Griaß eich, liebe Bundesliga-Fans!
Masih ingat, nggak, sama saya? Itu, lho, mahasiswi kece yang beberapa bulan lalu bercerita tentang pria ganteng bernama Kasperle…
Jangan kabur dulu, pembaca tercinta! Artikel ini bukan tentang Kasperle, melainkan tentang klub yang menyewa jasanya, FC Augsburg (FCA). Kata Kicker, pemain di skuat klub Swabia-Bavaria ini terlalu banyak. Saya setuju, karena jumlah 34 pemain di skuat tim itu justru angka yang lebih cocok untuk paduan suara daripada kesebelasan sepak bola. Kenapa saya tahu? Karena dulu saya ketua paduan suara di SMA saya…
Kembali ke laptop: mengapa klub menimbun pemain?
Mari kita tinjau alasan-alasan yang mungkin:
Kebugaran
Semakin banyak laga yang dihadapi sebuah tim, semakin mudah lelah pemain-pemainnya, maka, harus tersedia pemain cadangan dengan jumlah yang memadai. Apalagi kalau tim yang bersangkutan bermain di tiga kompetisi sekaligus, seperti Borussia Dortmund dan Bayern München, atau tim yang banyak dirundung cedera seperti Eintracht Frankfurt.
Kompetisi
Jika ada lebih dari satu pemain yang memperebutkan posisi tertentu, mereka akan terus berlatih untuk meningkatkan skill. Jelas memang karena kalau performanya kalah dari pesaingnya, mereka hanya bisa menonton dari bangku cadangan! Keuntungan lain dari menimbun pemain adalah dengan persaingan yang sehat, mereka tidak akan lengah dalam latihan, sehingga prestasi tim akan lebih baik.
Bagaimana dengan FC Augsburg?
Seperti yang Anda tahu, Augsburg tak lagi bermain di Liga Europa musim depan. Klub yang bermarkas di Schwabenstadion ini bahkan tak lolos putaran kedua DFB-Pokal musim lalu. Jadi, harusnya nggak perlu banyak-banyak merotasi pemain, ya? Secara, mereka hanya berlaga di Bundesliga musim depan.
Tetapi, berdasarkan tabel cedera pemain yang dikumpulkan fussballverletzungen musim 2016/2017 lalu, seorang pemain Augsburg rata-rata menghabiskan waktu 66,62 hari untuk pulih dari cedera.
Parahnya, pada musim tersebut, Augsburg tidak menggunakan surplus pemainnya dengan optimal. Moritz Leitner, misalnya, mantan penggawa FCA yang didatangkan dari Lazio pada jeda musim dingin lalu, jarang dipercaya Manuel Baum untuk masuk ke skuat die Rot-Grün-Weißen.
Untungnya, manajemen Augsburg tak mau tinggal diam. Kesebalasan yang dikapteni Paul Verhaegh ini akan menjual Dominik HardKohr ke Bayer Leverkusen, Albian Aljeti ke St. Gallen, Marco Schuster ke Waldhof Mannheim, Halil Altintop ke Slavia Praha, Tim Matavz ke Vitesse dan mengirim Markus Feulner ke FC Augsburg II. Selain itu, Kicker melaporkan bahwa Shawn Parker dan Daniel Opare juga akan dijual.
Apakah ini start baru untuk Augsburg? Sayangnya bukan! Sejauh ini di bursa transfer musim panas, mereka sudah mendatangkan lima pemain baru: kiper Fabian Giefer (FC Schalke 04), gelandang bertahan Rani Khedira (RB Leipzig), pemain sayap Marcel Heller (SV Darmstadt 98) dan dua penyerang dari tim cadangan, Julian Guenther-Schmidt dan Marco Richter.
Memang, Augsburg butuh banyak gol untuk bertahan di Bundesliga, tapi gimana, ya? Dengan datangnya Heller dan pulangnya loanee, Erik Thommy, dari Jahn Regensburg, lini depan FCA jadi berat sebelah di sayap kiri. Di antara tiang gawang pun begitu, meski Augsburg sudah memiliki dua kiper yang cukup berpengalaman, mereka justru mengakuisisi Giefer, kiper ‘buangan’ Schalke.
Masalah yang kedua, semua pemain yang dipromosikan dari FCA II (tim kedua Augsburg), seperti Marco Schuster, Rafael Framberger, Marvin Friedrich dan (lagi-lagi) Ioannis Gelios sangat jarang dimainkan ketika fit. Dan ujungnya, mereka diturunkan lagi ke reserve team. Kasihan, kan?
Sebenarnya apa maumu, Augsburg? Nggak salah sih menimbun pemain, tapi ruginya di kamu juga. Belum lagi masalah kebahagiaan pemain itu sendiri. Mereka juga manusia, lho. Tapi kalau kamu mau berubah jadi paduan suara, ya, teruslah berbelanja, Augsburg! Kenapa tidak? Bernyanyi itu menyenangkan, lho! Pikirkan baik-baik, Augsburg! The choice is yours!
Dan untuk para pembaca yang saya cintai, pfiat eich und servus!
Author: Alicia Altamira (@freibulous)
Pecinta SC Freiburg yang hobi mengantar pembaca ke neraka klub antah berantah dengan filosofi ‘Fußball meets fun’.