Tahun 2017 ini menjadi milik timnas Jerman dan Inggris. Kedua negara tersebut menyabet gelar juara di turnamen-turnamen dalam berbagai kelompok umur. Jerman berhasil memenangi Piala Konfederasi 2017 dan juga menjadi juara Eropa di kelompok usia 21 tahun ke bawah. Sementara Inggris berhasil menjadi kampiun di Piala Dunia U-20 dan juga Toulon Tournament.
Kesuksesan kedua negara tersebut bukanlah berasal dari proses yang instan dan seketika. Ada perjalanan panjang yang dilalui sampai keduanya mencapai tingkatan saat ini. Khusus untuk Jerman, generasi terbaru sepak bola mereka sudah mengecap banyak kesuksesan. Tinggal Piala Eropa saja yang belum berhasil mereka raih. Seperti banyaknya sebuah kebangkitan. Semua bermula dari kejadian yang pedih dan tidak mengenakkan.
Berawal dari rasa malu yang luar biasa
Dalam buku Das Reboot : How German Football Reinvented Itself and Conquered karya Raphael Honigstein, dijelaskan bahwa momentum kebangkitan sepak bola Jerman terjadi setelah dua kegagalan besar. Yaitu tersingkir di fase grup Piala Eropa 2000 dengan status sebagai juru kunci dan kekalahan menyakitkan di final Piala Dunia 2002 kontra Brasil. Beberapa dari Anda mungkin sudah pernah membaca bukunya atau artikel terkait buku ini.
Kegagalan tersebut membuat Jerman terdorong untuk bangkit. Maka, rencana jangka panjang kemudian dibuat. Setahun setelah kalah di final Piala Dunia melawan Brasil di Korea-Jepang, federasi sepak bola Jerman, DFB, melalui presiden mereka saat itu, Gerhard Mayer-Vorfelder, kemudian memperkenalkan Das Talentfoerderprogram atau apabila yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Program Pengembangan Bakat. Meski begitu, sebenarnya cetak biru dari program ini sudah ada lebih dari dua hingga tiga dekade sebelumnya sebelum masuk milenium baru.
Nama program yang sederhana untuk impian yang luar biasa. Program ini tidak hanya soal menelurkan pemain-pemain berbakat saja. Jerman sadar betul bahwa pemain tidak akan lahir begitu saja tanpa pelatih yang bagus dan prasarana yang mumpuni.
Maka yang selanjutnya dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada para pelatih dan membangun sarana dan prasarana yang mumpuni. Setelah tahun 2003, banyak sekali pusat pelatihan yang dibangun di Jerman.
Sementara untuk Inggris, kegagalan demi kegagalan yang mereka alami sepertinya membuat mereka “sedikit” tersadar. Golden Generations yang nyatanya tidak mampu berbuat apa-apa di level internasional, gagal lolos ke Piala Eropa 2008 padahal berada di grup kualifikasi yang tidak begitu sulit hingga soal bakat-bakat yang sering padam sebelum bisa mekar.
Asosiasi sepak bola Inggris kemudian mengirimkan perwakilan mereka untuk belajar banyak hal dari DFB yang sejauh ini sudah sukses dengan program pembinaan usia muda mereka. Banyak hal yang kemudian didapat, yetapi yang pasti, upaya ini setidaknya menunjukkan Inggris bersedia menurunkan ego mereka sebagai negara pencipta sepak bola dan mau belajar kepada negara lain yang lebih sukses.
Hasilnya, pada tahun 2012, komplek pelatihan St. George Park National Football Center akhirnya resmi dibuka. Di sana bukan hanya menjadi komplek latihan bagi timnas Inggris, tetapi juga sebagai infrastruktur yang akan melahirkan pelatih, wasit, bahkan hingga pegawai yang bekerja di dunia sepak bola nantinya.
Bagaimana dengan hasilnya?
