Eropa Inggris

Wayne Rooney, Alex Ferguson dan Cara Pulang yang Berbeda

Walaupun mencapai sukses sebagai pelatih di Manchester United, Sir Alex Ferguson tak akan pernah melupakan kota kelahirannya, Glasgow. “Kami berpeluang untuk bermain di final Liga Champions 2002 di Glasgow,” tulis Fergie di autobiografinya, Alex Ferguson, My Autobiography, “Itu sangat istimewa, (berkesempatan) bermain di kota tempat lahir saya melawan Real Madrid.”

“Kota tempat lahir saya”, tulis Ferguson. Ia tumbuh sebagai putra seorang asisten pembuat kapal di Govan, sebuah distrik kelas pekerja di barat daya kota terbesar di Skotalandia ini. Ibrox, kandang tim raksasa Rangers, terletak dekat dengan tempat tersebut

Saat masih bocah, Ferguson menonton final Piala Champions 1960 di Hampden Park, di mana Real Madrid mengalahkan Eintracht Frankfurt dengan skor telak, 7-3. “Hampden Park disesaki 128.000 orang waktu itu. Jaraknya tiga atau empat mil, tetapi setidaknya kami bisa naik bus,” tulis Fergie. “Ada beberapa orang yang lewat dengam mobilnya, lalu anak-anak menumpang mobil mereka dengan membayar ongkos enam pence per orang. Itulah cara lain untuk pergi dan kembali dari stadion.”

Ferguson tumbuh mendukung Rangers. Ia memulai kariernya bersama Queens Park, sebuah tim amatir yang bermarkas di Hampden Park, kandang tim nasional Skotlandia. Ia sempat keluar dari Glasgow untuk bermain dengan St. Johnstone dan Dunfermline, namun kembali ke kota itu setelah direkrut Rangers pada 1967. Kembali ia pergi untuk meniti karier kepelatihan, pertama di Aberdeen, lalu tim nasional Skotlandia, kemudian berlabuh dan menjadi kaisar hebat di Manchester United.

Ia bisa saja kembali ke Glasgow dan Hampden Park dengan menumpang mobil dengan enam pence seperti yang ia lakukan setengah abad silam. Tetapi ia tak hendak melakukannya sambil menyarung jas hitam berlogo dua singa simbol kota Manchester itu. Ia ingin datang terhormat membawa skuatnya sebagai seorang petarung.

“Saya merasa luar biasa karena saya berpeluang kembali ke Hampden Park (pada final Liga Champions Eropa 2002), bisa mengantar United ke lapangan yang keramat itu,” tulisnya.

Namun sejarah mencatat bahwa Ferguson tak pernah berhasil membawa Ruud van Nistelrooy dan kolega ke Glasgow dan bertarung di partai final, karena langkah mereka telah dimatikan oleh Bayer Leverkusen di semifinal dengan perbedaan setipis kulit: 3-3, dan tim Jerman itu unggul dengan keuntungan gol tandang. Leverkusen sendiri harus takluk atas Real Madrid di partai puncak.

Dan sampai ia selesai menjabat pelatih Setan Merah pada 2013 lalu, Ferguson tak mencapai mimpinya untuk menjulang tinggi Si Kuping Besar di rumput Ibrox maupun Celtic Park, stadion lain di Glasgow. Ia justru memenangi kompetisi paling bergengsi di benua biru itu buat kedua kalinya di Stadion Luzhniki di Moskow pada Mei 2008, ratusan kilometer jauhnya dari timur Glasgow.

Salah satu anggota pasukan Ferguson yang memenangkan Liga Champions di Luzhniki itu adalah Wayne Mark Rooney, sang nomor 10, kapten Manchester United. Seperti Ferguson, Rooney bukanlah seorang Mancunian, sebutan untuk orang Manchester asli. Ia berasal dari Liverpool, nun beberapa kilometer dari barat Manchester. Seperti Ferguson pula, ia memiliki hubungan yang runyam nan menarik dengan tempat kelahirannya.

Naiknya Rooney ke belantika sepak bola dunia dimulai dari lapangan-lapangan buram Copplehouse Boys dan Liverpool Schoolboys, dua tim yang diperkuatnya kala kecil. Tapi yang melambungkan namanya adalah Everton, salah satu dari dua tim di kota Liverpool.

Everton membina Rooney dari usia sembilan hingga delapan belas tahun. Rumput-rumput Goodison Park adalah saksi ketajaman seorang juru gedor muda yang digadang-gadang para suporter setia sebagai juru selamat kedua setelah era sang legenda, Dixie Dean.

Tapi takdir menentukan bahwa hubungan Rooney dengan Everton dan kota Liverpool tak berjalan seperti halnya Ferguson dengan Rangers dan kota Glasgow. Bila Ferguson berpatah hati karena tak dapat pulang ke Glasgow untuk membanggakan kampung halamannya, maka Rooney meninggalkan Liverpool untuk mematahkan hati kampung halamannya.

Rooney adalah orang yang mencetak delapan gol untuk mengantarkan tim junior Everton ke final FA Youth Cup dan menyibakkan kaus “once a Blue, always a Blue”, membuat ribuan Evertonians berharap Goodison Park akan kembali menyaingi jumlah banyaknya Anfield disambangi pawai piala.

Tapi ia juga orang yang sama yang meminta dijual pada Agustus 2004 meski Everton menawarkannya perpanjangan kontrak dan akhirnya dilego ke Manchester United dengan nilai transfer termahal untuk seorang bocah yang bahkan belum genap dua puluh tahun.

Ferguson, di satu sisi, tak pernah merupakan seorang pemain sepak bola yang benar-benar hebat. Ia mencoba menebus itu dengan berkarya di luar dan membanggakan mereka dengan piala-pialanya di tanah seberang perbatasan.

Di sisi lain, Rooney adalah tempat ribuan Merseysiders berbaju biru pernah bertaruh harapan, namun ia tak pernah merasa Goodison Park cukup besar untuk menampung ambisi-ambisinya dan ia memutuskan untuk berkarya di luar. Bila Ferguson tak pernah mampu meniti jembatan, Rooney memutuskan untuk membakarnya.

Rooney, menariknya, berusaha untuk kembali dan berekonsiliasi setelah dua kali mencium lambang United kala melawan The Toffees di Goodison Park. Sang kapten timnas Inggris yang mulai tersisih ini menegaskan bahwa Everton hanyalah satu-satunya tim yang akan dibelanya selain United; mengingatkan kita pada janji Lionel Messi dan Newell’s Old Boys, tim yang membesarkan La Pulga di Argentina.

Baju biru Everton kembali ia sarungkan pada Agustus 2015 untuk laga testimonial Duncan Ferguson. Dua bulan kemudian, ia kembali mencetak gol di Goodison. Tapi, tak seinci pun tubuhnya bergerak untuk merayakan.

Ferguson, mantan bosnya, tak pernah kembali ke Rangers setelah kariernya yang panjang di United. Tapi rakyat Glasgow, para pekerja galangan kapal, para penjaga pub, ayah dan anak yang bersorak di Ibrox, tetap menyanjungnya sebagai putra mereka kala menyaksikan tim United yang ia asuh berjaya di kancah domestik dan internasional. Ia memegang Freedom of the City of Glasgow, penghargaan tertinggi yang bisa diberikan kota itu padanya. Begitulah caranya ia pulang.

Masih perlu waktu yang panjang untuk menggapai kembali puja dan hormat yang pernah diletakkan penggemar Everton dan warga kota Liverpool pada pundak Rooney. Namun, dengan memakai kembali panji-panji tim masa kecilnya, ia telah berada di jalan yang benar. Seriuh apapun warna kisahnya, Rooney telah menakar sendiri caranya untuk pulang.

Kemarin malam (9/7), Wazza, panggilan hangat untuk Rooney, menepati janji rekonsiliasinya dahulu. Ia kembali pulang, berlabuh di kota Liverpool. Meninggalkan kotanya dahulu untuk menjelajah negeri guna meraih gelar dan gelimang popularitas, sang bocah 18 tahun telah resmi kembali secara utuh, jiwa dan raga, untuk Everton, sebagai seorang pria matang berusia 31 tahun.

Author: Ramzy Muliawan (@ramzymuliawan)
Penulis dan pembaca. Penikmat kopi hitam, punk rock dan Luca Toni.