe “Peppino” Masci dan segerombolan anak muda berdarah Italia mendirikan grup ultras untuk mendukung New York Mets, tim bisbol profesional setempat. Masci, pendukung Sampdoria, segera saja mengumpulkan cukup banyak anggota.
Meskipun pada awalnya hanya berfokus pada bisbol dan football saja, ultras cap New York ini tak dapat pula membendung sebuah badai yang melanda kota itu di tengah dekade 1970-an: bergabungnya Pele, legenda sepak bola Brasil, ke New York Cosmos. Ultras Tito Mets, grup pimpinannya, segera beralih junjungan kepada Cosmos dan bertelingkah dengan kelompok-kelompok lain seperti Ultras Yankees, yang didirikan oleh imigran dari kota Roma yang mendukung Lazio.
Kekerasan tak jarang digunakan: pada tahun 1978, lima suporter dan dua polisi terluka setelah baku hantam antara pendukung Tito Mets dan Yankees pascalaga eksibisi antara Mets dan New York Yankees, dua musuh bebuyutan di lapangan bisbol. Namun, seiring meredupnya popularitas Cosmos dan NASL, liga tempatnya bernaung, di akhir dekade, kelompok ultras generasi pertama ini ikut meredup.
Seperti zaman, para penggemar garis keras memilih beradaptasi. Untuk menghindari kejaran aparat, mereka mengadopsi lebih banyak gaya underground dari kompatriot mereka di tanah Britania, yang mendengungkan konsep casual football. Alih-alih bernyanyi dan bersorak dengan atribut tim mereka, hoodie dan sweater kasual kini jadi pilihan.
Sepak bola profesional kembali ke tanah Amerika pada 1996, dua tahun setelah Rose Bowl di Pasadena, California, menjadi saksi kemenangan Brasil atas Italia di final Piala Dunia lewat duel adu penalti. Major League Soccer (MLS) bertarung mati-matian untuk menjaga nyala api sepak bola pro selepas Piala Dunia dan salah satu upaya yang mereka tempuh justru dengan menggaet kembali para penggemar garis keras.
Dan Margarit kemudian mendirikan San Jose Ultras, salah satu kelompok suporter tertua di MLS pada 2003. Mereka pendukung setia San Jose Earthquakes. Meskipun tim yang bermarkas di wilayah San Francisco Bay Area ini boleh dikatakan kurang bersinar dibanding rekan tim senegara bagian mereka, LA Galaxy, namun mereka yang paling vokal.
Terutama karena Margarit pernah menjadi anggota ultras Steaua Bucuresti di Romania, tanah kelahirannya. Dengan lagu dan sorakan mereka, tribun-tribun Avaya Stadium selalu riuh dengan sorakan mereka.
Tapi untuk ukuran mereka yang terbiasa melihat liarnya suporter Eropa, tingkat keganasan kelompok-kelompok macam San Jose masih begitu jinak dan tanggapan operator liga justru tak sebanding.
Salah satu chant mereka yang terkenal adalah “I put on my Earthquakes jersey/And a scarf around my neck/Marijuana in my pocket/And a bottle in my pack”. Nyanyian yang lebih mirip gombalan remaja itu sudah cukup untuk membuat tim mereka membuat semacam kode etik suporter dan memaksa MLS melancarkan kampanye nasional melawan kata-kata kotor di tribun.
Di satu sisi, MLS membutuhkan penggemar macam mereka untuk menjual citra sepak bola pada warga Amerika. Tak heran kalau gambar-gambar para ultras tanpa baju, bercat muka dan menyelempangkan syal kerap memenuhi bahan-bahan promosi MLS. Di sisi lain, tampaknya MLS masih belum dapat menemukan formula yang tepat untuk menanggulangi potensi kekerasan yang bisa disebabkan oleh kelompok ini.
Kelompok-kelompok ultras dan hooligans sendiri terpisah-pisah antargaris bahasa dan budaya. Sudah jamak diketahui bahwa demografis terbesar peminat sepak bola adalah kaum Latino di Amerika. Di San Jose, misalnya, terdapat kelompok suporter Imperio Sismico yang anggotanya hampir eksklusif merupakan kaum Hispanik.
Keadaan yang sama terjadi di Houston Dynamo (Texian Army kontra El Battalion) dan D.C. United (Screaming Eagles melawan La Barra Brava). Kaum Latino, yang punya akar budaya sepak bola lebih kuat sehingga merasa lebih superior, cenderung memisahkan diri dari kelompok-kelompok lain.
Pemisahan antargaris etnik ini bukan hal yang baru, tapi sudah terjadi sejak awal mula. Ingat lagi ultras Tito Mets yang berbau Italia. Ada pula Polish Ultras, kelompok suporter Chicago Fire yang beranggotakan para pemuda berdarah Polandia yang cukup banyak ditemukan di wilayah Midwestern dan sekitarnya.
Hari depan para ultras dan hooligans cap Yankee ini sebenarnya tidak begitu jelas. Reputasi mereka sebagai penggemar garis keras masih tumbuh dengan perlahan seiring dengan berkembangnya MLS, namun sedikit demi sedikit, catatan kekerasan mulai terkumpul, konyol ataupun tidak.
Pada Agustus 2015, kerusuhan terjadi antara suporter New York Red Bulls dan NYC FC, lengkap dengan lelaki-lelaki ber-hoodie menirukan aksen Cockney. “Ini seperti versi buruk dari Green Street Hooligans,” lapor koran nasional The Washington Post. Untuk catatan, kerusuhan ini terjadi di luar sebuah bar di Newark, New Jersey dan melibatkan lelaki dewasa melempar roti lapis dan tong sampah.
Namun yang cukup serius juga sudah terjadi: seorang suporter Portland Timbers memecahkan kaca mobil seorang suporter San Jose pada 2013. Para ultras San Jose membalas dengan memukuli dan merusak mobil sang suporter Timbers tersebut. Kala San Jose melawat ke Portland, tuan rumah balas mengejek dengan spanduk bernada melecehkan dan hampir pula menyebabkan baku hantam.
Jalan masih panjang bagi para penggemar garis keras ini untuk menancapkan kuku mereka dalam lembar sejarah sepak bola di Negeri Paman Sam. Sederet halangan berupa-rupa dari ekonomi hingga budaya, masih terbentang untuk mereka.
Tak ada yang lebih berhak menjelaskan tantangannya selain seorang ultras sendiri: Dan Margarit, sang komandan San Jose Ultras asal Rumania itu. “Bagi orang Amerika, sepak bola hanyalah sesuatu yang dinikmati di akhir pekan,” ujarnya dalam suatu wawancara. “Bagi orang Eropa, (sepak bola) adalah jalan hidup.”
Author: Ramzy Muliawan (@ramzymuliawan)
Penulis dan pembaca. Penikmat kopi hitam, punk rock dan Luca Toni.