Kolom

Nota Stagione Finale: Kerja Panjang Para Rival Juventus

Enam kali beruntun Juventus menjadi kampiun Serie A. Sebuah catatan manis bagi Si Nyonya Tua, tapi menjadi preseden buruk bagi para rival. Ketika keluarga Agnelli menetapkan visi jangka panjang, para rival tengah terbuai dengan konflik internal, sumbu pendek pemilik klub, dan tarik-ulur masalah infrastruktur.

Ketika Juventus mulai memanen hasil kerja cerdas mereka, para rival baru tersadar bahwa mereka sudah tertinggal terlalu jauh dan mulai menata fondasi keyakinan. Menetapkan visi atau misi adalah sebuah masalah, namun mengeksekusinya adalah masalah lain. Selepas musim 2016/2017, para rival Juventus akan memulai kerja panjang yang penuh rintangan.

Musim ini, boleh dibilang hanya Napoli dan AS Roma yang bisa memberi sedikit perlawanan kepada Juventus. Sayangnya, kedua tim tersebut terpeleset ketika menghadapi lawan-lawan yang seharusnya bisa mereka kalahkan. Setidaknya, cara mereka bermain sudah menunjukkan arah yang benar.

Untuk musim depan, keduanya dihadapkan kepada masalah masing-masing. Roma mungkin menghadapi masalah yang lebih berat ketimbang Napoli. Masalah pertama adalah menemukan pelatih baru pengganti Luciano Spalletti. Pelatih berkepala plontos tersebut sempat menegaskan bahwa apabila Francesco Totti tak lagi berseragam Serigala Roma, ia akan melakukan hal yang sama. Pun setidaknya, kontrak Spalletti bersama Il Lupi memang akan berakhir di 30 Juni mendatang.

Menemukan pelatih baru yang ideal adalah sebuah tantangan. Selain proses adaptasi, nakhoda yang baru akan berhadapan dengan situasi “Roma setelah Totti pergi”. Sebagai kapten, legenda, dan panutan, keberadaan Totti sangat berarti di transisi ini. Sayangnya, El Purpone kemungkinan besar sudah tidak ada bersama Roma musim depan. Bahkan Daniele De Rossi, “kapten masa depan”, juga tidak memberikan jawaban yang jelas perihal masa depannya.

Akankah Roma menjadi limbung sepeninggal Totti dan bahkan, De Rossi? Jawaban pertanyaan ini, sebagian porsinya ditujukan kepada pelatih baru. Yang jelas, pelatih baru tersebut tak boleh sampai kehilangan pengaruh di ruang ganti. Menjinakkan kawanan serigala yang baru saja kehilangan pemimpin akan menjadi tantangan.

Manajemen Roma bisa berkaca dari Chelsea musim ini. Menunjuk Antonio Conte adalah langkah bijak. Ia punya karakter dan ketegasan. Sangat sesuai untuk mengangkat moral tim yang musim sebelumnya babak beulur dihajar kenyataan. Hasilnya? Conte juara di musim perdana. Pertimbangan harus matang dan tak boleh sekadar “punya pelatih”.

Bagaimana dengan Napoli? Memastikan Maurizio Sarri masih melatih musim depan adalah usaha minimal. Sarri, setelah kehilangan Gonzalo Higuain, masih bisa membuat Napoli bersaing mengejar Scudetto. Dari idenya di atas lapangan, Napoli menunjukkan potensi besar. Musim ini bisa menjadi fondasi mereka untuk berlari lebih jauh musim depan.

Syaratnya? Mempertahankan Sarri, menjaga pemain-pemain kunci dari godaan klub lain adalah mutlak. Kontrak baru untuk Lorenzo Insigne di bulan April bisa menjadi indikasi bagus perihal niat mereka untuk terus maju. Selanjutnya, pemain-pemain kunci seperti Kalidou Koulibaly, Dries Mertens, Marek Hamsik, harus diyakinkan untuk berhatan. Apabila gagal, musim panas 2017 akan terasa begitu panjang bagi manajemen Napoli.

Selain Napoli dan Roma, bagaimana dengan Internazinale Milano dan AC Milan? Dua tim dari kota mode ini masih sibuk merangkak ketika tim papan atas lainnya sudah mulai berjalan, sedangkan Juventus sudah berlari.

Internazionale? Seharusnya manajemen sudah sadar bahwa mereka bukan Real Madrid. Manajemen Il Biscone harus menyadari, menghamburkan uang, menunjukkan kekayaan, tak selamanya membuahkan hasil. Mereka punya target jangkan panjang, namun tak punya kesabaran untuk menitinya perlahan. Internazionale ingin segera berlari kencang, ketika belum memahami caranya berjalan.

Pemecatan pelatih, membeli pemain yang tak perlu, hingga pemain yang berkonflik dengan suporter, adalah masalah-masalah yang melahirkan aura negatif. Hal-hal semacam itu yang membuat ruang ganti Internazionale akan terasa panas. Tengok saja sikap Gabriel Barbosa ketika mendapati dirinya tak dimainkan.

Baca juga: Halo Inter, Silakan Berbenah atau Bubar Saja!

Ia walk out dari bangku cadangan ketika pertandingan belum usai, dan terancam sanksi. Lantas, untuk apa Internazionale membeli Barbosa dengan harga tinggi apabila tak memberinya kesempatan bermain? Tiga pelatih melakukan hal yang sama kepada penyerang muda dari Brasil tersebut. Apa gunanya semua uang yang dihamburkan itu?

Menegaskan rencana jangka panjang boleh saja, tapi menjalaninya akan selalu menjadi masalah bagi Nerazzurri.

Milan bagaimana? Setelah memastikan kepastian pemilik baru, manajemen Milan bekerja cukup cepat. Mempertahankan Vincenzo Montella adalah langkah pertama, yang dilanjutkan dengan merealisasikan ambisi membangun skuat. Salah satu yang dijanjikan pemilik baru Milan adalah memperkuat skuat, dan janji itu nampaknya ditepati.

Meski belum diresmikan, Milan hampir dipastikan mendapatkan tanda tangan Frank Kessie dan Ricardo Rodriguez. Keduanya tak datang dengan harga murah. Kessie diboyong dari Atalanta dengan dana 28 juta euro, sesuai klausul penjualan si pemain. Sementara itu, Rodriguez didatangkan dengan mahar 18 juta euro. Apakah keduanya hanya usaha unjuk kekayaan seperti Internazionale?

Baca juga: Menanti Franck Kessie dan Ricardo Rodriguez di AC Milan

Melihat skuat yang ada, Milan memang membutuhkan bek kiri sejak beberapa musim yang lalu. Rodriguez, meski performanya bersama Wolfsburg tengah menurun, tetap seorang bek berkualitas. Kessie? Gelandang berusia 20 tahun tersebut adalah sosok pemain yang komplet. Oleh bola yang baik, didukung tubuh yang kokoh. Kemampuannya membaca permainan juga sangat baik. Kessie, adalah salah satu sebab Atalanta bisa duduk di posisi lima klasemen sementara.

Dari bursa transfer, sejauh ini Milan bekerja secara efisien. Mereka mendatangkan pemain yang memang diperlukan.

Bagaimana dengan romansa kepemilikan klub? Italia adalah negara yang begitu kuat menjaga tradisi mereka, termasuk di dalam sepak bola. Silvio Berlusconi bahkan sempat menggagalkan proses akuisisi Milan oleh investor dari luar Italia. Hal ini tak sehat juga sebenarnya, ketika Milan terus merugi dan membutuhkan dana segar untuk berbenah.

Oleh sebab itu, Berlusconi akhirnya melunak juga. Soal konflik kepemilikan klub ini, Gennaro Gattuso angkat bicara. Ia menegaskan bahwa kepemilikan asing adalah kenyataan yang harus diterima. Mengapa saya berbicara soal masalah kepemilikan? Karena berkaca dari Erick Thohir dan masa bulan madunya yang singkat bersama Internazionale.

Secara kasat mata, Thohir justru menjadi bahan olok-olok, hingga akhirnya ia mundur. Keberadaan “orang asing” di jajaran petinggi klub masih seperti duri dalam daging bagi orang-orang Italia. Bagi Italiano, klub bisa menjadi layaknya keluarga. Dan kehormatan keluarga adalah harga mati yang harus dipertahankan.

Jadi, ucapan Gattuso harus dicerna sepenuhnya oleh manajemen, pemain, dan terlebih suporter. Ketika Milan berusaha bangkit, mereka membutuhkan sebuah kemewahan yang tak dinikmati Internazionale, yaitu kesabaran. Dan tanpa kesabaran, kerja panjang Milan untuk bersanding dengan Juventus hanya akan sebatas menjadi kerja keras yang “tak berujung”.

Satu lagi, Internazionale dan Milan harus segera menyadari bahwa stadion milik sendiri adalah investasi cerdas. Sudah waktunya mereka “membangun”, tak lagi “mengontrak”.

Mulai musim depan, empat rival Juventus akan memulai kerja panjang mereka. Jika gagal, maka Juventus akan semakin tak tergapai. Mereka akan duduk di menara gading itu. Menikmati masa keemasan setelah lelah berpeluh sebelumnya.

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen