Kolom

Pemenang Indonesia Melawan Puerto Riko adalah Masyarakat Sleman

TImnas Indonesia
Marinus Maryanto Wanewar, bomber asal Persipura. Kredit: PSSI

Tembok budaya

Inilah masalah dasar bagi Luis Milla. Pelatih asal Spanyol tersebut didatangkan dengan harapan yang tinggi. Salah satunya adalah memperbaiki cara bermain timnas. Namun, memperbaiki cara bermain, bukan hanya mengubah skema atau susunan pemain. Mantan pelatih Spanyol U-21 tersebut harus berbenturan langsung dengan budaya sepak bola Indonesia.

Sepak bola Indonesia adalah sepak bola serampangan. Menggiring bola, melewati tiga pemain dan mendapatkan tepuk tangan meriah dari penonton. Meski aksi tersebut tak ada faedahnya terhadap pertandingan.

Sama seperti ketika Febri Haryadi bermain di babak kedua. Pemain muda Persib Bandung tersebut punya teknik menggiring yang begitu baik. Namun ia terlalu boros menggocek bola dan tak bisa menemukan timing yang tepat untuk mengumpan.

Kreativitas sangat penting dalam sepak bola. Namun, berkah dari Tuhan tersebut hendaknya dibingkai dalam sebuah kerangka sistem yang dipahami betul-betul. Analis sepak bola boleh menyebutnya positional play.

Atau kita sederhana begini saja: Lionel Messi baru akan menggocek bola, melewati lawan ketika sudah berada di sepertiga akhir lapangan. Dan ia melakukannya bukan semata-mata “melewati”. Namun, Messi banyak menggiring bola untuk menarik lawan, sehingga kawan bisa bebas. Intinya adalah semua aksi dalam sepak bola punya tujuan.

Dan untuk sampai pada tahap itu, Luis Milla dan Indonesia harus melewati masa-masa yang tak sebentar. Jangka panjang memang sudah keharusan. Namun apakah PSSI punya kesabaran membangun pondasi masa depan sepak bola kita?

Malamnya Sleman

Pertandingan uji tanding berakhir dengan skor 0-0. Indonesia tak menunjukkan penampilan yang memuaskan. Meski mengaku kecewa karena gagal menang, Luis Milla menyempatkan memuji timnya yang mampu menghasilkan banyak peluang.

Jika Milla kecewa, nampaknya masyarakat Sleman dan juga Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya, tak memandang pertandingan tersebut dengan kekecewaan.

Sepanjang pertandingan, nyanyian penyemangat nyaris selalu terdengar. Bergemuruh, para suporter membaur dalam warna merah seragam Indonesia. Tak lagi mengkotak-kotakkan diri dalam sekat Hijau, Biru dan Merah. Maguwoharjo menjadi arena bela negara, menyatukan perbedaan dan menyingkirkan permusuhan.

Alangkah indahnya jika kehangatan malam itu selalu digemakan demi menyingkirkan rasa benci dari asyiknya menyaksikan sepak bola secara langsung.

Selepas pertandingan, ketika para pemain sudah hendak masuk ke lorong, para suporter masih terus bernyanyi. Seorang laki-laki di tribun sebelah kiri saya bernyanyi dengan suara yang bulat, lagi lantang.

Ia mendendangkan “I can’t help falling in love with you” dari Elvis Presley, bersama-sama ribuan suporter lainnya.

Di dalam stadion, di tengah nuansa lengas, kita jatuh cinta, berkali-kali, dengan sepak bola. Malam itu, masyarakat Sleman unggul satu gol. Indonesia dan Puerto Riko, nol.

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen