Bagi penikmat sepak bola Eropa, waktu pelaksanaan liga-liga di negara Asia tampak menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa tidak dibarengkan saja dengan liga top di benua biru seperti Liga Primer Inggris, Serie-A, atau La Liga? Jika liga elite Eropa biasanya dimulai dari Juli-Agustus hingga April-Mei, kompetisi sepak bola di Asia rata-rata digelar pada periode awal hingga akhir tahun.
Banyak opini yang merujuk jika berbarengan, mungkin bisa lebih seru. Jadi, musim sepak bola bisa berlangsung serentak di seluruh dunia dan jika saatnya libur, semua pesepak bola merasakan hal serupa. Satu yang tak kalah penting dan terkadang jadi polemik adalah terselesaikannya dua periode bursa transfer yang seragam dan tak lagi menimbulkan banyak pertanyaan.
Akan tetapi, pelaksanaan liga ternyata tak melulu berdasarkan hal tersebut. Banyak faktor yang dipertimbangkan. Di liga sepak bola kasta tertinggi Amerika Serikat dan Kanada, Major League Soccer (MLS), periode Maret hingga Desember ditetapkan mengingat tak sedikit klub peserta yang harus berbagi stadion dengan tim liga American Football atau NFL.
Ketentuan serupa juga berlaku untuk liga di Australia atau A-League karena sejauh ini masih kalah pamor dari rugby dan liga American Football di Australia, (AFL). Bedanya, A-League malah memulai liga mulai dari Oktober hingga Mei mendatang. Selain untuk memberikan kesempatan tim dari olahraga lain, cuaca juga menjadi faktor di mana di Australia, musim dingin rata-rata berlangsung dari Juni sampai Agustus.
Sama dengan di Australia, cuaca juga jadi salah satu pertimbangan pelaksanaan liga sepak bola di Eropa. Tapi sebaliknya, Juli atau Agustus dipilih karena cuaca yang tergolong hangat sementara saat akhir tahun hingga awal tahun, beberapa liga menerapkan libur musim dingin atau winter break karena rumput lapangan yang bisa tertutup salju dan hal lainnya. Bahkan liga di Swedia (Allsvenskan) dan Norwegia (Tippeligaen) dilangsungkan mirip dengan negara di Asia karena menghindari musim dingin yang cukup ekstrem di sana.
Mengapa Asia berbeda?
Lantas, mengapa Asia memilih waktu yang berbeda? Terlepas dari Jameel League Arab Saudi dan Iran Pro League, negara-negara benua kuning memilih dan mempertahankan jadwal pada awal hingga akhir tahun salah satunya karena mengikuti kalender Federasi Sepak Bola Asia (AFC) yang memuat kompetisi antarklub, yakni Liga Champions Asia (LCA) dan Piala AFC.
Sejak dimulainya format baru LCA musim 2002/2003 dan awal digulirkannya Piala AFC tahun 2004, kedua kompetisi yang kastanya mirip Liga Champions Eropa dan Liga Europa ini konsisten digelar sejak awal hingga akhir tahun. Pada musim pertama LCA sejak berganti format, tahun 2002 lalu, turnamen itu hanya melangsungkan babak kualifikasi dari Agustus hingga November.
Bagi klub-klub di Asia, partisipasi di LCA dan Piala AFC merupakan gengsi tersendiri serta sesuatu yang dikejar selain tentunya gelar juara liga. Hal ini yang diakomodir asosiasi sepak bola masing-masing negara di benua kuning agar pelaksanaan liga bisa bersinergi dengan kompetisi regional. Sejauh ini, klub-klub Asia juga kerap mendapat berkah tersendiri karena penyusunan kalender kompetisi tersebut.
Pasalnya, lambang supremasi klub sepak bola di dunia, Piala Dunia Antarklub, kerap digaungkan pada akhir atau awal tahun. Meski belum pernah jadi juara, tim asal Asia perlahan mulai menunjukkan grafik meningkat. Setelah sukses menempatkan dua wakil pada semifinal edisi 2015 lewat Sanfrecce Hiroshima dan Guangzhou Evergrande, tahun lalu di Jepang, final mementaskan laga antara Real Madrid kontra perwakilan Asia dan tuan rumah, Kashima Antlers.
Berimbas ke timnas
Kalender ini akhirnya berimbas pada agenda tim nasional. Sebagai turnamen paling prestisius antarnegara di benua ini, Piala Asia akhirnya bertransformasi. Piala Asia 2007 yang digelar di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, jadi penanda akhir dari waktu pelaksanaan turnamen yang digelar pertengahan tahun, menjadi awal tahun.
