Kolom

Arsenal dan Arsene Wenger, Sang Raja Piala FA

Arsenal punya sejumlah alasan jika kalah dari Chelsea di final Piala FA, namun ternyata mereka enggan takluk dan menampilkan permainan menawan.

Banyak pemain kunci mereka cedera atau terkenal larangan bermain. Musim 2016/2017 mereka lalui dengan sendu dan untuk pertama kalinya di era Arsene Wenger, mereka terlempar dari empat besar Liga Primer.

Lawan mereka di Stadion Wembley pun Chelsea, jawara liga yang mencetak beberapa rekor fantastik. Antonie Conte memberi warna yang lain sehingga era Jose Mourinho bisa dilupakan para pendukungnya.

Yang terjadi sejak sepak mula justru di luar perkiraan. Arsenal tampil dengan semangat dan determinasi menggebu. Tim ini tampil kohesif, sesuatu yang sepanjang musim ini sering tak terlihat, dan ajaibnya, semua berjalan dengan baik. Penonton pasti sulit memilih pemain Arsenal yang menampilkan permainan buruk.

Lima menit pertandingan baru berjalan, Arsenal telah menggetarkan gawang Thibaut Courtois sebanyak dua kali lewat sepakan yang hanya membentur tiang. Lewat aksi individu Alexis Sanchez dan kecermatan Aaron Ramsey menghindari perangkap offside, Arsenal berhasil unggul cepat. Walau mengundang perdebatan terkait posisi Ramsey dan handball Sanchez, wasit Anthony Taylor tetap mengesahkan gol tersebut.

Sebelumnya, kemenangan atas Everton di laga terakhir Liga Primer berakhir dengan pekerjaan rumah besar: Laurent Koscielny diberi kartu merah langsung oleh wasit dan Gabriel Paulista cedera lutut. Wenger sempat berkata bahwa ia akan mempertimbangkan apakah tetap menggunakan formasi tiga bek atau tidak.

Ternyata Wenger tetap mempertahankannya dan Per Mertesacker, pemain yang sepanjang musim ini tak pernah bermain, diplot menjadi bek. Ia didampingi Rob Holding dan Nacho Monreal.

Mertesacker menjawab segala keraguan. Ia bermain tidak seperti orang yang baru sembuh dari cedera, selain juga membuat Diego Costa tak berkutik.

2016/2017 adalah musim kelabu bagi Wenger. Performa buruk di atas lapangan adalah satu hal, namun sikap suporter kepadanya telah menghantam Wenger. Seperti yang ia katakan saat diwawancarai BBC, ia menyebut protes yang suporter lakukan kepadanya adalah tindakan memalukan, a disgrace.

Wenger tahu sikap suporter telah berubah menjadi benci, #WengerOut bukan sekadar tagar karena tuntutan mundur menggema di kehidupan nyata. Selepas pertandingan melawan Everton, Wenger memilih diam di kursinya saat para pemain dan staf melakukan lap of honour. Padahal hal demikian adalah tradisi yang dilakukan tim sebagai wujud apresiasi kepada suporter.

Dari peristiwa itu jelas terlihat bahwa ia meragu dan mengkhawatirkan diri. Ia adalah orang yang mengantar Arsenal ke posisinya yang sekarang. Ia pula manajer yang mampu menjadi nakhoda saat tim itu membangun stadion. Tetapi warisannya seolah tak berarti di mata suporter.

Antonio Conte, pelatih Chelsea yang menjuarai Liga Primer Inggris di musim perdana, sering menjadi barometer para pendukung Arsenal terkait manajer macam apa yang harus Arsenal pilih. Conte memiliki keberanian mengutak-atik taktik, berapi-api saat mendampingi tim berlaga. Dua atribut yang tak ada dalam diri Wenger.

Di laga yang berlangsung begitu seru tersebut, Chelsea berhasil menyamakan kedudukan lewat aksi Diego Costa di menit ke-76, delapan menit setelah Victor Moses diusir wasit akibat diving. Tampak di layar televisi bagaimana kekecewaan Nacho Monreal akibat gol Costa.

Namun, Wenger dan Arsenal tak perlu menunggu lama. Hanya dalam rentang dua menit, Olivier Giroud dan Aaron Ramsey membawa Arsenal kembali unggul. Memutar mundur waktu ke empat musim silam (2013/2014), dua orang ini juga yang menjadi penentu kemenangan Piala FA saat melawan Hull City.

Keberhasilan ini juga membuat Arsenal memperpanjang rekor buruk Conte di turnamen berformat knock-out. Ia tak pernah sekali pun membawa tim yang ia asuh menjadi juara di turnamen seperti ini.

Sepanjang pertandingan, hampir tak ada kesalahan vital yang pemain-pemain Arsenal ciptakan. Bahkan Francis Coquelin yang baru beberapa menit masuk langsung diganjar kartu kuning pun cukup memberikan sumbangsih secara taktik.

Wenger berhasil membawa Arsenal, klub yang begitu identik dengan dirinya ke podium juara. Ia menjadikan The Gunners sebagai tim Inggris tersukses di ajang Piala FA dengan raihan 13 trofi, yang lebih dari setengahnya (7 trofi) mereka dapatkan saat Wenger menjadi pelatih.

Piala FA adalah kompetisi sepak bola profesional tertua di dunia, sesuatu yang menjadi kebanggaan orang-orang Inggris. Wenger, pria Prancis yang kian hari lebih sering berada dalam tekanan (serta ancaman), menjadi pelatih tersukses sepanjang sejarah Piala FA. Wenger berada di nomor satu, mengungguli George Ramsay, lewat 7 piala yang diraihnya bersama Arsenal.

Jurnalis Miguel Delaney menyiarkan kutipan post-match penting dari Wenger via Twitter:

“Untuk pertama kalinya, aku menyimpan medali ini, itulah sebab mengapa ini malam yang spesial bagiku.”

Pernyataan Wenger tersebut bisa saja menjadi isyarat perpisahan. Perpisahan yang akan membuat murung para pendukung Arsenal. Biar bagaimana pun, Wenger-lah pelatih tersukses yang pernah Arsenal miliki.

Dari sisi Wenger, menang atau kalah, urusan kepastian kontrak akan menjadi pertanyaan yang akan dilontarkan para wartawan. Ia berhak merayakan kemenangan, tetapi situasi yang menjepitnya begitu rumit.

Wenger telah membuat Arsenal menjadi rajanya Piala FA, suatu torehan luar biasa yang melengkapi rekor tak terkalahkannya yang fenomenal itu di musim 2003/2004.

Sulit memang, membayangkan Arsenal setelah ia tak ada lagi. Tapi kemenangan ini bisa sedikit melonggarkan beban. Wenger bisa mundur dengan kepala tegak, meski itu merupakan keputusan yang teramat sulit.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com