Superioritas Jerman saat ini di level internasional tentu menjadi bukti paling sahih bagaimana program pembinaan mereka berjalan lancar. Bagaimana mereka selalu berhasil minimal melaju ke semifinal Piala Dunia dalam empat edisi terakhir dan memenangkan satu dalam empat edisi terakhir pastinya menjadi pembuktian. Belum lagi bagaimana kualitas individu generasi pemain-pemain asal Jerman saat ini yang luar biasa.
Pun dengan pelatih. Banyak pelatih Jerman dengan kualitas baik bertebaran baik di Bundesliga maupun seluruh penjuru dunia. Karena untuk menciptakan pemain yang berkualitas, tentu dibutuhkan pelatih yang juga berkualitas. Roger Schmidt adalah salah satu dari sekian contoh dari program pengembangan bakat yang mulai diperkenalkan pada tahun 2003.
Roger Schmidt, salah satu pelatih berbakat asal Jerman, sebenarnya pada tahun 2007 lalu ia masih mendapati dirinya berkarier sebagai teknisi di bidang elektro. Namun setelah tahun 2011, ia mendapatkan lisensi setelah mengikuti kurus kepelatihan di pusat pelatihan milik DFB. Kariernya terus melesat sejak saat itu walau kini tengah menyeberang ke negeri Cina untuk melanjutkan karier jauh dari gemerlap bola Eropa.
Sementara Inggris, mungkin baru menikmati buah dari apa yang mereka kerjakan pada tahun 2017 ini. Meskipun masih di level junior atau usia muda saja, namun sepertinya, Inggris tengah bersiap menuju ke arah yang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Soal hasil, mungkin akan ada perbedaan besar antara Inggris dan Jerman.
Menurut mantan direktur olahraga Chelsea dan Tottenham, Frank Arnesen, uang masih menjadi permasalahan utama yang membuat pembinaan sepak bola di Inggris menjadi tersendat. Kesebelasan-kesebelasan level top masih senang membeli pemain yang sudah jadi ketimbang mengembangkannya. Atau jalan pintas lain, membeli pemain usia muda (yang kebanyakan dari luar Inggris) kemudian dikembangkan lagi.
Menjadi tidak efektif dan efisien karena terkadang harga pemain-pemain muda tersebut mahalnya bukan main. Bahkan bisa melewati harga pemain-pemain yang lebih senior. Karena sudah telanjur menjadi kebiasaan, maka muncul pemahaman umum bahwa pemain muda asal Inggris itu overrated.
Ini tidak begitu bagus karena dalam level tertentu, pemain muda Inggris memiliki gaji yang bahkan setara dengan pemain top di Liga Jerman. Sebagai perbandingan, gaji Luke Shaw yang setiap pekannya adalah 75 ribu paun hampir setara dengan gaji Jerome Boateng di angka 90 ribu euro. Padahal seperti yang kita tahu, Jerome Boateng sudah pernah meraih gelar juara dunia dan juga Liga Champions, dua gelar prestisius yang bahkan belum akan didapat Shaw dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara soal pelatih, segalanya menjadi lebih pelik. Biaya kursus lisensi pelatih di Inggris mahalnya bukan main. Anda mesti menyiapkan dana sekitar empat ribu paun untuk bisa memiliki lisensi A UEFA di Inggris. Atau apabila dirupiahkan, dananya sekitar 69 juta rupiah.
Ini termasuk harga yang cukup memberatkan karena di negara lain di Eropa, rata-rata hanya berkisar di angka dua ribu atau tiga ribu paun untuk bisa mendapatkan lisensi kepelatihan serupa seperti yang didapatkan dari Inggris.
Dengan latar belakang pengembangan yang berbeda, mungkin, hasil kedua negara dalam memetik prestasi akan sedikit berbeda. Sama seperti mendekati wanita, terkadang menggunakan sistem dan proses yang serupa, tapi tak semua mendapatkan hasil yang sama, bukan?
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia