Kolom

Fabien Barthez, dari Lapangan Hijau ke Sirkuit Balap

Sebelum dunia mengenal Manuel Neuer atau Marc-Andre ter Stegen sebagai sweeper-keeper, ada nama Fabien Barthez. Nama terakhir terkenal ikonik bukan hanya penampilannya yang gampang diingat dengan kepala plontosnya, melainkan juga karena aksi-aksi uniknya di lapangan.

Bagi mereka yang menyaksikan kegemilangan tim nasional Prancis yang menjuarai Piala Dunia 1998, pasti ada satu momen unik yang tak terlupakan. Ritual kepala plontos Barthez dicium oleh rekan setimnya, Laurent Blanc, cukup ikonik dan memberi warna tersendiri kompetisi tersebut.

Entah ada pengaruh secara psikologis atau tidak, Barthez tampil gemilang mengawal gawang Les Blues di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Dua turnamen itu menjadi ajang yang mengukir nama kiper plontos ini sebagai legenda sepak bola Prancis.

Barthez dikenal atas keberaniannya keluar dari kotak penalti untuk mengkonfrontasi langsung pemain lawan yang berusaha mencetak gol. Namun, karena dulu gaya sweeper-keeper belum terlalu lazim, banyak kalangan yang menganggap aksi-aksi Barthez ini hanya bagian dari keeksentrikannya saja.

Lahir di Lavelanet, Prancis, pada 28 Juni 1971, Barthez mengawali karier di Toulouse sebelum hijrah ke klub raksasa Ligue 1 Prancis, Olympique de Marseille. Dalam usia cukup muda, yaitu 22 tahun, ia sukses mengawal Marseille memenangi trofi antarklub paling bergengsi di Eropa, yaitu Liga Champions.

Barthez sukses menjaga gawangnya tak kebobolan dalam final yang berakhir 1-0 untuk kemenangan Marseille atas AC Milan. Hingga kini, prestasi tersebut belum bisa disamai oleh klub-klub Ligue 1 lain.

Malang, Marseille dihukum turun divisi pada tahun 1994 akibat kasus pengaturan skor. Barthez akhirnya memutuskan pindah ke AS Monaco pada tahun 1995. Di klub wilayah French Riviera tersebut, ia bertahan lima tahun dan memenagi dua gelar juara Ligue 1 pada musim 19961997 dan 1999/2000. Selama berkarier di Monaco juga, ia menikmati tahun-tahun tersuksesnya di tim nasional Prancis.

Barthez lalu bereuni dengan Blanc di Liga Premier Inggris bersama Manchester United. Ritual mencium kepala botak pun berlanjut di klub tersebut dan terbukti manjur dengan menghasilkan dua gelar juara Liga Inggirs pada tahun 2001 dan 2003. Namun, di Manchester United jugalah karier Barthez mulai diwarnai berbagai aksi eksentrik yang cenderung kontroversial.

Beberapa kali, Barthez terlibat perdebatan dengan wasit jika terkena hukuman penalti. Uniknya, ia sukses menghalau beberapa penalti yang lebih dulu diawali protesnya, seperti penalti Muzzy Izzet pada tahun 2001 dan Steed Malbranque pada tahun 2002. Sayang, penampilan gemilangnya tidak terjaga karena ia sering menderita kebobolan di beberapa pertandingan penting, seperti ketika Red Devils kalah 2-3 dari Deportivo La Coruna di Liga Champions 2000/2001 atau ketika disingkirkan Real Madrid di ajang yang sama pada musim 2002/2003.

Setelah posisinya diambil alih Roy Carroll dan Tim Howard, Barthez pun memutuskan untuk pulang ke Prancis guna bergabung kembali dengan Marseille. Ia menutup kariernya pada usia 35 tahun, tapi kemudian sempat bermain kembali bersama Nantes di musim 2006/2007, sebelum akhirnya benar-benar gantung sepatu.

Uniknya, Barthez terkenal juga dengan kariernya di cabang olahraga lain selepas pensiun dari lapangan hijau. Pada awal dekade 2010-an, ia serius menekuni ajang balap mobil. Lebih hebat lagi, Barthez sukses menjadi juara French GT 2013, ajang yang juga diikuti mantan juara dunia F1, Jacques Villeneuve. Di ajang European Le Mans Series, ia juga sukses keluar sebagai juara sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2014, 2016 dan 2017.

Suksesnya Barthez di dua ajang olahraga ini mungkin bisa menjadi inspirasi bagi pemain-pemain sepak bola lainnya dalam membangun karier seusai gantung sepatu.

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.