Eropa Champions League

Tak Ada Partito untuk Juventus di Cardiff

Di ambang kejayaan merengkuh treble, Juventus meyakini trofi Liga Champions akan sanggup mereka rengkuh. Mereka tak takut dengan lawan yang mereka hadapi, sang juara bertahan Real Madrid.

Banyak alasan bagi penonton netral untuk menyaksikan anak-anak La Vecchia Signora merengkuh si Kuping Besar. Pertama, tentu saja Gianluigi Buffon. Sang portiere legendaris tak pernah sekali pun merasakan nikmatnya juara Liga Champions. Januari tahun depan usianya memasuki kepala empat.

Bukan hanya perkara senioritas, tapi memang Buffon konsisten mengawal gawang Juventus sehingga menjadi tim yang paling sedikit kebobolan sebelum malam final di Cardiff. Sikapnya yang hangat dan pengayom, membuat banyak rekan seprofesi berharap agar ia juara. Sebut saja nama-nama seperti Kylian Mbappe, yang dua puluh tahun lebih muda, Xavi, Gerard Pique, juga kiper yang rekornya acap Buffon lewati, Dino Zoff.

Memenangkan Liga Champions akan memuluskan jalan Buffon untuk merengkuh gelar Ballon d’Or, sehingga menegaskan kiprah dan keagungannya di dunia sepak bola. Satu-satunya kiper yang pernah meraih penghargaan ini adalah Lev Yashin pada tahun 1963.

Begitu pun soal riwayat Juventus secara beberapa tahun terakhir di Italia. Mereka telah menjadi raja Serie A selama enam musim beruntun, tanpa sekali pun bisa mengukuhkan kedigdayaan di pentas Eropa. Selama enam musim tersebut mereka pernah sekali mencapai babak final, namun dikalahkan seteru Real Madrid, Barcelona.

Para penggila bola merasa bosan dengan dominasi Spanyol, karena dua klubnya menjadi penguasa Eropa dalam tiga musim terakhir. Juventus asuhan Massimiliano Allegri ini meretas jalan ke final dengan rekor sempurna tidak pernah kalah. Sejak fase grup, mereka hanya tiga kali mengakhiri pertandingan dengan hasil imbang.

Lalu kita semua dibuat terharu oleh Dani Alves lewat surat yang ia publikasikan di situs The Players Tribune. Surat panjang tersebut bercerita tentang kariernya yang berliku, namun ada juga penekanan pada final di Cardiff. Jika Juventus menang, ini menjadi trofi ke-35 bagi pemain yang juga pernah membela Sevilla ini.

Apalagi, di usia senjanya, Alves masih begitu bertenaga dan menjadi pemain kunci Juventus di semifinal. Di dua leg kontra AS Monaco, ia menyumbang 3 asis dan 1 gol. Ia tidak sedang membual ketika dalam suratnya ingin sekali membuat Barcelona menyesal telah menyia-nyiakannya.

Di Cardiff dini hari tadi, asa itu sempat ada. Rekor buruk Juventus, 8 final dan hanya keluar sebagai juara dua kali, bisa berhenti sebagai catatan semata. Babak pertama berjalan menyegarkan, dengan Juventus yang bermain dominan. Meski skor menunjukkan kedua tim sama kuat, sama ngotot, sama ampuh, terlihat jelas bagaimana tekanan Juventus membuat Madrid tidak bisa mengontrol jalannya laga.

Dari 8 tendangan yang menyasar gawang Keylor Navas, 5 di antaranya mengarah ke gawang. Bandingkan dengan Madrid, yang hanya mampu melesakkan 1 shot on target, yang berbuah gol di menit ke-20.

Dan apalagi yang bisa membuat para penonton yakin, selain melalui gol penyama kedudukan yang begitu fantastik? Tujuh menit setelah Cristiano Ronaldo membuat Madrid unggul, Juventus membalasnya dengan kontan. Bola dipermainkan Alex Sandro, Gonzalo Higuain, dan Mario Mandzukic tanpa sedetik pun menyentuh tanah, sebelum akhirnya dituntaskan Mandzukic dengan keindahan yang kurang ajar.

Sayang, Juventus tidak kuasa melanjutkan momentum di babak kedua. Marcelo mulai bisa lepas dari bayang-bayang seniornya di sisi kanan pertahanan Juventus. Isco, yang menjadi starter meski Gareth Bale sudah bisa kembali merumput pascacedera, dibiarkan terlalu sering menguasai bola.

Madrid unggul secara kuantitas di lapangan tengah, empat pemain berbanding tiga. Miralem Pjanic mati kutu. Sami Khedira kewalahan meladeni Toni Kroos dan Luka Modric secara sekaligus.

Lalu asa Juventus pun terempas dengan secepat kilat. Dalam tiga menit, serangan blitzkrieg Los Galacticos memperlebar keunggulan menjadi 3-1. Kamera dengan kurang ajar menyoroti ekspresi wajah Buffon, berharap dapat menyiarkan drama dari orang yang seharusnya bisa menjadi aktor utama kemarin malam.

Usai dihantam dua gol tersebut, Juventus bermain serampangan dan ada tiga kartu kuning dilayangkan wasit kepada mereka. Juan Cuadrado, pemain yang menggantikan Andrea Barzagli, menerima kartu kuning kedua di menit ke-84.

Asa semakin sulit direngkuh karena Juventus membutuhkan lebih dari sekadar keajaiban. Higuain lebih sering menyia-nyiakan bola sehingga lagi-lagi kebiasaannya tampil buruk di laga final terulang.

Marco Asensio melengkapi kemenangan Madrid menjadi 4-1 di menit ke-90 dan Juventus pun menjadi pihak yang tertunduk lesu. Perjuangan mereka menjadi antiklimaks dan kesalahan di babak kedua membuat mereka harus membayarnya.

Partito, atau pesta, bukan milik Juventus. Panggung kembali menjadi milik Madrid dan Cristiano Ronaldo. Pria Portugal itu memang luar biasa ampuhnya. Meski kini telah (terpaksa) mengubah gaya bermain, ia terus bisa menjadi sosok vital lewat gol-golnya.

Kekalahan ini menambah riwayat sendu Juventus di final Liga Champions. Sembilan kali final, hanya dua kali juara, yang terakhir mereka raih di tahun 1996. Bianconeri baru saja mengganti logo klub. Juventus Stadium pun musim depan akan berganti nama menjadi Allianz Stadium. Semoga itu bisa memupus nasib buruk mereka di pentas Eropa, sehingga pesta nantinya benar-benar terjadi.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com