Saya berkonsentrasi lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum mengambil tendangan bebas itu. tendangan yang saya lepaskan akhirnya sukses membobol gawang Probolinggo United. Tim saya, Persebaya, akhirnya sukses keluar sebagai juara Piala Kapolresta Probolinggo.
Meskipun turnamen yang diadakan pada bulan April 2016 tersebut bersifat tidak resmi, gelar juara itu bermakna banyak bagi saya. Makna yang pertama karena saya masih bisa membuktikan diri di usia saya yang sudah menginjak 38 tahun. Sedangkan makna yang kedua karena selebrasi menjadi juara Piala Kapolresta Probolinggo menjadi déjà vu saya menjuarai Liga Indonesia 2004 bersama klub yang sama.
Ingatan saya pun melayang di pertandingan terakhir Persebaya menghadapi Persija pada Liga Indonesia tahun 2004. Kami harus memenangi pertandingan di Stadion Tambaksari untuk menjadi juara. Gol-gol yang dicetak Danilo Fernando dan Luciano de Souza membuat kami unggul 2-1 sekaligus memastikan gelar juara terbang ke Surabaya.
Sebagai pemain profesional, saya meyakini kompetisi apa pun harus saya juarai, baik itu kompetisi resmi maupun berstatus tak resmi. Saya punya prinsip bahwa yang terpenting adalah kerja keras. Di Liga Indonesia 2004, 18 gol saya berkontribusi terhadap gelar juara Persebaya. Dua belas tahun kemudian, gol saya kembali membuat Persebaya juara meski hanya di turnamen amatir. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah kerja keras dan bermain dengan hati.
Kerja keras menjadi kata kunci saya sejak pertama kali berkarier di sepak bola Indonesia bersama Persim Maros. Meski baru pertama kali merumput di negeri ini, saya langsung sukses mencetak 24 gol untuk Persim di Divisi Satu tahun 2003 dan keluar sebagai pencetak gol terbanyak.
Saya bangga menjadi bagian Persim Maros saat itu. Kami memiliki mimpi besar untuk menembus divisi utama di Liga Indonesia. Talenta-talenta di tim kami juga berlimpah. Selain saya, ada Irsyad Aras, Asri Akbar, dan pemain asing berpengalaman, Oum Luc Junior. Sayang, kami gagal melaju ke divisi utama.
Akhirnya setelah Persim, nasib membawa saya ke Persebaya, tempat saya memperoleh kebahagiaan dengan merasakan gelar juara. Lalu, pada tahun 2005 saya memperkuat PSMS. Di PSMS, saya kembali merasakan gelar juara, meski kali ini turnamen tidak resmi yaitu Piala Emas Bang Yos. Di hadapan puluhan ribu penonton yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno, saya keluar sebagai pemain terbaik sekaligus pencetak gol terbanyak.
Pada tahun 2005 itu juga, media-media mulai membahas selebrasi saya yang mereka anggap unik. Ya, saya selalu mengenakan topeng Spiderman untuk merayakan gol. Bagi saya pribadi, Spiderman merupakan sebuah simbol. Spiderman adalah sosok sederhana tapi senang menolong sesama. Bandingkan dengan Batman yang sudah kaya dan punya mobil bagus. Spiderman tidak, ia harus bekerja keras dulu untuk melatih kekuatan supernya.
Jika melihat lagi ke belakang, saya menyadari betapa panjangnya pengalaman saya bermain di Indonesia. Empat belas tahun sudah saya meninggalkan negeri saya tercinta, Cile, untuk membangun reputasi di Asia Tenggara. Meski sempat mencicipi Liga Thailand sebentar, saya sadar bahwa rezeki saya memang di Indonesia.
Saya menganggap penting semua klub yang pernah saya bela, semua punya makna berarti untuk karier saya. Setelah PSMS, saya menjelajah ke timur Indonesia untuk memperkuat Persipura, PSM Makassar dan Persma Manado. Semua pengalaman itu membuat saya sadar betapa luasnya negeri yang indah ini dan betapa besarnya potensi sepak bola lokal Indonesia.
Namun, klub yang paling lama saya bela memang Persita Tangerang. Klub yang dulu sempat besar ini, terdampar di divisi bawah ketika saya bergabung pada tahun 2010. Betapa bahagianya saya ketika sukses mengantar Persita kembali ke Indonesia Super League musim 2011/2012. Saya sangat terharu ketika masih bisa terpilih menjadi pemain terbaik Divisi Utama padahal usia saya saat itu sudah 35 tahun. Para pendukung Persita juga menyebut saya legenda. Itu salah satu momen terbaik dalam hidup saya.
Lima tahun saya habiskan bersama Persita, termasuk ikut latihan selama beberapa bulan meskipun tak terdaftar menjadi bagian tim pada tahun 2016. Saya sedih melihat kompetisi sepak bola Indonesia sempat terhenti selama hampir dua tahun sehingga negara ini menderita sanksi FIFA.
Akhirnya saya mencoba beberapa hal yang baru, seperti tampil di beberapa acara hiburan televisi seperti Opera Van Java (OVJ) dan menjadi komentator siaran sepak bola. Untung, saya fasih berbahasa Indonesia, sehingga rezeki tetap bisa mengalir dari luar lapangan.
Saya sadar, fisik saya di usia menjelang 39 tahun ini sudah sangat menurun. Namun, di lain pihak, saya juga yakin bahwa masih banyak rakyat Indonesia perlu dihibur oleh sepak bola. Indonesia sudah menjadi rumah kedua saya. Masyarakatnya sangat baik dan suka menolong sesama. Makanya, saya masih ingin membahagiakan mereka.
Oleh sebab itu, saya tidak akan pergi jauh-jauh. Cristian Carrasco masih akan berkiprah di turnamen-turnamen tak resmi atau kompetisi kelas tarkam. Persiapkan diri Anda, karena selebrasi Spiderman masih akan sering terlihat selama beberapa waktu ke depan!
(Disadur dari berbagai sumber)
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.