Perubahan ini dimulai pada Piala Asia 2011 di Qatar mengingat suhu terlampau tinggi jika tetap digelar pada musim panas. Menariknya, hal ini juga berlaku pada edisi 2015 di Australia. Sementara pada 2019 mendatang, Piala Asia kembali dihelat di Timur Tengah, tepatnya Uni Emirat Arab pada 5 Januari hingga 1 Februari.
Satu hal yang bisa jadi keuntungan didapat kala Qatar didapuk jadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Sempat menimbulkan polemik mengingat cuaca ekstrem yang akan didapat jika dipaksakan pada musim panas, FIFA akhirnya memutuskan pesta sepak bola terakbar sejagat itu bakal berlangsung November hingga Desember 2022. Meski Piala Dunia 2018 di Rusia tetap berlangsung sesuai jadwal, yakni pada musim panas, setidaknya negara-negara di Asia bisa lebih bersemangat menyiapkan diri jelang edisi selanjutnya di Qatar.
Bagaimana dengan Liga 1 dan timnas Indonesia?
Setelah vakum selama lebih dari satu tahun, liga sepak bola di Indonesia akhirnya kembali. Bertajuk Go-Jek Traveloka Liga 1 2017, liga si kulit bundar kasta tertinggi di tanah air ini resmi dimulai 15 April lalu dan rencananya akan berakhir 12 November mendatang atau kurang lebih selama tujuh bulan. Lantas apakah waktu pelaksanaan Liga 1 sudah ideal dan bakal memberikan efek positif untuk timnas Indonesia dalam hal ini masa persiapan jelang ajang akbar?
Sejauh ini, klub-klub Liga 1 atau liga di bawahnya belum menerima informasi terkait tambahan agenda kompetisi pendamping seperti Piala FA di Inggris atau layaknya Piala Indonesia beberapa tahun lalu. Ini artinya, selama kurang lebih tujuh bulan itu tim-tim Liga 1 hanya berfokus di liga.
Sejak 2013 lalu, liga di Indonesia berganti format sebanyak dua kali. Musim 2013, Indonesia Super League (ISL) diikuti 18 tim dengan format satu wilayah dan digelar mulai 5 Januari hingga 7 September atau sekitar delapan bulan. Sementara setahun setelahnya, ISL 2014 diadakan dengan format dua wilayah sejak Februari hingga November, dengan kata lain sembilan bulan.
Merujuk dari dua pengalaman tersebut dan kini di Liga 1, untuk menjalankan semusim liga dengan format satu wilayah ditambah kompetisi pendamping, diperlukan sekiranya delapan bulan, jika tak banyak penundaan. Pasalnya, Liga Primer saja yang setiap tim berpeluang tampil di empat ajang berbeda, berlangsung selama sembilan bulan.
Musim depan, dengan bakal berlangsungnya agenda timnas yakni Piala AFF 2018 di akhir tahun, periode liga mulai dari April hingga November bakal kembali jadi pro dan kontra. Pasalnya, masa persiapan bakal berlangsung sangat minim dan jika mengambil metode seperti tahun 2016, berpotensi kembali jadi polemik.
Jelang Piala AFF 2016, skuat Garuda dibatasi hanya boleh memanggil dua pemain pada masing-masing klub peserta Torabika Soccer Championship (TSC) A mengingat kompetisi pengisi kevakuman liga itu masih terus berlangsung. Bentrok agenda antara klub dan timnas tahun depan bukan hanya wajib dihindari, tapi juga dicarikan solusi agar masa persiapan bisa berlangsung lebih lama.
Salah satu penyelesaiannya bisa jadi dengan menggelar Liga 1 musim 2018 sebulan lebih cepat atau pada Maret, seperti draf awal musim ini. Artinya, jika berjalan sesuai rencana, bakal berakhir di Oktober 2018 dan memberikan lebih banyak waktu untuk pelatih timnas Indonesia meracik tim jelang Piala AFF 2018. Selain itu, Maret dipilih agar para pemain mendapat waktu liburan yang layak dan bagi tim yang mengikuti kompetisi regional, bisa mengisi pramusim dengan ajang kualifikasi bagi zona Asean.
Karena dimulai pada Maret, tengah kompetisi sekaligus bursa transfer kedua bisa dilangsungkan pada Juni-Juli atau tak jauh berbeda dengan awal musim liga-liga top Eropa. Selain itu periode tersebut juga tak banyak jadwal kompetisi antarklub Asia mengingat sedang berlangsungnya Piala Dunia 2018 di Rusia.
Menilik pada data-data di atas dan kepentingan untuk tim nasional Indonesia, periode Maret-Oktober tampak jadi yang paling ideal untuk menggelar Liga 1 musim depan.
Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho