Dunia Asia

Pemecatan Stielike, Bukti Kejamnya Sepak Bola Asia untuk Pelatih

Gsus Hiddink (kanan) saat melatih timnas Korea Selatan (2001).

Tak semua dipecat

Peruntungan berubah saat Guus Hiddink menangani Negeri Ginseng sejak awal tahun baru 2001. Diberi tugas berat, pelatih asal Belanda itu sukses memenuhinya. Sayangnya, singkatnya durasi masa kepelatihan di tim Asia juga terkadang ditentukan oleh kemauan sang juru taktik itu sendiri.

Pada Piala Dunia 2002 yang digelar di negara sendiri, Korea Selatan sukses lolos ke semifinal atau prestasi terbesar sepanjang sejarah sepak bola di sana. Keberhasilan ini membuat Hiddink dipuja seantero negeri dari tiket gratis seumur hidup ke Korea sampai diabadikan jadi nama stadion. Kendati demikian hal itu tak jaminan untuk tetap bertahan. Usai turnamen, Hiddink memilih keluar.

Kembali ke Timur Tengah, Irak yang sukses jadi juara Piala Asia 2007 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Indonesia, termasuk yang harus rela ditinggal pelatih saat sedang masa kejayaannya. Pelatih asal Brasil, Jorvan Vieira, memilih angkat koper dari Irak setelah merasa tak nyaman dengan sistem di federasi.

Pengecualian terjadi di Jepang, di mana pelatih punya waktu lebih lama ketimbang negara lainnya. Philippe Troussier jadi pelatih selama empat tahun setelah bawa Samurai Biru juara Piala Asia 2000. Dia lengser setelah Piala Dunia 2002 di negara tersebut. Nasib serupa dialami Zico yang melatih pada periode 2002-2006.

Jepang sempat mengalami sindrom pemecatan pelatih pada durasi singkat, lewat Ivica Osim dan Javier Aguirre. Kini Vahid Halilhodzic yang melatih sejak 2015 diharapkan bisa bertahan setidaknya seperti Alberto Zaccheroni, Troussier, atau Zico, yakni selama empat tahun. Namun, ketiganya juga dihadapkan pada nasib sama: Angkat koper setelah menangani Samurai Biru di tiga edisi beruntun Piala Dunia.

Dick Advocaat
Dick Advocaat, pelatih tim nasional Belanda.

Momok Piala Dunia

Sejak Piala Dunia 1998 di Prancis, Asia selalu diwakilkan oleh empat tim. Ironisnya dalam lima edisi beruntun hingga Brasil 2014, hanya tiga pelatih yang mampu bertahan usai turnamen dihelat. Bahkan pada tahun 1998, dua tim melakukan penggantian pelatih saat turnamen berlangsung, Parreira di Arab Saudi dan Cha Bum-kun pada Korea Selatan.

Berdasarkan statistik tersebut, itu artinya ada 17 pelatih tim Asia yang antara lain dipecat atau meninggalkan posnya, setelah berlangsungnya Piala Dunia. Dari deretan nama tersebut, banyak sosok besar. Selain Hiddink, Troussier dan Zico, ada Bora Milutinovic, Pim Verbeek, hingga pelatih timnas Belanda saat ini, Dick Advocaat.

Tiga pelatih yang sukses bertahan adalah Marcos Paqueta, Ange Postecoglu, dan Carlos Queiroz. Dua nama terakhir tercatat masih mengisi posnya masing-masing sebagai pelatih Australia dan Iran. Sementara Paqueta hanya bertahan setahun setelah gelaran Piala Dunia 2006 di Jerman.

Tak hanya di negara-negara top Asia saja, Indonesia juga termasuk yang sering melakukan gonta-ganti pelatih, yang diiringi drama. Sejak dua dekade silam, hanya Peter Withe yang mampu bertahan kurang lebih tiga tahun. Sindrom usai turnamen juga acap terjadi, di mana Alfred Riedl sudah tiga kali meletakkan jabatannya setelah menangani skuat Garuda di Piala AFF 2010, 2014 dan 2016.

Mengutip artikel John Deurden di ESPN, tim nasional sepak bola di Asia mesti memberikan lebih banyak waktu untuk pelatih agar bisa membangun tim dan meraih kesuksesan. Selain itu mentalitas juga mesti dipupuk, jangan targetnya hanya asal tidak kalah setiap tampil pada ajang sebesar Piala Dunia. Jika bisa mengelolanya dengan baik, Asia bisa jadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan di jagat sepak bola.

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho