Tepat di hari ini, 31 tahun yang lalu, gol kontroversial yang mendunia itu lahir. Saya tidak perlu panjang lebar menceritakan proses gol Maradona di Piala Dunia 1986 ini, atau menampilkan video gol tersebut di artikel, karena saya yakin Anda semua pasti telah menyaksikannya. Salah satu gol yang akan dikenang sepanjang masa.
Gol yang diberi nama “Tangan Tuhan” itu seakan-akan mencoreng sportivitas yang dijunjung tinggi di olahraga terpopuler di seluruh dunia ini. Larangan penggunaan tangan adalah salah satu aturan utama di sepak bola, bahkan kiper saja hanya boleh menggunakan tangannya di area kotak penalti. Namun, Maradona tanpa rasa bersalah melakukan pelanggaran itu dan berujung gol.
Bahkan ketika diwawancarai seusai pertandingan, ia dengan bangga berujar bahwa gol itu dicetaknya dengan kepala dan sedikit dibantu oleh tangan Tuhan. Sejak itu terciptalah frase Gol Tangan Tuhan yang sempat ditiru oleh Lionel Messi dan baru-baru ini juga dilakukan oleh penyerang Arema FC, Cristian Gonzales.
***
Saya termasuk orang yang kurang setuju dengan beragam teknologi yang mulai digunakan di permainan sebelas melawan sebelas ini. Menurut saya, penggunaan teknologi di sepak bola mengurangi orisinalitas permainan itu sendiri. Hadirnya teknologi di sepak bola membuat permainan ini terasa kaku. Terlalu banyak tahap yang harus dilalui untuk menentukan ini gol atau tidak, offside atau tidak, kartu merah atau tidak.
Kehadiran teknologi di pertandingan memang memiliki tujuan mulia, demi terciptanya keadilan di lapangan. Beragam inovasi telah dilakukan FIFA mulai dari penggunaan goal line technology hingga video assistant referee (VAR) yang sedang dicoba di Piala Konfederasi 2017 ini.
Baca juga: Seperti Cinta, Teknologi VAR Juga Butuh Waktu
Akan tetapi, bukankah sebuah pertandingan akan lebih seru jika dibumbui dengan beragam kontroversi di dalamnya? Bukankah nantinya kita dapat menikmati cerita-cerita di luar lapangan yang tersaji berkat adanya kontroversi di pertandingan itu?
Gol Tangan Tuhan Maradona salah satu contohnya. Mari berandai-andai jika para manusia di tahun 1986 sudah memiliki teknologi secanggih sekarang. Teknologi VAR akan digunakan, tayangan lambat nan mulus tersaji di televisi, lalu para penonton di stadion berama-ramai membuka gawai mereka, mengakses segala macam konten tentang gol tersebut dan (kemungkinan besar) menyiuli atau meneriaki Maradona akibat tindakan tak sportifnya itu.
Apa yang akan terjadi kemudian bisa saja berbeda dengan jalan cerita saat itu. Mengutip sebuah kalimat dari salah satu episode serial televisi The Flash, setiap kejadian yang kita alami pasti memiliki alternatif dan tiap alternatif tersebut dapat berujung pada dampak yang berbeda-beda.
Gol Tangan Tuhan Maradona di pertandingan itu adalah gol pembuka. Memecah kebuntuan di laga seketat Piala Dunia sangat penting, karena dapat meningkatkan moral seluruh anggota tim. Apalagi itu merupakan laga di fase gugur. Tak ada alasan untuk kalah karena kalah berarti tersingkir. Gol harus dicetak dan kemenangan harus diraih agar dapat melaju ke babak selanjutnya.
Usai gol disahkan, mental pemain Inggris terlihat drop, sebaliknya para penggawa tim Tango semakin gencar melakukan serangan. Hasilnya, empat menit kemudian Maradona membuat mahakarya lain. Aksi solo run dari tengah lapangan melewati hampir semua pemain Inggris termasuk kiper.
Jika saja peristiwa itu terjadi pada 22 Juni 2017, jalan ceritanya mungkin berbeda. Melakukan aksi solo run seperti yang dilakukan Maradona membutuhkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Saya tidak yakin Maradona dapat beraksi seperti itu jika Gol Tangan Tuhannya dianulir, karena El Pibe de Oro sedang dikerumuni oleh berbagai macam hujatan dan siulan, serta kekecewaan akibat gol yang tidak disahkan wasit.
Berkaca pada situasi Maradona itu, sangat disayangkan apabila teknologi yang seharusya menjadi jawaban atas ketidakadilan di lapangan justru menjadi penyebab kegagalan sebuah mahakarya.
Gol Maradona di menit ke-51 itu juga melahirkan secuil kisah menarik tentang sang hakim garis, Bogdan Dochev. Ia dianggap lalai menjalankan tugasnya, sehingga tidak dapat memberi jawaban pasti pada wasit Ali bin Nasser yang menghampirinya untuk menanyakan apakah Maradona menggunakan tangannya atau tidak.
Seketika para suporter Inggris pun marah. Dochev dan Nasser menjadi bulan-bulanan para pendukung The Three Lions. Dochev bahkan sempat berkata “Diego Maradona telah menghancurkan karier saya”, beberapa tahun setelah gol kontroversial itu.
Hingga akhirnya waktu itu tiba. 2 Juni 2017 lalu, Dochev memenuhi panggilan Tuhan di usia 80 tahun. Dunia sepak bola berkabung, salah satu pengadil lapangan terbaik dan saksi hidup di pertandingan legendaris itu telah tiada. Namun apakah nama Dochev tetap mengapung jika ia dibekali teknologi canggih dan menganulir gol Maradona itu? Kemungkinan tidak.
Salah satu tabiat buruk yang tertanam dalam diri manusia adalah gemar mencari-cari kesalahan orang lain. Apa yang telah dilakukan Dochev saat itu jelas menjadi salah satu sebab utama mengapa namanya menjadi tenar. Lalu bagaimana jika ia mengangkat bendera menandakan bahwa Maradona melakukan handball?
Saya sangat yakin nama Dochev tidak akan sampai di telinga kita, para penikmat sepak bola masa kini. Berita kematian Dochev mungkin hanya tersebar di kalangan tertentu. Tak akan ada apresiasi berlebih atau berita-berita tentang kepahlawanan dirinya, karena itu memang sudah tugasnya untuk mengangkat bendera pertanda pelanggaran.
Gol Tangan Tuhan Maradona telah terbukti dapat menguak berbagai kisah menarik di kemudian hari. Sesuatu yang bisa saja urung terjadi apabila saat itu teknologi mengambil alih keputusan wasit.
Namun saya tekankan sekali lagi bahwa saya kurang setuju dengan adanya teknologi pertandingan, bukan tidak setuju sama sekali, ya. Saya juga hanya mengungkapkan unek-unek ini untuk mengungkapkan rasa rindu saya pada sepak bola zaman dahulu, yang penuh dengan kisah menarik akibat keterbatasan kemampuan manusia dan teknologi yang tak ikut campur di dalamnya.
Akhir kata, seperti yang sudah saya tuliskan di judul, saya berharap agar sepak bola dapat menjauh dari teknologi pertandingan. Tapi, kalaupun sepak bola harus tunduk dengan teknologi dan perkembangan zaman, sudah sebaiknya ia tak membuat olahraga ini menjadi minim cerita untuk dikemas dan dibawa pulang penonton ke rumah dengan opini mereka masing-masing.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.