Masih ingat dengan foto tersebut? Tepatnya tanggal 13 Juni, tiga tahun lalu, foto ini diambil oleh seorang fotografer bernama Jeff Gross. Foto tersebut diambil saat Belanda berhasil mengalahkan Spanyol dengan skor mencolok 5-1 pada Piala Dunia 2014.
Beberapa saat kemudian, foto tersebut dan foto-foto sejenis lainnya mewarnai lini masa media sosial. Paginya, foto-foto tersebut dengan mudah dijumpai di segala macam surat kabar.
Foto ini memang ikonik. Momen yang diambil benar-benar tepat saat Robin van Persie melayang di udara sebelum ia melambungkan bola di atas Iker Casillas yang pada akhirnya menjadi salah satu gol terbaik dalam catatan sejarah. Namun, bagi orang yang hanya melihat foto ini tanpa melihat pertandingan secara keseluruhan (atau melihat cuplikan pertandingan), hanya itu yang mereka ketahui. Tidak lebih.
Mereka tidak mengetahui bahwa sebelum gol ini terjadi, Daley Blind dengan jeli mengirim umpan ke ruang kosong di depan si pencetak gol. Bahkan yang mereka ketahui mungkin ini adalah gol kemenangan padahal gol ini adalah penyeimbang setelah Xabi Alonso mencetak gol lebih dulu ke gawang Belanda.
Satu lagi foto yang menarik pada pertandingan ini, ketika van Persie merayakan golnya dengan melakukan “tos” bersama pelatih Belanda saat itu, Louis van Gaal. Jelas foto tersebut menggambarkan kegembiraan keduanya dalam merayakan gol. Namun, apakah foto tersebut menggambarkan kegembiraan lain karena mereka akan reuni kembali di Manchester United musim berikutnya? Tidak.
Begitulah cara kerja sebuah foto. Foto hanya mengabadikan satu titik dari garis waktu. Menurut John Berger dalam esainya “Understanding a Photograph”, “Saya memutuskan kejadian tersebut layak untuk difoto.” Dan masih menurutnya lagi, “(Foto) itu mengisolasi, melindungi dan menyajikan sebuah momen dari sebuah rangkaian (dengan momen lain).”
Sepak bola terdiri dari ribuan momen dalam 90 menit. Momen tersebut saling terkait dan memengaruhi satu sama lain. Tidak ada satu momen yang dapat berdiri sendiri. Momen Mario Götze mencetak gol ke gawang Argentina tidak dapat dipisahkan dengan momen tabrakan Christoph Kramer dengan Ezequiel Garay. Mengapa? Karena tabrakan itu membuat Kramer gegar otak ringan yang kemudian digantikan oleh Andre Schurrle dan 82 menit kemudian, Schurrle memberikan asis kepada Götze.
Setali tiga uang dengan hal tersebut, David Winner dalam buku Brilliant Orange: The Neurotic Genius of Dutch Football, menuliskan, “Ini (sepak bola) seperti catur. Ketika surat kabar melaporkan sebuah permainan catur, mereka tidak menunjukkan langkah terakhir. Mereka menunjukkan kepada pembaca sepuluh posisi sebelum posisi akhir karena itulah situasi yang paling dramatis. Lini tengah (dalam sepak bola) seringkali lebih dramatis dibanding area penalti. Saat gol yang terjadi tidak terlalu menarik. Apa yang terjadi tepat sebelum gol: itu jauh lebih menarik.”
Jika foto yang hanya bisa menangkap satu momen saja tidak cukup untuk menggambarkan sebuah permaninan sepak bola, lalu bagaimana dengan video? Video memang lebih baik, namun hanya sedikit lebih baik. Instant replay yang biasa ditayangkan di televisi biasanya hanya menunjukkan asis dan tembakan terakhir. Maksimal hanya menyajikan dua sampai tiga umpan sebelum gol.
Atau kembali ke gol “The Flying Dutchman”, apakah instant replay memberi tahu Anda bahwa saat Blind memberikan umpan, Robben berlari untuk menyingkirkan Gerard Pique dan membuka ruang bagi van Persie?
Bahkan untuk sebuah gol solo run, tayangan ulang hanya menyorot pembawa bola yang berlari melewati satu, dua, tiga, atau lebih pemain belakang sebelum menceploskannnya ke gawang lawan. Ingat gol solo run Lionel Messi ke gawang Athletic Bilbao? Jika Anda hanya melihat instant replay gol penyerang Argentina tersebut, apakah Anda tahu jika Luis Suarez melakukan dummy run di kotak penalti Bilbao yang cukup membingungkan?
Jika sebuah foto dan video instant replay tidak cukup, bagaimana dengan siaran pertandingan secara keseluruhan selama 90 menit? Tidak jauh beda. Siaran sepak bola saat ini sebagian besar berfokus pada individualitas masing-masing pemain. Penonton dijejali tayangan yang secara konstan hanya fokus pada individu pemain yang membawa bola. Seolah-olah si pembawa bola adalah satu-satunya bintang yang layak disorot pada satu momen dan pemain lain hanyalah figuran.
Sebagian besar foto, instant replay, dan siaran televisi, mengajak kita untuk merasakan kegembiraan, kesakitan, penderitaan, frustrasi, dan kekecewaan satu individu saja. Pada tayangan itulah kita kehilangan kolektivitas sebuah tim yang bermain. Padahal, kolektivitas tersebut adalah satu-satunya hal yang menjelaskan bagaimana kerja Juego de Posicion-nya Pep Guardiola, seberapa rapinya pertahanan ala Antonio Conte atau bagaimana tim asuhan Mauricio Pochettino melakukan counterpress.
Melalui media-media tersebut, kita hanya diperlihatkan kulitnya saja tanpa disajikan isi dari sari sepak bola itu sendiri yang merupakan permainan kolektif dari sebuah tim. Agaknya, orang-orang yang berkecimpung dalam dunia televisi mulai menyadari hal ini. Jika sedang beruntung, terkadang kita dapat tayangan dari sudut pandang kamera yang tinggi di belakang gawang sehingga dapat memperlihatkan seluruh gerak-gerik pemain di atas lapangan hijau seperti pada video ini:
Kita patut berterima kasih kepada mereka yang bersedia menyajikan sudut pandang tersebut karena seperti itulah seharusnya kita melihat permainan sepak bola. Namun, apakah sebuah stasiun televisi mau menyiarkan pertandingan seperti itu selama 90 menit? Tentu saja tidak.
Jadi untuk memahami lebih dari sekadar kulit sepak bola terpaksalah kita kembali melakukan apa yang dilakukan kakek kita untuk menikmati sepak bola, yaitu datang ke stadion.
Author: Andhika Gilang (@AndhikaGila_ng)
Mahasiswa yang ngampus di tribun stadion